Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə19/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   15   16   17   18   19   20   21   22   ...   30

SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA



A. Pengantar

Setiap bangsa mempunyi cita-cita baik tertulis atau tidak. Cita-cita tersebut sangat penting perannya bagi sutu bangsa karena dapat memberi gairah hidup serta memberi arah dalam penentuan tujuan nasional. Cita-cita bangsa Indonesia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke dua sebagai dikutip berikut ini.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentaaosa menghantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”.


Bangsa Indonesia sadar bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan dalam perjuangan bangsa, melainkan merupakan alat untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Berdasarkan cita-cita tersebut ditentukan tujuan nasional bangsa Indonesia yang rumusannya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat yaitu

  1. membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

  2. untuk memajukan kesejahteraan umum,

  3. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

  4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi dan keadilan sosial.

Dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional tersebut, ada tiga faktor penentu yang harus diperhatikan, yaitu faktor geografi, manusia, dan lingkungan. Tewujudnya cita-cita dan tujuan nasional tersebut bergantung bagaimana bangsa Indonesia memanfaatkan lingkungan geografis, sejarah, dan kondisi sosial budaya, serta bagaimana bangsa Indonesia memandang diri dan lingkungannya. Wawasan Nusantaralah yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya.
B. Pengertian Wawasan Nusantara

Wawasan artinya pandangan, tinjauan, penglihatan atau tanggap indrawi. Selain menunjukkan kegiatan untuk mengetahui arti pengaruh-pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, wawasan juga mempunyai pengertian menggabarkan cara pandang, cara tinjau, cara melihat atau cara tanggap indrawi. Kata nasional menunjukkan kata sifat atau ruang lingkup. Bentuk kata yang berasal dari istilah nation itu berarti bangsa yang telah mengidentifikasikan diri ke dalam kehidupan bernegara atau secara singkat dapat dikatakan sebagai bangsa yang telah menegara. Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau yang terletak di atara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, serta di antara Benua Asia Benua Australia.

Wawasan nasional merupakan “cara pandang” suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya. Wawasan merupakan penjabaran dari falsafat bangsa Indonesia sesaui dengan keadaan geografis suatu bangsa, serta sejarah yang pernah dialaminya. Esensinya, ialah bagaimana bangsa itu memanfaatkan kondisi geografis, sejarahnya, serta kondisi sosial budayanya dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya.

Dengan demikian wawasan nusantara dapat diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa yang merdeka, berdaulat, bermartabat, serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan nasional. Wawasan nusantara adalah cara pandang, cara memahami, cara menghayati, cara bersikap, cara berpikir, cara bertindak, cara bertingkah laku bangsa Indonesia sebagai interaksi proses psikologis, sosiokultural, dengan aspek astagatra (kondisi geografis, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk serta ipoleksosbud hankam).



C. Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Pembangunan Nasional

Secara konstitusional, wawasan nusantara dikukuhkan dengan Kepres MPR No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Pokok-pokok wawasan nusantara dinyatakan sebagai wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah wawasan nusantara mencakup hal-hal berikut ini.

Pertama, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik memiliki arti bahwa (i) kebutuhan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa, (ii) bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti seluas-luasnya, (iii) secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad di dalam mencapai cita-cita bangsa, (iv) Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara, yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya, dan (v) seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

Kedua, perwujudan kepulaun nusantara sebagai kesatuan sosial dan budaya memiliki arti bahwa (i) masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kahidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata, dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa dan (ii) budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia.

Ketiga, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi memiliki arti bahwa (i) kekayaan wilayah nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air serta (ii) tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan cirri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam mengembangkan ekonominya.

Keempat, perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan memiliki arti bahwa (i) ancaman terhadap satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman bagi seluruh bangsa dan negara serta (ii) tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam pembelaan negara.

Dengan ditetapkannya rumusan wawasan nusantara sebagai ketetapan MPR, wawasan nusantara memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua penyelenggara negara, semua lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, serta semua warga negara Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap rumusan kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan nasional harus mencerminkan hakikat rumusan wawasasn nusantara.
D. Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran wawasan nusantara. Beberapa hal yang digunakan sebagai landasan pembenaran adanya konsep wawasan nusantara antara lain sebagai berikut.




  1. Faktor Geografis

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil. Di antaranya, sejumlah 6.044 pulau sudah diberi nama. Hanya kurang lebih 3.000 pulau yang dihuni penduduk. Indonesia dikenal subur dengan flora dan faunanya. Di bumi Indonesia terdapat kekayaan alam yang melimpah terutama bahan-bahan vital dan strategis seperti minyak bumi, timah, besi, bauksit, mangaan, batubara.

GBHN menggariskan bahwa jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Apabila dapat dibina dan dikembangkan sebagai tenaga kerja yang efekstif akan merupakan modal pembangunan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak dibina dengan baik akan menjadi beban negara. Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri dari ribuan pulau-pulau besar dan kecil, dan mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudera-samudera yang luas, yaitu Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Juga diapit dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia. Dengan demikian, kedudukan negara Indonesia yang berada pada posisi silang dunia dan oleh karena itu dinamakan nusantara.

Kepulauan Indonesia dengan seluruh perairannya dipandang oleh bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan utuh, tidak terpisah-pisah satu pulau dengan pulau lainnya. Cara pandang bangsa tersebut telah lama dipahami dan dihayati, sehingga dalam menyebut tempat hidupnya atau tumpah darahnya pun digunakan istilah tanah air. Istilah ini mempunyai pengertian bahwa bangsa Indonesia tidak pernah memisahkan antara tanah dan air, atau tidak memisahkan antara daratan dan lautan. Daratan dan lautan merupakan satu kesatuan yang utuh. Laut dianggap sebagai pemersatu bukan pemisah antara pulau satu dengan lainnya.


  1. Faktor Geopolitik

Istilah Geo memiliki arti ‘bumi’. Jadi, geopolitik adalah politik yang tidak terlepas dari penggaruh kondisi geografis dari bumi yang menjadi wilayah hidupnya. Istilah Geopolitik (geopolitics) adalah singkatan dari geographical politics, yang dicetuskan oleh Rudolf Kjellen. Kjellen mencetuskan istilah tersebut dalam rangka mengemukakan suatu sistem politk yang menyeluruh, yang terdiri atas geopolitik, demopolitik (penduduk untuk kepentingan politik), ekonomipolitik, sosiopolitik dan kratopoliti (kekuasaan untuk kepentingan politik).

Bermula seorang ahli geografi bernama Frederich Ratzel mendalami biologi untuk memperluas cakrawala wawasannya, yang kemudian dia berpendapat bahwa pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup sebagai tempat naungannya, sehingga organisme dapat tumbuh dengan subur. Teorinya dikenal dengan teori organisme atau teori biologis (teori organisme biologis). Pendapat Ratzel mendapat perhatian Rudolf Kjellen yang menyatakan dengan tegas bahwa negara adalah suatu organisme, bukan hanya mirip pendapat Rastzel. Pandangan Ratzel dan Kjellen kemudian dikembangkan oleh Karl Haushofer. Houshofer melihat bahwa geopolitik-lah yang mencakup seluruh sistem politik Kjellen. Houshofer memberi arti geopolitik sebagai (i) doktrin negara di bumi , (ii) doktrin perkembangan politik di dasarkan pada hubungannya dengan bumi, dan (iii) landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup suatu organisme negara untuk mendapatkan ruang hidupnya.

Karl Houshofer mengembangkan geopolitik tersebut dan diwujudkannya dalam beberapa istilah dan pandangan berikut ini.


  1. Lebensraum (ruang hidup), dengan mengambil istilah dari Ratzel, yang berarti bahwa manusia sama dengan orgnasisme yang memerlukan ruang hidup. Jika jumlah penduduk suatu negara lebih banyak dibandingkan luas wilayahnya, negara tersebut harus memperluas ruang hidupnya agar segala kebutuhannya tercukupi. Oleh karena itu, negara harus mengusahakan kebutuhan hidup bagi penduduknya.

  2. Auatarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan negara sendiri tanpa menggantungkan diri pada negara lain. Hal ini mungkin bisa dilakukan jika wilayah negara itu cukup luas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan pemikiran inilah lahirlah konsep Pan-region (suatu wilayah) yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam teori Lebensraum dan Autarki. Dalam menyusun konsepsinya, Haushofer memandang dunia cukup dibagi menjadi 4 pan-region, yaitu sebagai berikut.

    1. Pan-Amerika, yaitu “suatu perserikatan wilayah” yang paling alami karena terpisah dengan negara lain oleh samudera dan Amerika Serikat “dianggap” sebagai pemimpinnya.

    2. Pan-Ero Afrika, yaitu wilayah yang akan “dikuasai”oleh Jerman. Wilayahnya bukan hanya negara-negara kecil di Eropa, melainkan negara-negara besar seperti Prancis dan Italia berada dalam jangkauan kekuasaanya. Rusia disarankan untuk membuat pan-region sendiri, sedang Inggris dibiarkan “mengambang”.

    3. Pan-Rusia, yaitu suatu wilayah yang meliputi Uni Soviet dan India yang dikuasai oleh Rusia.

    4. Pan-Asia, yaitu bagian timur Benua Asia, Australia, dan kepulauan di antaranya “dipimpin” oleh Jepang. Pan region ini oleh Jepang dinamakan “Lingkungan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya”.

Tujuan Karl Houshofer mengemukakan teori geopolitik ini ialah untuk menyiapkan upaya justifikasi atau landasan pembenaran negara Jerman untuk mengembangkan politik eskspansionisme dan rasialisme.

Mengenai teori geopolitik, bangsa Indonesia tidak sependapat dengan cara berpikir Karl Hosuhofer yang mengarah ke ekspasionisme dan rasialisme. Namun dalam hal ini bangsa Indonesia berdasarkan pada pertimbangan kondisi dan konstalasi geografi wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan untuk mewujudkan cita-citanya dan tujuan nasionalnya. Landasan pemikiran tentang geopolitik bangsa Indonesia adalah falsafah Pancasila yang penerapannya tidak mengandung ekspansionisme dan kekerasan yang tercantum dalam tujuan nasional bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu dunia yang tertib, dunia yang damai, dan berkeadilan social.

Selain teori geopolitik di atas masih ada beberapa teori yang lain seperti dikemukakan berikut ini.


  1. Wawasan Benua

Teori ini dikemukakan oleh Sir Halford Me Kender. Isi teorinya mengenai konsep kekuatan di darat atau Wawasan Benua ialah bahwa barang siapa menguasai “daerah jantung” (Eropa Timur dan Rusia atau daerah poros/pivot area), ia akan mengusai pulau dunia (Eropa, Asia dan Afrika), yang pada akhirnya mengusai dunia.

  1. Wawasan Bahari

Teori ini dikemukakan oleh Sir Walther Releigh dan A.T. Mahan yang mengemukakan Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Mereka mengemukakan bahwa barang siapa mengusai lautan akan menguasai perdagangan dan barang siapa menguasai perdagangan akan menguasai kekayaan dunia, sehingga dunia akan dikuasainya.

  1. Wawasan Dirgantara

Teori Wawasan Dirgantara atau konsep kekuatan di udara dikemukakan oleh W. Michael, A. Saversky, G. Douchet dan J.F.C. Fuller. Mereka berpendapat bahwa kekuatan di udara merupakan daya tangkal yang paling ampuh tarhadap ancaman dan dapat melumpuhkan musuh di kandangnya sendiri, agar tidak mampu lagi bergerak untuk menyerang.

  1. Wawasan Kombinasi

Wawasan kombinasi dikemukakan oleh N.J. Spijkman yang menghasilkan teori daerah batas (rimland). Teori ini banyak dipakai oleh negarawan ahli geopolitik dan strategi untuk menyusun kekuatan bagi negaranya.

Sejauh mana pengaruh “Wawasan-wawasan Kekuatan” terhadap bangsa Indonesia?. Dalam sejarah Indonesia, Indonesia pernah terpengaruh “Wawasan-wawasan kekuatan” tersebut di atas. Sebelum tahun 1966, zaman orde lama angkatan perang RI terpengaruh oleh wawasan-wawasan tersebut sehingga lahirlah (i) Angkatan Darat yang menganut Wawasan Benua, yang dirumuskan dalam doktrin Tri Ubaya Sakati, (ii) Angkatan Laut yang menganut Wawasan Bahari, yang dirumuskan ke dalam doktrin Eka Gasana Jaya, (iii) Angkatan Udara yang menganut wawasan Swa Buana Paksa, dan (iv) POLRI yang menganut doktrin Tata Tentrem Kartaraharja.

Adanya wawasan yang berbeda-beda itu membawa persaingan antarangkatan secara tidak sehat, sehingga dapat diadu domba oleh G 30 S/PKI. Untuk mengatasinya diadakan suatu upaya menyusun doktrin yang menyangkut ke empat matra (POLRI termasuk ABRI). Upaya ini dilakukan pada tahun 1966 dalam seminar Hankam yang berhasil menyusun doktrin Catur Dharma Eka Kharma. Pada tahun 1966 pertama kali dikumandangkan istilah wawasan nusantara sebagai wawasan hankamnas. Kemudian wawasan nusantara ditingkatkan menjadi wawasan nasional Indonesia, sehingga wawasan hankamnas menjadi bagian dari wawasan nusantara.
3. Faktor Geostrategi

Indonesia berada pada posisi silang dunia yang sangat strategis. Posisi silang demikian membawa pengaruh kehidupan terhadap bangsanya. Pengaruh tersebut dapat merupakan pengaruh yang baik dan buruk. Negara harus lebih mempertimbangkan dan memperhatikan pengaruh-pengaruh yang tidak menguntungkan, lebih-lebih jika posisi silang Indonesia ini dikaitkan dengan sumber-sumber kekayaan alamnya, maka bahaya/ancaman dari luar akan lebih besar lagi. Posisi silang Indonesia jika kita kaji lebih dalam, ternyata tidak hanya bersifat fisik-geografis belaka, tetapi juga bersifat sosial-politik seperti berikut ini.



  1. Secara demografis, penduduk di sebelah selatan jarang (Australia), sedang disebelah utara cukup padat (RRC).

  2. Secara ideologis, terletak di antara liberalisme di Selatan dan komunisme di utara; antara liberal di Selatan dan sistem diktator proletariat di utara.

  3. Secara politis, sistem demokrasi liberal di selatan, dan sistem diktator proletariat di utara.

  4. Secara ekonomis, terletak di antara sistem ekonomi kapitalis di selatan dan sistem ekonomi sosialis (terpusat) di utara.

  5. Secara sosial, terletak di antara individualisme di selatan dan sosialisme di utara.

  6. Secara budaya, terletak di antara kebudayaan barat di selatan dan kebudayaan timur di utara.

  7. Secara hankam, terletak di antara pertahanan maritim di selatan dan pertahanan kontinental di utara.

Keberadaan Indonesia pada posisi silang menimbulkan proses akulturasi yang menjadikan bangsa Indonesia seperti sekarang ini, baik kehidupan sosial, religi, bahasa, maupun budayanya. Di pihak lain pada posisi tersebut memberikan dua alternatif yang harus diambil oleh bangsa Indonesia yaitu (i) terus menerus menjadi obyek lalulintas kekuatan dan (ii) ikut serta mengatur “lalu-lintas’ kekuatan dalam arti berperan sebagai subyek. Hal ini bila dihubungkan dalam bercaturan politik luar negeri yang bebas aktif. Pengaruh-pengaruh buruk dari posisi silang harus dihadapi dan diatasi, untuk itu diperlukan suatu konsep ketahanan nasional yang dilandasi wawasan nusantara.


  1. Historis dan Yuridis Formal Wawasan Nusantara

Untuk memahami proses pemikiran tentang wawasan nusantara perlu diadakan pendekatan secara historis dan yuridis. UUD 1945 tidak menentukan secara tegas mengenai batas-batas wilayah RI. Oleh karena itu, kita mengacu pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Segala badan negara dan Peraturan yang ada masih berlangsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

Pada zaman Hindia Belanda, pada Tahun 1939, keluarlah Ordenanzie (setingkat UU) tentang Teritoriale Zee en Maritieme Krengen Ordenantie (Ordenansi tentang lautan teritorial dan wilayah maritim). Dengan ordenansi itu ditentukan bahwa setiap pulau mempunyai batas wilayah sendiri-sendiri dengan lebar 3 mil laut. Hal ini berarti bahwa di antara pulau-pulau terdapat rongga pemisah oleh “air lautan” sehingga air merupakan pemisah. Dengan begitu di antara pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Kepulauan Maluku dan Papua terdapat lautan bebas yang dikenal dengan lautan internasional, sehingga kapal-kapal asing dapat bergerak bebas di lautan tersebut. Hal demikian tentu tidak menguntungkan bagi negara kepulaun yang berdaulat seperti Indonesia. Berarti kapal-kapal perang asing (termasuk Belanda) dapat berkalayar bebas dari Belanda menuju Papua (Irian Jaya) yang pada waktu itu masih dijajahnya, sehingga sangat merugikan dari aspek keamanan nasional.
a. Deklarasi Juanda

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan “Deklarasi Juanda” yang digunakan untuk menggantikan Ordenasi wilayah teritorial laut produk Pemerintah Penjajahan Belanda. Pada hakikatya Deklarasi Juanda menerapkan “asas kepulauan” yang memandang kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan utuh tidak terpisahkan, yang mengganti “asas pulau” yang dianut pada zaman Hindia Belanda. Kemudian deklarasi tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 4/PRP/1960 yang isinya sebagai berikut.



  1. Perairan Indonesia adalah lautan wilayah beserta perairan pedalaman (perairan Wilayah Nusantara).

  2. Laut wilayah teritorial Indonesia selebar 12 mil laut dari pulau-pulau terluar yang dihubungkan dengan garis lurus antara pulau satu dengan pulau lainnya.

  3. Apabila ada selat yang lebarnya kurang dari 24 mil laut dan NKRI tidak merupakan satu-satunya negara tepi (disebelah wilayah RI ada negara tetangga), maka batas wilayah laut RI ditarik pada tengah selat.

  4. Perairan pedalaman (perairan Nusantara) adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis dasar.

  5. Hak lintas laut damai kapal perang asing diakui dan dijamin sepanjang tidak mengganggu keamanan dan keselamatan negara/bangsa Indonsia.

Implikasi positif (klaim) Wawasan Nusantara yang tercantum dalam UU No. 4/PRP/ 1960 ialah sesuai dengan Ordenansi 1939 wilayah Hindia Belanda hanya seluas 2.027.087 Km2 berdasarkan “asas pulau”, maka berdasarkan “asas kepulauan” wilayah RI menjadi bertambah 3.166.163 Km2 wilayah perairan pedalaman/perairan wilayah nusantara, hingga berdasarkan klaim tersebut luas wilayah RI menjadi 5.193.250 Km2 (terdiri dari lautan dan daratan). Meskipun pertambahan wilayah berwujud perairan, namun mengandung kekayaan alam.

Ketentuan yang ada pada undang-undang tersebut merupakan perwujudan makna dari alinea 4 Pembukaan UUD 1945 apabila dihubungkan dengan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Lebih penting dari itu adalah bahwa Deklarasi Juanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim wawasan nusantara yang merupakan konsepsi kewilayahan.

Penentuan garis batas Indonesia dengan menggunakan jalan menghubungkan pulau-pulau terluar dengan garis lurus antara pulau satu dengan pulau lainnya adalah mengikuti jurisprodensi yang dikeluarkan Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 1951, yaitu tentang putusan sengketa perairan antara Norwegia dan Inggris tahun 1939 (Anglo-Norwegian Fisheries Case), putusannya dikenal dengan istilah (sebutan) “point to point theori’

Mengenal “lalu-lintas damai” diatur dalam PP Nomor 8.1962 dan dijabarkan dalam Kepres Nomor 16/1971 tentang izin berlayar bagi kapal asing sipil oleh Menteri Perhubungan dan bagi kapal asing militer harus mendapatkan izin dari Menteri Pertahanan Keamanan.


b. Konsep Landas Kontinen

Indonesia dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, baik di daratan, di bawah tanah, maupun yang berada di lautan perairan Indonesia. Untuk merealisir pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat telah dikeluarkan UU No. 44/1960 tentang “Pertambangan Minyak dan Gas Bumi” serta UU No. 11/1967 tentang “Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan”. Meskipun telah dikeluarkan perundang-undangan tersebut di atas, untuk lebih memperluas ruang lingkup dan lebih berhasil guna Pemerintah RI pada tanggal 17 Februari 1969 mengeluarkan pengumuman tentang “Deklarasi Landas Kontinen Indonesia”. Deklarasi tersebut kemudian dikukuhkan dengan UU No. 1/1973 tentang “Landas Kontinen Indonesia”, yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Sudah menjadi pendapat banyak negara bahwa landas kontinen merupakan suatu kelanjutan dari daratan, sehingga wajar sumber kekayaan alam yang terdapat di bawah landas kontinen tersebut merupakan hak eksklusif negara yang bersangkutan. Deklarasi tersebut sesuai dengan kebiasaan praktik negara yang dibenarkan pula oleh Hukum Internasional, yaitu bahwa suatu negara pantai mempunyai penguasaan dan yurisdiksi yang eksklusif atas kekayaan mineral dan kekayaan lainnya dalam dasar laut dan tanah di bawahnya pada landas kontinen sampai kedalaman 200 meter. Untuk mencapai tujuan yang terkandung dalam Deklarasi Juanda tersebut, Pemerintah RI telah menyelesaikan soal-soal tentang garis landas kontinen dengan negara-negara tetangga dan berdasarkan persetujuan batas kontinen tadi RI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen seluas lebih kurang 800.000 mil persegi.
c. Konsepsi Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil

Didorong oleh kemajun ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang penambangan dan kekayaan alam hayati, serta adanya peningkatan jumlah penduduk dunia maka negara berusaha memenuhi kebutuhan manusia demi kelestarian hidup bangsa. Tanpa mengadakan ekspansi kewilayahan terhadap wilayah daratan negara lain, negara-negara pantai memanfaatkan perairan/lautan seluas mungkin, yaitu 200 mil laut apabila tidak berhadapan dengan negara lain.

Saat ini telah ada lebih kurang 90 negara yang mengeluarkan pernyaataan tentang ZEE, yang sering disebut “Zone Perikanan”. Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar berbatasan dengan lautan sering dihadapkan pada tindakan sepihak oleh negara-negara asing yang kapal-kapalnya masuk perairan wilayah Indonesia untuk “menguras” ikan. Oleh karenanya, seperti negara-negara pantai lainnya yang telah mengumumkan ZEE, Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 mengumumkan tentang “Deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia”, yang dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1983. Di dalam ZEEI kebebasan pelayaran dan penerbangan internaional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut dijamin sesuai dengan hukum internasional.
d. Ruang Angkasa

Kalau kita membagi secara horizontal maka kita akan menghadapi batas wilayah di darat dan di laut, tetapi kalau kita membagi secara vertikal kita akan menghadapi “batas” di ruang angkasa, di dasar laut, dan tanah di bawahnya. Apabila kita sebelumnya telah membicarakan tentang matra daratan dan matra lautan, sekarang akan dibahas matra udaranya.

Membicarakan matra udara terasa penting terutama setelah ditemukannya pesawat terbang dan ditambah lagi dengan kemajuan IPTEK yang lain. Dalam menerapkan Hukum Angkasa terdapat juga beberapa aliran yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, ialah Teori Udara Bebas yang meliputi (i) kebebasan ruang tanpa batas yang artinya dapat dipergunakan oleh siapa pun, sehingga tidak ada negara yang mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara dan (ii) kebebasan ruang terbatas yang terdiri atas dua ketentuan berikut: (a) negara kolong berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatan dan (b) negara kolong hanya mempunyai hak terhadap wilayah tertentu.

Teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara haruslah terbatas adalah sebagai berikut.


  • Teori Keamanan

Fauchille menyatakan bahwa negara mempunyai kedaulatan wilayah udara dibatasi dengan kebutuhan untuk menjaga keamanan. Pada Tahun 1901 batas keamanan ditentukan dengan ketinggian 1.500 m, tetapi pada tahun 1910 diubah menjadi 500 m.

  • Teori Penguasaan Cooper

Pada tahun 1950 Cooper menyatakan bahwa kedaulatan udara detentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan dalam menguasai ruang udara di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah. Teori ini menguntungkan bagi negara-negara yang memiliki teknologi tinggi (canggih), sebaliknya merugikan bagi negara-negara berkembang.

  • Teori Udara Schachter

Schachter menyatakan bahwa wilayah udara hendaknya sampai suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu mengangkat atau mengapungkan balon/pesawat udara. Pada saat ini ketinggian tersebut lebih kurang 30 mil dari muka bumi.

Kedua, ialah Teori Negara Berdaulat di Udara. Belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai teori ini. Mengenai airspace (ruang angkasa) masih sering menimbulkan salah pengertian batas jarak ketinggian di ruang udara, yaitu dari mana awal mengukurnya; apakah diukur dari permukaan laut atau titik tertinggi (puncak gunung) negara tersebut. Bagi Indonesia wilayah dirgantara (ruang angkasa dan antariksa) termasuk orbit geostasioner adalah dengan jarak lebih kurang 36.000 km diukur dari titik gunung tertinggi di Indonesia.


E. Unsur Dasar Wawasan Nusantara

Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya merupakan fenomena (gejala) sosial yang dinamis yang memiliki tiga unsur dasar, yaitu wadah, isi, dan tata laku.


a. Wadah

Untuk memahami konsep wadah kita perlu meninjau arti Asas Archipelago, yaitu kumpulan pulau-pulau dan lautan sebagai kesatuan wilayah (kesatuan Archipelago). Artinya, antara kepulauan dan wilayah perairan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang batas-batasnya ditentukan oleh wilayah laut. Dalam lingkungan tersebut terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau yang menjadi satu kesatuan wilayah.


1) Bentuk Wujud

Bentuk wujudnya berupa kepulauan nusantara yang mempunyai kedudukan geografis yang khas, yaitu yang berada diposisi silang dunia serta mempunyai pengaruh besar dalam tata kehidupan dan sifat perikehidupan nasional. Adapun pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya (i) menjadi lalu lintas aspek-aspek kehidupan sosial dunia, (ii) hubungan antarbangsa akan lancar apabila kepentingan nasionalnya terpenuhi atau minimal tidak dirugikan, (iii) wilayah nusantara mempunyai kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia yang melimpah dan murah yang merupakan daya tarik tersendiri bagi negara-negara yang tidak memilikinya, sehingga merupakan sumber yang tidak menguntungkan bagi nusantara.

Bentuk wujud nusantara memiliki sifat yang manunggal, utuh, dan menyeluruh yang meliputi manunggal dalam bidang (i) wilayah, (ii) bangsa, (iii) ideologi, (iv) politik, (v) ekonomi, (vi) sosial budaya, (vii) hankam, (viii) psikologi, dan (ix) kehidupan.
2) Tatanan Susunan Pokok/Tata Inti Organisasi

Sarana untuk mengetahui organisasi suatu negara ialah dengan mempelajari UUD-nya. Demikian halnya untuk Indonesia harus dilihat pada UUD 1945. Tata inti organisasi yang dimaksud menyangkut hal-hal berikut ini. Pertama, bentuk kedaulatan (Bab I Pasal 1) yang meliputi (i) negara kesatuan yang berbentuk Republik dan (ii) kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Kedua, kekuasaan pemerintah negara (Bab III Pasal 4 s/d 15) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa Persiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD. Ketiga, sistem pemerintah negara (Penjelasan UUD 1945) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa (i) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasan belaka, (ii) pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi dan tidak berdasarkan absolutisme (Kekuasaan tidak tak terbatas), (iii) kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR, (iv) Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di samping (di bawah) MPR, (v) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR, (vi) menteri negara adalah pembatu presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan (vii) kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Keempat, sistem perwakilan (Bab VII pasal 19) yang berkenaan dengan ketentuan bahwa (i) kedudukan DPR kuat, tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan (ii) anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR, sehingga dapat senantiasa mengawasi tindakan presiden sebagai mandataris MPR.


3) Tata susunan Pelengkap/Kelengkapan organisasi

Agar tujuan nasional dapat tercapai dengan tertib dan mantap diperlukan suatu tata kelengkapan organisasi, antara lain (i) aparatur negara harus mampu mendorong, menggerakkan, dan mengerahkan usaha-usaha pembangunan ke sasaran yang telah ditetapkan untuk kepentingan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan (ii) kesadaran politik dan kesadaran bernegara dari masyarakat, organisasi negara harus mampu untuk meningkatkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara dari masyarakat, serta menampung aspirasi politik masyarakat baik sebagai perorangan atau orsospol/ormas dalam rangka meningkatkan stabilitas politik.


b. Isi

Aspirasi bangsa Indonesia sebagai “isi” dari wawasan nusantara dapat dirinci menjadi cita-cita proklamasi, asas/sifat dan ciri-ciri, dan cara kerja. Cita-cita yang terkandung dalam wawasan nusantara adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil dan makmur”. Cita-cita wawasan nusantara itu ke dalam bertujuan untuk (i) melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah air, (ii) mewujudkan kesejahteraan umum, dan (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa.

Aspirasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai kesatuan yang utuh menyeluruh memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut.


  1. Manunggal, yaitu keserasian dan keseimbangan yang dinamis dalam segenap aspek kehidupan, baik aspek alamiah maupun aspek sosial, sesuai makna sesanti “Bhineka Tunggal Ika”.

  2. Utuh-menyeluruh, yaitu bahwa aspirasi bangsa dalam mewujudkan Wawasan Nusantara yang utuh menyeluruh (komprehensif dan integral) dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga akan menghasilkan nusantara dan rakyyat Indonesia yang utuh, bulat dan tidak terpecah-pecah oleh kekuatan apapun, sesuai dengan Sumpah Pemuda “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa”.

  3. Cara kerja bangsa Indonesia untuk mewujudkan Wawasan Nusantara berpedoman kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD 1945 yang memberikan arah mengenai pengendalian hidup bermasyarakat serta penetapan hak asasi dan kewajiban bangsa Indonesia. Untuk dapat mencapai kebahagian lahir dan batin serta untuk dapat mencapai tujuan dari Wawasan Nusantara (identik dengan wawasan nasional atau tujuan nasional), maka dipersyaratkan agar semua WNI dapat mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik secara obyektif dan subyektif. Secara objektif, Pancasila yang berfungsi sebagai falsafah negara dijadikan sumber hukum dan mendasari segenap penyelenggara negara. Secara subjektif, pengamalan Pancasila oleh individu bangsa Indonesia sendiri dalam tindakan dan kegiatan sehari-hari (hal ini dilakukan secara menyeluruh dalam cipta, karsa, dan karya).


C. Tata laku

Tata laku sebagai unsur dari wawasan nusantara adalah tindakan perilaku bangsa Indonesia dalam melaksanakan aspirasinya guna mewujudkan Indonesia sebagai kesatuan yang utuh menyeluruh dalam mencapai tujuan nasional. Tata laku itu meliputi tata laku batiniah dan tata laku lahiriah. Tata laku batiniah berwujud pengamalan falsafah Pancasila yang melahirkan sikap mental sesuai kondisi lingkungan hidupnya dalam mewujudkan wawasan nusantara. Tata laku batiniah terbentuk karena kondisi dalam proses pertumbuhan hidupnya yang merupakan produk dari kebiasaan yang membudaya. Tata laku batiniah dipergunanakan oleh keyakinan akan agama suatu kepercayaan dan tuntutan budi pekerti. Tata laku lahiriah dituangkan dalam suatu pola tata laku yang dapat dirinci dalam (i) tata–perencanaan, (ii) tata–pelaksanaan, dan (iii) tata–pengendalian atau pengawasan.

Berdasarkan uraian di atas, unsur wawasan nusantara dapat disimpulkan sebagai berikut.


  1. Wadah dari wawasan nusantara adalah wilayah negara kesatuan RI yang berupa nusantara dan organisasi negara RI sebagai kesatuan utuh.

  2. Isi wawasan nusantara adalah aspirasi Bangsa Indonesia berupa cita-cita nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  3. Tatalaku dari wawasan nusantara adalah kegiatan atau tindakan/perilaku bangsa Indonsesia untuk melaksanakan falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang apabila dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat menghasilkan wawasan nusantara.


F. Wawasan Nusantara dan Integrasi Wilayah

Wawasan nusantara sebagai “cara pandang” bangsa Indonesia yang melihat Indonesia sebagai kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam merupakan landasan dan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menyelesaikan segala masalah dan hekikat ancaman yang timbul baik dari luar maupun dari dalam segala aspek kehidupan bangsa. Sebagai landasan kerja bagi penyelenggaraan dan pembinaaan hidup kebangsaan serta hidup kenegaraan perlu didasari oleh GBHN sebagai produk MPR (pasal 3 UUD 1945) dan APBN sebagai produk legeslatif dan eksekutif (pasal 23 ayat 1 UUD 1945). Salah satu manfaat yang paling nyata dari penerapan wawasan nusantara adalah di bidang politik, khususnya di bidang wilayah. Dengan diterimanya konsepsi wawasan nusantara (Konsepsi Deklarasi Juanda) di forum internasional terjaminlah integrasi teritorial kita, yaitu “Laut Nusantara, yang semula dianggap laut bebas” menjadi bagian integral wilayah Indosia. Di samping itu pengakuan landas kontinen Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) menghasilkan pertumbuhan wilayah Indonesia yang cukup besar, sehingga menghasilkan luas wilayah Indonesia yang semula nomor 17 di dunia menjadi nomor 17 di dunia.

Pertambahan luas ruang hidup tersebut di atas menghasilkan sumber daya alam yang cukup besar bagi kesejahteraan bangsa, mengingat bahwa minyak, gas bumi, dan mineral lainnya banyak yang berada di dasar laut, baik di lepas pantai (off shore) maupun di laut dalam. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional, termasuk tentangga dekat kita, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India, Australia, dan Papua Nugini yang dinyatakan dengan persetujuan yang menyangkut laut teritorial maupun landas kontinen. Persetujuan tersebut dapat dicapai karena Indonesia dapat memberikan akomodasi kepada kepentingan negara-negara tetangga antara lain bidang perikanan (traditional fishing right) dan hak lintas dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur atau sebaliknya.

Penerapan wawasan nusantara di bidang komunikasi dan transportasi dapat dilihat dengan adanya satelit Palapa dan Microwave System serta adanya lapangan terbang perintis dan pelayaran perintis. Dengan adanya proyek tersebut laut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan yang besar sehingga lalu lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat lancar jalannya. Penerapan wawasan nusantara di bidang ekonomi juga lebih dapat dijamin mengingat kekayaan alam yang ada lebih bisa dieksploitasi dan dinikmati serta pemerataannya dapat dilakukan karena sarana dan prasarana menjadi lebih baik. Penerapan di bidang sosial budaya terlihat dari dilanjutkannya kebijakan menjadikan bangsa Indonesia yang bhineka tunggal ika, sebangsa, setanah air, senasib sepenanggung, dan berasaskan Pancasila. Tingkat kemajuan yang sama merata dan seimbang terlihat dari tersedianya sekolah di seluruh tanah air dan adanya universitas negeri di setiap provinsi.


G. Wawasan Nusantara dan Integrasi Nasional

Dalam usaha mencapai tujuan nasional masih banyak yang mempunyai pandangan berbeda atau persepsi berbeda. Untuk itu pemerintah Indonesia telah mempunyai rumusan dalam konsep pandangan nasional yang komprehensif dan integral dalam bentuk wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang sama pada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan dan persatuan, sehingga akan menghasilkan integrasi nasional.

Secara teoretis integrasi dapat dilukiskan sebagai pemilikan perasaan keterikatan pada suatu pranata dalam suatu lingkup teritorial guna memenuhi harapan-harapan yang bergantung secara damai di antara penduduk. Secara etimologis, integrasi berasal dari kata integrate, yang artinya memberi tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kata bendanya integritas berarti utuh. Oleh karena itu, pengertian integrasi adalah membuat unsur-unsurnya menjadi satu kesatuan dan utuh. Integrasi berarti menggabungkan seluruh bagian menjadi sebuah keseluruhan dan tiap-tiap bagian diberi tempat, sehingga membentuk kesatuan yang harmonis dalam kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang bersemboyankan “Bhineka Tunggal Ika”. Integrasi nasional merupakan hal yang didambakan yang dapat mengatasi perbedaan suku, antargolongan, ras, dan agama (SARA). Kebhinekaan ini merupakan aset bangsa Indonesia jika diterima secara ikhlas untuk saling menerima dan menghormati dalam wadah NKRI.

Menurut Sartono Kartodirdjo, integrasi nasional berawal dari integrasi teritorial dan merupakan integrasi geopolitik yang dibentuk oleh transportasi, navigasi, dan perdagangan, sehingga tercipta komunikasi ekonomi, sosial, politik, kultural yang semakin luas dan intensif. Pada masa prasejarah telah terbentuk jaringan navigasi yang kemudian berkembang dan sampai puncaknya pada masa Sriwijaya dan Majapahit serta yang pada zaman Hindia Belanda diintesifkan melalui ekspedisi militer. Pada masa NKRI diperkokoh dengan adanya sistem administrasi yang sentralistik melalui sistem idukasi, militer, dan komunikasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 85).

Menurut Drake integrasi nasional adalah suatu konsep yang multidimensional, kompleks, dan dinamis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam integrasi nasional antara lain sebagai berikut. Pertama, pengalaman historis yang tampil sebagai kekuasaan yang kohesif, berawal dari penderitaan yang menjadi bagian warisan bersama sebuah negara. Kedua, atribut sosio-kultural bersama seperti bahasa, bendera, bangsa yang membedakan dengan bangsa lain dan yang memungkinkan WNI memiliki rasa persatuan. Ketiga, interaksi berbagai pihak di dalam negara kebangsaan dan adanya interdependensi ekonomi regional (Flip Litay, 1997; 10).

Masyarakat Indonesia sangat heterogin dan pluralistis. Oleh karena itu, bagi integrasi sosial budaya unsur-unsurnya memerlukan nilai-nilai sebagai orientasi tujuan kolektif bagi interaksi antarunsur. Dalam hubungan ini ideologi bangsa, nilai nasionalisme, kebudayaan nasional mempunyai fungsi strategis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisonal dan primodial yang tidak relevan dengan masyarakat baru. Dengan demikian nilai nasionalisme memiliki nilai ganda, yaitu selain meningkatkan integrasi nasional, juga berfungsi menanggulangi dampak kapitalisme dan globalisasi serta dapat mengatasi segala hambatan ikatan primordial.

Apabila dipikirkan antara integrasi dan nasionalisme saling terkait. Integrasi memberi sumbangan terhadap nasionalisme dan nasionalisme mendukung integrasi nasional. Oleh karena itu, integrasi nasional harus terus dibina dan diperkuat dari waktu ke waktu. Kelalaian terhadap pembinaan integrasi dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi bangsa. Sebagai contoh, keinginan berpisah dari NKRI oleh sebagian masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku karena selama puluhan tahun mereka hanya sebagai objek dan bukan subjek. Mereka hanya mendapat janji-janji kesejahteraan tanpa bukti dan menentang ketidakadilan di segala bidang. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah pusat dapat mengakomodasikan setiap isu yang timbul di daerah.

Integrasi nasional biasanya dikaitkan dengan pembangunan nasional karena masyarakat Indonesia yang majemuk sangat diperlukan untuk memupuk rasa kesatuan dan persatuan agar pembangunan nasional tidak terkendala. Dalam hal ini kata-kata kunci yang harus diperhatikan adalah mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis dan saling membantu atau dalam koridor lintas SARA. Integrasi mengingatkan adanya kekuatan yang menggerakkan setiap individu untuk hidup bersama sebagai bangsa. Dengan integrasi yang tangguh yang tercermin dari rasa cinta, bangga, hormat, dan loyal kepada negara, cita-cita nasionalisme dapat terwujud.

Dalam integrasi nasional masyarakat termotivasi untuk loyal kepada negara dan bangsa. Dalam integrasi terkandung cita-cita untuk menyatukan rakyat mengatasi SARA melalui pembangunan integral. Integrasi nasional yang solid akan memperlancar pembangunan nasional dan pembangunan yang berhasil akan memberikan dampak positip terhadap negara dan bangsa sebagai perwujudan nasionalisme. Dengan berhasilnya pembangunan sebagai wujud nasionalisme, konflik-konflik yang mengarah kepada perpecahan atau disintegrasi dapat diatasi karena integrasi nasional memerlukan kesadaran untuk hidup bersama dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis. Negara dan bangsa sebagai institusi yang diakui, didukung, dan dibela oleh rakyat diharapkan mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan masyarakat dan memperjuangkan nasip seluruh warga bangsa.

Dalam mengatasi isu-isu disintegrasi, pemerintah perlu melegalkan tuntutan mereka sejauh masih dalam koridor NKRI. Selruh warga bangsa perlu berempati pada masyarakat Papua, Aceh, dan Maluku. Perlu dimengerti bahwa masyarakat Papua adalah Indonesia yang di dalamnya terdiri dari banyak etnis, sebab tanpa Aceh dan Papua Indonesia bukan “Indonesia Raya” lagi. Dengan menaruh rasa empati kepada mereka, serta disertai tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yang menginginkan untuk berpisah tersebut dapat menyadari bahwa mereka dan “kita” adalah satu untuk mewujudkan kepentingan bersama, kemakmuran bersama, rasa keadilan bersama, dalam wadah NKRI. Namun bila isu-isu tidak pernah ditanggapi dan justru dengan pendekatan keamanan (militer), hal ini akan menimbulkan kesulitan di masa yang akan datang. Tututan yang wajar perlu diakomodasikan sehingga mungkin dapat meredakan keinginan berpisah dari NKRI. Perlu dicatat bahwa pemerintah RI harus meningkatkan kesejahteraan seluruh warga bangsa karena hal ini merupakan kunci terciptanya integrasi nasional demi terwujudnya cia-cita nasionalisme.

Dalam usaha mencapai tujuan nasional, masih banyak yang memiliki pandangan berbeda. Untuk itu pemerintah telah merumuskan pandangan nasional yang komperhensif dan integral yang dikenal dengan wawasan nusantara. Wawasan ini akan memberikan konsepsi yang sama kepada peserta didik tentang visi ke depan bangsa Indonesia untuk menciptakan kesatuan dan persatuan secara utuh, sehingga dapat mewujudkan integrasi nasional. Adanya nilai-nilai nasionalisme, khususnya nilai kesatuan, sangat mendukung terwujudnya integrasi nasional. Dengan demikian nilai-nilai wawasan nusantara, kususnya nilai kesatuan, yaitu kesatuan IPOLEKSOSBUD-HANKAM sangat mendukung adanya integrasi nasional.
H. Wawasan Nusantara dan Kerukunan Umat Beragama

Agama di satu sisi dapat meningkatkan integrasi nasional, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan konflik SARA, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Sampit, Pangkalanbun Kalimantan, Poso, Tantena di Sulawesi, Ambon, dan Papua. Konflik berbau SARA bisa terjadi karena adanya monopoli kebenaran ajaran agama dan menganggap agama lain tidak benar. Umat beragama sering bersifat konservatif, menganggap agamanya secara dogmatik paling benar, sehingga tidak membuka peluang untuk berdialog dengan agama lain dan tertutuplah toleransi antarumat beragama. Sikap semacam ini akan menimbulkan keretakan hubungan antarumat beragama.

Membicarakan agama dalam kohesi sosial atau kajian fungsional atas agama sebagai penerapan wawasan nusantara perlu kajian hubungan antara agama dan subsistem yang lain. Ada beberapa hal yang disebut oleh O’Dea mengenai fungsi agama (Kuntowijoyo, 1997: 7), yaitu sebagai berikut. Pertama, agama merujuk suatu apa yang ada di luar. Agama dapat menjadi semangat atau suport, memberi hiburan (pengharapan), dan rekonsiliasi. Manusia memerlukan suport dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti, memberikan pengharapan untuk berjalan dengan iman, atau hiburan ketika menghadapi kekecewaan, dan rekonsiliasi dengan masyarakat bila mengalami keterpencilan dari tujuan dan norma sosial. Kedua, agama memberikan hubungan transendental melalui upacara-upacara persembayangan sehingga memberikan rasa aman dan identitas yang kokoh dalam menghadapi perubahan. Ketiga, agama mensakralkan norma dan nilai dalam masyarakat, menjaga kelestarian dominasi tujuan dan disiplin kelompok atas keinginan dan dorongan-dorongan individual (sebagai sosial kontrol). Keempat, agama sebagai kritik sosial, di mana norma-norma yang sudah melembaga ditinjau ulang sesuai dengan fungsi kenabiannya (prophetic agama). Kelima, agama memberikan identitas dan menyadarkan tentang “siapa” mereka dan “apa” mereka. Keenam, agama berfungsi dalam hubungannya dengan kematangan seseorang individu dalam masyarakat. Ketujuh, agama berfungsi dalam membentuk social solidarity (solidaritas sosial). Kedelapan, agama dapat berperan dalam pemerataan pendapatan (Kuntowijoyo, 1997: 7).

Jadi kajian fungsi agama sangat berperan dalam membentuk solidaritas sosial untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Nilai-nilai agama bisa memberi semangat bagi individu dan kelompok masyarakat dalam menghadapi krisis multidimensional yang tidak kunjung selesai dan menghadapi disintegrasi bangsa seperti kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggurita. Nilai agama dapat mendorong antarumat untuk bersinergi dan kerja sama untuk membentuk kerukunan antarumat beragama. Nilai-nilai agama memberi penghiburan dan harapan untuk menghadapi ketidakpastian dan meyakini ada saatnya krisis total akan berakhir dan bangsa bisa bersatu mewujudkan tujuan nasionalnya.

Para pakar agama, dalam konflik SARA menyerankan mengendepankan dialog antaragama dengan mendatangkan tokoh-tokoh agama dengan tujuan agar terjadi sinergis kerja sama antarpemimpin agama dan umatnya, sehingga terjadi harmonisasi umat beragama (kompas, 27 April 2006, hal. 16). Namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Hak hidup dan kebebasan beragama diwarnai konflik-konflik seperti yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini bukan merupakan kebijaksanaan pemerintah, seolah-olah peristiwa di atas merupakan postulat P Huntington bahwa tantangan dunia modern adalah benturan peradaban budaya barat dan timur (Kompas, 27 April 2006: 13).

1. Pentingnya Kerukunan Umat

Definisi kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam negara Kesatuan Repblik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, Nomot 8 Tahun 2006, Bab I pasal 1). Kerukunan antarumat beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi saling memahami, menghormati, menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing dan membangun kerja sama yang positif dan produktif. Maria Van Der Hoeven, Mentri Pendidikan Belanda, dalam lawatannya ke Indonesia mengemukakan bahwa kerukunan antarumat beragama merupakan kunci dalam mewujudkan Civil Society. Pengembangan kehidupan agama, pendidikan, dan pemerintahan yang demokratis adalah kunci pengembangan masyarakat sipil. Agama perlu diajarkan di lembaga pendidikan secara terbuka dan tidak dogmatis demi penanaman pemahaman antarumat beragama. Penguatan kehidupan keagamaan masyarakat dengan memberi kebebasan penuh dalam hidup beragama justru akan mensuport masyarakat yang lebih demokratis.

Peran pendidikan agama diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya dan dapat menjadi dasar bagi peserta didik agar hidup berguna dalam mengembangkan IPTEKS (ilmu pengetahuan teknologi dan seni) dan mampu memgantisipasi perubahan zaman, perubahan sosial, dan globalisasi. Nilai-nilai agama dijadikan panduan, keyakinan yang membimbing, mengarahkan bagi setiap individu dan kelompok masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan agama juga diharapkan sebagai moral force (kekuatan moral) bagi bangsa untuk menghadapi segala permasalahan yang ada dan mewujudkan integrasi nasional atau pun tujuan nasional.

Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan antarumat beragama dalam masyarakat dan mewujudkan persatuan nasional (Sunarso, 2000: 12). Pendidikan kerukunan antarumat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang terdapat agama Katolik, Kristen, Yahudi, dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antaragama secara ilmiah. Rektor UMY Yogyakarta Dr. Khoirudin Bashori sependapat untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama perlu diadakan pendidikan agama dengan pendekatan demokratis, dengan sendirinya pengembangan kurikulum bisa mengarah pada pengembangan masyarakat demokratis. Pembelajaran pendidikan agama seharusnya tidak dilakukan secara dogmatik dan eksklusif.

Pengembangan pendidikan, pemerintahan yang demokratis, dan pendidikan agama seharusnya terintegrasi, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dalam upaya pembangunan masyarakat sipil. Pendidikan agama harus ditanamkan pemahaman tentang karakteristik dan kultur agama yang berbeda-beda. Cara ini dapat meminimalkan munculnya kesalahpahaman antarumat beragama. Pendidikan agama yang terbuka di Belanda dapat ditiru dan diterapkan di Indonesia sehingga bisa meminimalkan konflik SARA dan tercapai kerukunan antarumat beragama (Kompas, 6 Mei 2006, hal G). Kerukunan antarumat beragama akan memberikan konstribusi terhadap ketahanan nasional yang didasari wawasan nusantara. Gagasan kerukunan umat beragama didasari kasus kerusuhan Bondowoso, Rengasdenglok, Tasikmalaya, dan Ketapang. Oleh karena itu, perlu pemecahan melalui dialog antarumat beragama agar menghasilkan kerukunan antarumat beragama. Dialog antarumat beragama pada hakikatnya adalah percakapan terus terang dan bertanggung jawab yang didasari saling pengertian dalam menanggulangi kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, perlu adanya “agree in disagreement” atau setuju dalam perbedaan dan setiap peserta diharapkan berlapang dada dalam sikap dan perbuatan (Ajat Sudrajad, 2001: 2).

Agar pembinaan umat beragama dapat memperkokoh integrasi nasional maka perlu prinsip-prinsip, meningkatkan kualitas iman bagi umat, dan mengimplikasikan iman dalam kepekaan moral, kepekaan sosial, sehingga menghasilkan sikap toleransi dan terbuka. Kebebasan kehidupan beragama bagi setiap warga bangsa, tanpa monopoli kehidupan beragama, dan setiap umat diberi kebebasan beribadah dan menjalankan agamanya. Pemerintah sangat berperan dalam kerukunan umat beragama melalui dialog antarpemimpin umat untuk menciptakan inter dan antarumat beragama. Pola pembinaan pemerintah melalui tiga bentuk, yaitu kerukunan intern umat, kerukunan antarumat, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah atau “Tri kerukunan umat”.

Untuk menciptakan kondisi harmonis kerukunan antarumat beragama, para pemimpin umat perlu menanamkan nilai-nilai kemajemukan agama dan pluralisme agama sebagai kenyataan yang ada dalam diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsekwensinya setiap umat harus mengakui dan menghormati agama lain. Pluralitas agama merupakan realitas sosial. Oleh karena itu, perlu dibangun prinsip kebebasan dalam memeluk agama, sikap toleran, dan menghormati agama lain. Kerukunan antarumat adalah kondisi sosial di mana semua agama dan kepercayaan bisa hidup berdampingan tanpa mengurangi hak masing-masing untuk melaksanakan kewajibannya dan masing-masisng hidup rukun dan damai. Kerukunan ini hanya bisa dicapai apabila masing-masing pemeluk agama berlapang dada dalam kehidupan beragama serta saling menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang plural.



1   ...   15   16   17   18   19   20   21   22   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət