Ana səhifə

Tekstual, kontekstual dan liberal (6) Pengembangan PemikiranTerpadu dan Antisipatif


Yüklə 35.5 Kb.
tarix26.06.2016
ölçüsü35.5 Kb.
Manhaj Tarjih

TEKSTUAL, KONTEKSTUAL DAN LIBERAL (6)

Pengembangan PemikiranTerpadu dan Antisipatif
Pengembangan pemikiran terhadap ajaran Islam akhir-akhir ini menuju pada pemikiran kritis pada fikih yang dipandang tidak lagi memenuhi kebutuhan umat sehari-hari, bahkan ada yang merasa bahwa produk Fiqih masa lalu itu keras dan diskriminatif menurut pemikiran Barat, yang orang Barat sendiri juga sebenarnya diskriminatif. Mengapa masih ada yang tidak membolehkan orang kulit hitam masuk rumah makan kulit putih. Mengapa dunia Barat menganjurkan demokrasi di PBB masih ada hak veto dan sebagainya. Ilmu fiqih beserta fundamen-fundamennya, yang dianggap oleh sebagian ulama fiqih telah mantap, dan dianggap sempurna. Sehingga tugas para ahli fiqih berikutnya hanya dibatasi pada upaya-upaya mengakomodasi dan melanjutkan keseluruhan pemikiran yang dihasilkan para ulama terdahulu. Tidak diikuti dengan terobosan pemikiran baru. Sebagai contoh sejumlah kitab fiqih yang diajarkan di pelbagai perguruan tinggi Islam, pesantren dan sekolah-sekotah keagamaan, pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fiqih yang ditulis para ulama beberapa abad yang silam. Sedikit ditemukan hasil studi baru dengan ijtihad baru langsung dari dalil al Qur'an dan Hadits tidak tidak hanya sekadar menyampaikan pendapat lama tapi juga mengkritisi hasil yang telah disampaikan para ulama fiqih terdahulu. Tulisan-tutisan baru hanya mengemukakan pandangan-pandangan fiqih lama dan kurang memberi pandangan-pandangan alternatif yang relevan dengan konteks kekinian. Tulisan baru belum sepenuhnya berbicara untuk kebutuhan masa kini yang terus berkembang. Sebenarnya sudah ada usaha untuk itu namun belum memadai dan belum difahami oleh kebanyakan ulama, dan masih dikalangan akademisi. Kita dapat membaca kitab-kitab baru tentang dusturiyah (ketatanegaraan), duwaliyan (hubungan antar negara), iqtishadiyah (ekonomi) dan muamalah muashirah (masa kini), namun belum banyak dan belum banyak dikenal.

Nampaknya riqih yang ada pada saat ini mempunyai problem-problem yang harus dikritisi lebih mendalam, sehingga fiqih dapat memenuhi kebutuhan legalitas dan realitas. Fiqih masa kini dapat bersuara kembali sesuai kebutuhan zaman yang secara kontekstual berbeda dengan zaman dimasa fiqih telah dikodifikasi dahulu dengan tetap mempertahankan yang harus tetap berlaku dan mengganti yang perlu diganti sesuai dengan hasil ijtihad masa kini. Atas dasar pemikiran kontekstual, fikih itu harus dihubungkan dengan realitas masa kini. Sebenarnya pemikiran kontekstual itu termasuk juga pemikiran tentang pemecahan masalah dengan menggunakan dalil-dalil secara terpadu. Sehingga untuk mengantisipasi permasalahan masakini selain menyangkutkan masalah fiqih itu dengan mempadukan dalil-dalil yang ada. Bukan sekedar satu dua dalil yang tidak lengkap, tetapi mengambil dalil-dalil secara terpadu dalam rangka mengantisipasi problem masa kini sangatlah penting untuk dilakukan.



Problem Yang Ada Masa Kini

Diantara problem fiqih masa kini adalah kurangnya aturan yang berhubungan dengan kalangan di luar komunitas muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Namun tidak berarti harus merombak yang sudah shahih dengan yang bertentangan dengan nash dan maqashidusy syar'i. Pada tataran ini menurut sebagian cendekiawan fiqih antar umat manusia yang berbeda agama mengalami kelemahan dimensi keuniversalan dan kelenturannya. Secara implisit ataupun eksplisit menimbulkan kecurigaan terhadap eksistensi agama lain menurut mereka, padahal sebenarnya juga ada kelompok agama lain yang memojokkan fiqih sehingga pendapat mereka seakan-akan benar semua dan aturan dalam fiqih itu salah atau diskriminatif.

Untuk menjawab permasalahan itu perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkan kembali berbagai produk yang bisa menjawab persoalan kontemporer sebagai komponen pemikiran pemahaman terhadap teks-teks sumber ajaran agama Islam secara kontekstual. Kontekstual antar dalil dan dalil-dalil dengan realitas karena fiqih adalah hasil pemikiran dan pemahaman dari dalil-dalil dalam rangka menjawab problema zaman yang selalu berkembang. Hal ini didasarkan bahwa agama adalah rahmantan lil 'alamien, artinya agama Islam pembawa rahmat bagi semesta alam kapan saja dan dimana saja dengan tetap menjaga kemashlahatan yang mu'tabarah (ditunjukkan oleh nash) atau mursalah (lepas dari kaitan nash) dan menjauhkan mashlahah yang mulghah yang bertentangan dengan nash dan maqasyidus syar'iy. Pengembangan pemikiran dengan memahami dalil yang dahulu memahami satu dua dalil kemudian dikeluarkanlah hukumnya secara tekstual, dan pengembangan pemikiran selanjutnya dilakukanlah pemahaman dalil-dalil secara terpadu dan kontekstual dihubungkan dengan kenyataan dan kondisi yang ada dalam masyarakat (waqi'iy). Dalam memecahkan satu masalah hukum dilakukan dengan istidlal langsung dari al Qur'an baik yang mengandung pernyataan hukum yang positif (wajib atau sunnah) maupun yang negatif (haram maupun karahah atau makruh) terhadap masalah itu. Kemudian dicari pula dalam hadits sebagai tanfidz bayani, dan untuk masa sekarang perlu dipertimbangkan pula fakta dan realitas dan adat kebiasaan yang ada yang tidak bertentangan dengan syara'. Barulah diambil kesimpulan berupa ketentuan sebagai hasil ijtihad. Pemecahan masalah dengan dalil-dalil yang komprehensip dan kontekstual, baik antara dalil dan realitas kebutuhan masyarakat sekarang, itulah pengembangan pemikiran yang diperlukan masa kini.

Usaha Sebagian Ulama

Usaha-usaha pengembangan pemikiran sebenarnya sudah agak lama dilakukan. Jamaludin al Afghani melihat mandegnya pemikiran keagamaan tentang politik baik faham dan realitasnya menggugah umat dengan anjuran-anjurannya. Sekalipun tidak meninggalkan tulisan yang dapat dikategorikan fiqih dusturi (ketatanegaraan) maupun siyasi (politik). Namun pemikirannya dapat dirasakan sebagai resonansi pemikiran kearah pembaharuan fiqih baik fiqhul kabir (fiqih terpadu) dalam terminologi Hanafi yang meliputi aqidah ahkam dan akhlaq, maupun fiqih dalam terminologi Syafi'i yang hanya menyangkut ahkam amaliyah (hukum tentang perbuatan manusia). Muhammad Abduh yang dilanjutkan oleh Rasyid Ridla menggugah dan menggerakkan pembaharuan tentang pendidikan. Pemikiran demikian terus selalu ada, hanya sedikit dan seakan mandek pemikiran baru itu tidak berkembang lagi. Padahal sebetulnya sekarang ini banyak pemikiran-pemikiran demikian, hanya karena dominannya pemikiran berorientasi pada aliran lama yang baru tidak nampak.

Al Qardlawi melihat mandeknya fiqih itu dan berupaya mengembangkan pemikiran fiqih baru dengan menjadikan fiqih waqi'i (berdasarkan realitas) disamping mengambil yang lama yang memang seharusnya tetap berlaku. Langkah-langkah mendinamiskan fiqih guna menjadikan fiqih dari wajah yang statis menuju pada fiqih yang dinamis. Dengan melakukan pemahaman tekstual dan kontekstual dan reinterpretasi dalil syar'i sebagai sumber kemashlahatan dengan memperhatikan maqashit, yakni disamping pemahaman nash sebagai wahyu juga tujuannya untuk kemashlahatan manusia. Untuk itu diperlukan upaya menguak kembali hakekat doktrin keagamaan syari'ah pada maqashidusy syari'ah, mengembalikan fiqih pada ushul fiqihnya. Hal ini sebetulnya telah lama dilakukan oleh Al Ghazali dari aliran Syafi'iyyah, oleh asy Syathibi yang memberikan sorotan baru terhadap syari'ah dari aliran Malikiyah dan lbnu Taimiyyah dari aliran Hanabilah. Dari pengembangan pemikiran baru itu agama tidak hanya memuat ajaran ritual atau at ta'abut tapi juga membawa ajaran kemashlahatan umum bagi manusia. Kemashlahatan ini dibagi menjadi kemashalahatan primer atau dharuriya, kemashalatan sekunder atau hajjiyah dan kemashalahatan suplementer (tahsiniyah) sebagai pernah kita kemukakan pada rubrik terdahulu. Dalam rangka mencari kemashlahatan ini sebetulnya ulama telah membagi tiga kemashlahatan, yakni kemashtahatan mu’tabarah yang jelas didukung oleh teks yang berasal dari wahyu yang akan membimbing manusia dalam mencari kemashahatan di dunia menuju akherat khususnya yang bertalian dengan ubudiyah yang ijtihadiyah. Disamping itu ada juga kemashlahatan mursalah yang tidak didukung oleh teks untuk mendapatkan maupun menghindarinya dan disinilah tempat luas untuk mengembangkan pemikiran manusia semaksimal yang dapat dilakukan. Secara bebas tetapi tetap dibatasi dengan akhlakul karimah. Yang ketiga mashlahah mulghah yang nampaknya mashlahah tapi bertentangan dengan kontekstual nash baik secara umum maupun khusus yang berarti agama tidak mendukungnya, dan dianggap sia-sia seperti membolehkan nikah muslimah dengan laki-laki non muslim. Jadi boleh bebas tetapi jangan sampai melampaui batas. Boleh mendasarkan kesamaan (tidak diskriminatif) tetapi jangan sampai nanti membolehkan nikah sesama jenis dengan alasan hak azasi. Disini pentingnya pemikiran pembaharuan terhadap fiqih secara umum maupun khusus dimasa lalu tanpa harus mencerca produk lama karena produk itu disamping disesuaikan dengan dasar-dasar yang ditemukan oleh ulama dimasa lampau sesuai dengan semangat zamannya. Dan disini pula pentingnya tajdid dan reformasi disesuaikan masa kini dengan mengacu pada prinsip nash dan berfikir bebas, khususnya yang bertalian dengan hablun minannas.

Bentuk Pembaharuan Pemikiran

Tajdid berarti pembaruan dalam keagamaan, baik berbentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat. Asy Syatibi telah menulis kitab al I'tisham yang menjelaskan tentang bid'ah. Dalam memperbaharui pemikiran hukum syara' yang sebagian telah kabur, menghidupkan kembali qaidah-qaidah, serta ilmu-ilmu lahir dan batin yang ada dengan hati-hati.

Yusuf Qardlawi, salah seorang mujadid pemikiran tentang syari'at Islam dari Timur Tengah mengemukakan tajdid yang ada adalah memperbaharui –suatu bangunan tua, berarti kita membiarkan substansi, ciri, bentuk, dan karakteristik bangunan itu. Kita hanya memperbaiki yang rusak, menghiasinya kembali, menambah yang kurang memperindah bagian yang sudah usang. Jadi bukan menghancurkannya lantas diganti dengan bangunan baru yang berbeda. Demikian pula tajdidud dien itu bukan bermakna merubah agama.

Pembaharuan dalam Islam tentu bukan asal pengembangan, pemikiran, tetapi pengembangan pemikiran terhadap agama itu, dengan pengembangan pemikiran terhadap maksud sumber agama yakni wahyu tersebut, maksudnya pemikiran terhadap mashlahah yang dapat ditangkap dalam nash itu disesuaikan dengan kebutuhan kemashlahatan manusia masa kini, tanpa menghilangkan esensi wahyu tersebut. Kalau ada produk fiqih yang kurang sesuainya lagi dengan kebutuhan masyarakat masa kini karena perkembangan teknologi dan ilmu tentu harus dikritisi pula pentingnya lebih difahami kebenaran norma-norma yang ada dalam riqih Islam yang didasarkan pada wahyu dan pemikiran yang sejahtera bukan hanya hasil pemikiran belaka.


Sumber:

Suara Muhammadiyah



Edisi 15 2004


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət