Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə20/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   16   17   18   19   20   21   22   23   ...   30

2. Membentuk Kerukunan Umat


Menurut rohaniawan Hartoyo nilai-nilai subtansial sebagai akar budaya dalam hidup bersama di Amerika dan Eropa Barat adalah nilai kasih yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh, orang Barat sangat patuh sekali dalam tatatertib berlalu lintas karena pada prinsipnya jika melanggar berarti akan menyusahkan orang lain. Di negeri Barat juga dijunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan dan pendapat orang lain sebagai wujud dari masyarakat sipil (Wawancara Jum’at 19 Agustus 2005). Menurut Sangadi Mulya, peran orang beragama dalam kehidupan bersama adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip nilai keagamaan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata yang menjadi berkat bagi orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit, “Pelayanan keagamaan” telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masyarakat marginal (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar kerukunan antarumat beragama akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa. Jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa

Dalam sosialisasi pendidikan nilai agama secara universal dan holistik, perlu dipahami pendidikan formal. Oleh karena kesuksesan pendidikan formal dalam mewujudkan kerukunan antarumat diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils. Nilai-nilai itu ialah kemampuan untuk (i) bekerja antarkelompok keagamaan, (ii) bekerja dalam tekanan, (iii) memimpin, (iv) berkoordinasi, (v) berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, (vii) tabah dan gigih, (viii) percaya diri, (ix) memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi, dan (x) memiliki nasionalisme tinggi serta tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep manunggaling kawulo gusti yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX yang mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005).

Dalam mewujudkan peradaban yang baik perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol . Sementara kultural itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada nilai-nilai agama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Nilai-nilai di atas dapat diwujudkan karena nilai-nilai agama yang dihayati dan diamalkan dapat memberi kekuatan, memberikan kemampuan, kesanggupan, dan kedamaian bagi penganutnya.

Dalam usaha untuk mengerti agama orang lain perlu mencari informasi agama orang lain, memiliki perhatian dan keterikatan empati, memiliki kemauan untuk melakukan yang konstsruktif. Hal penting bagi umat ialah memperoleh informasi mengenai pluralitas agama yang dapat menjangkau praktik ajarannya. Dengan demikian umat menyadari keberadaanya, sehingga akan mendukung integrasi nasional. Model ini perlu dipahami dan diaktualisasikan oleh seluruh umat beragama dan warga bangsa, sehingga tercipta kerukunan hidup beragama, saling menghormati dan mewujudkan keharmonisan. Dengan demikian fungsi agama dapat mewujudkan perdamaian dan kerukunan agama dapat menjadi perekat integrasi nasional melalui pandangan, visi ideal sebagaimana yang terdapat dalam wawasan nusantara (Ajat Sudrajad, 2001: 6).


3. Kerukunan dalam Perbedaan

Terjadinya konflik di Poso yang menelan banyak korban, dan terakhir lebih dari 12 orang meninggal. Menurut Yusuf Kala Wakil Presiden RI, hal ini disebabkan karena akumulasi peristiwa dengan motif dendam, ditambah masuknya ajaran radikalisme dan belum efektifnya penegakkan hukum, kepastian hukum, dan jaminan keamanan secara maksimal (Kompas Minggu, 28 Januari 2007).

Peristiwa di atas bisa terjadi karena setiap warga bangsa kurang menyadari adanya keanekaragaman ras, suku, adat istiadat, golongan dan agama yang telah disepakati dalam “Bhinekatunggalika”. Atau sudah mengetahui bahwa keberagaman SARA (suku, ras antar golongan dan agama), namun adanya kelompok kepenting yang ingin mencari keuntungan dalam bidang politik telah menutup nuraninya melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM dengan menggunakan isu agama, ajaran agama sebagai kendaraanya politiknya.

Negara Indonesia adalah negara yang bersifat plural dalam berbagai hal baik ras, suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan agama. Keberagamaman ini bisa merupakan kekayaan bagaikan mosaik yang sangat indah dan berharga jika bisa dekelola dengan baik seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Namun kekayaan ini jika tidak dapat dekelola dengan cerdas akan menjadi ancaman seperti yang terjadi di Balkan, Irak, Srilangka, atau di Libanon. Oleh karena itu kelangsungan hidup bangsa tergantung bagaimana mengelola keberagaman SARA (suku antar golongan ras dan agama) menjadi kekuatan sinergis untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa yang majemuk. Dengan lain perkataan keberagamaan SARA dapat berbanding terbalik, menjadi amunisi disintegrasi atau sebaliknya perbedaan keragaman justru saling melengkapi untuk bekerja sama mewujudkan integrasi nasional demi kepentingan bersama.

Apabila dicermati peristiwa-peristiwa SARA yang terjadi di Indonesia sangat kompleks, namun dapat diindentivikasikan biasanya bersumber pada permasalahan perebutan sumber daya ekonomi, alam, perebutan kekuasaan antara elit, ketidak adilan, kemiskinan, ketidak berdayaan masyarakat bawah, tekanan ekonomi, kelompok yang terpinggirkan, radikalisme agama, kepentingan pemerintah pusat, yang semua saling terkait saling berbenturan. Dalam terori sejarah terjadinya konflik diawali oleh penyebab umum yang kondusif seperti masalah-masalah di atas, maka jika terjadi terjadi peristiwa kecil dapat menyebabkan pemicu terjadinya konflik masal. Pada umunya perbedaan agama paling mudah digunakan untuk mencari simpati, empati dan menggalang masa demi kepentingan kelompok tertentu.

Negara Indonesai bukan negara agama, namun nilai-nilai agama dijunjung tinggi, dalam arti bahwa negara Indosia berdasarkan Pancasila yang menghargai norma-norma keagamaan secara universal. Nilai-nilai kemanusiaan sangat dihargai seperti rasa toleransi dalam teposliro”, berimpati dan “bergotong royong”, bekerja sama dalam hal kebaikan. Oleh karena itu segala bentuk kekerasan, tindak kriminal, orogansi yang selama ini terjadi di wilayah Indosnesia perlu dipertanyakan hal ini bertentangan dengan budaya bangsa (Baskoro, 2005: 2).


Analisis kami peristiwa-peristiwa konflik di Indonesia ada beberara kemungkinan penyebabnya; selain tekanan ekonomi, perubahan sosial politik karena globalisasi, ada indikasi ajaran radikalisme agama yang secara subtansial ingin mengubah tatanan masyarakat yang sudah mapan dengan ideologi agama dan bekerja sama dengan elit lokal untuk kepentingan politiknya. Oleh karena itu salah satu solusi yang sangat diperlukan adalah mengaktifkan kembali kerukunan antara umat beragama, baik rukun antar agamanya sendiri-sendiri meskipun ini sulit di zaman demokrasi, rukun antar agama yang brbeda, dan rukun dengan pemerintah melalui ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan. Pentingnya pengembangan sikap tolerasi antara umat beragama harus dikedepankan, dan menghindari sikap eksklusif tetapi mengembangkan sikap inklusif keagamaan dalam ajaran masing-masing, selain menghindari sikap fanatisme sempit yang menganggap orang di luar agamanya menjadi musuh yang harus disingkirkan.

Definisi kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara Kesatuan Repblik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006, Nomot 8 Tahun 2006, Bab I pasal 1).

Kerukunan antarumat beragama ini bisa terwujud jika ada toleransi saling memahami, menghormati, menghargai, kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya masing-masing dan membangun kerja sama yang positif dan produktif. Menurut Maria Van Der Hoeven Mentri Pendidikan Belanda dalam lawatannya ke Indonesia mengemukakan kerukunan antarumat beragama merupakan kunci dalam mewujudkan Civil Society. Pengembangan kehidupan agama, pendidikan dan pemerintahan yang demokratis adalah kunci pengembangan masyarakat sipil. Agama perlu diajarkan di lembaga pendidikan secara terbuka dan tidak dogmatis demi penanaman pemahaman antarumat beragama. Penguatan kehidupan keagamaan masyarakat dengan memberi kebebasan penuh dalam hidup beragama justru akan mensuport masyarakat yang lebih demokratis.

Pendidikan kerukunan antarumat beragama diharapkan dapat terintegrasi seperti di Belanda yang terdapat agama Katolik. Kristen, Yahudi dan Islam. Untuk membangun kehidupan sipil yang baik pemerintah memfasilitasi pendidikan agama yang diajarkan secara terbuka dan tidak dogmatik. Siswa yang beragama Kristen (sebagai agama mayoritas) mempelajari agama lain atau sebaliknya dan selain itu diadakan dialog antar agama secara ilmiah. Rektor UMY Yogyakarta Dr. Khoirudin Bashori sependapat untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama perlu diadakan pendidikan agama dengan pendekatan demokratis, dengan sendirinya pengembangan kurikulum bisa mengarah pada pengembangan masyarakat demokratis. Pembelajaran pendidikan agama seharusnya tidak dilakukan secara dogmatik dan eksklusif.

Pengembangan pendidikan, pemerintahan yang demokratis, dan pendidikan agama seharusnya terintegrasi, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dalam upaya pembangunan masyarakat sipil. Pendidikan agama harus ditanamkan pemahaman tentang karakteristik dan kultur agama yang berbeda-beda. Cara ini dapat meminimalkan munculnya kesalah pahaman antarumat beragama. Pendidikan agama yang terbuka di Belanda dapat ditiru dan diterapkan di Indonesia sehingga bisa meminimalkan konflik SARA dan tercapai kerukunan antarumat beragama (Kompas, 6 Mei 2006, hal G).

Masyarakat sipil yang demokratis akan kuat jika terdapat sinergi antarumat beragama dalam membangun proyek-proyek yang dihadapi bangsa secara bersama-sama. Misalnya dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, membrantas pornografi – pornoaksi, menangani kekurangan gizi balita masyarakat marginal, menangai kasus perburuhan, membrantas Pekat, dan memajukan pembangunan di segala bidang, Dengan adanya kerja sama yang sinergis baik pemimpin agama, persaudaraan antarumat dan kerja sama dengan pemerintah maka freksi-freksi, kerusahan dan kekerasan agama bisa diminimalisasikan sehingga masyarakat sipil yang diidam-idamkan bisa terwujud.

Dalam suatu teori sistem semakin banyak jaringan-jaringan dalam masyarakat maka keadaan masyarakat itu akan kuat. Oleh karena elemen-elemen masyarakat yang ada saling berhubungan dan saling membutuhkan sekaligus membentuk jaringan kuat. Tiap-tiap individu memiliki komunitas-komunitas lebih dari satu organisasi, sehingga jika terjadi konflik dimasyarakat akan memiliki berbagai mediasi untuk menyelesaikan konflik atau freksi-freksi yang terjadi dengan memberdayakan jaringan yang ada. Dalam masyarakat yang heterogin seperti Yogyakarta meskipun terdiri lintas SARA tidak akan terjadi konflik-konflik seperti di Poso, Tantena, Ambon, Sanggoledo atau seperti di Aceh. Oleh karena selain masyarakatnya cukup terpelajar, banyak organisasi-orangasasi sosial kemasyarakatan yang baerwawawasan lintas SARA seperti lembaga kerukunan antara umat Yogyakarta untuk memelihara kerukunan antarumat beragama,


4. Rukun Agawe Santonso, Crah Agawe Bubrah

Ungkapan di atas sangat tepat untuk membangun persaudaraan antarumat beragama di tengah-tengah masyarakat majemuk. Sebagaimana diungkapkan mantan Lurah Desa Puwomartani bahwa menyesihkan atau meminggirkan (memarginalkan) kelompok agama yang lain akan memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu persaudaraan antarumat beragama harus dipupuk dan dibina dengan komitmen bersama mewujudkan kehidupan yang lebih harmonis melalui dialog antarumat beragama guna mewujudkan kerukunan anatra umat beragama, Sebagaimana ungkapan jawa “rukun agawe santosa dan crah agawe bubrah”, artinya kerukunan antarumat itu membuat masyarakat menjadi kuat. Namun jika banyak terjadi konflik-konlik dan freksi yang tidak sehat akan memperlemah bangsa dan negara (Subardi, wawancara, 2002).

Menurut KH Husein Mohamad, Islam memiliki ajaran demokratis dan egalitarian dalam kehidupan masyarakat “perbedaan tetap dihargai tetapi tidak boleh membeda-mbedakan, misalnya hak asasi manusia, hak etnis maupun pluarlisme” (Nunuk M. Pambudi, 2006: 12). Secara teologis tidak boleh membedakan manusia dengan latar belakang sosial budaya. Tuhan tempat menjastifikasi atas namaNya, namun demikian Islam sangat membebaskan tidak boleh ada pandangan bahwa dia lebih besar dan lebih benar dari yang lain. Manusia yang memiliki kelebihan dan dekat dengan Tuhan adalah siapa saja yang memiliki komitment pada penegakkan kemanusiaan, yang melihat manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus dihormati sebab Tuhan juga menghormati manusia.

Islam sebagai agama perdamaian sangat mengecam radikalisme dan iksklusifisme, justru yang ditekankan Islam adalah spirit pluralisme. Norkalis Masjid yang dikutip Yusrianto mengatakan: bahwa dalam Islam hubungan kerukunan antarumat beragama terletak pada semangat humanitas dan universilatas. Wujud humaitas itu adalah agama kemanusiaan (fitrah) yang sangat peduli terhadap unsur-unsur sosial dan kemansyarakatan. Sedangkan universalitas Islam yang dimaksud adalah secara teologis perkataan Al-Islam adalah sikap pasrah pada Tuhan dan hidup dalam perdamaian. (Yusrianto, 2006: 4). Dengan demikian Islam juga mengakui agama-agama di bumi, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan, perdamaian, persaudaraan dan kerukunan antara umat beragama.

Kedudukan Islam sebagai berkat bagi dunia merupakan manifestasi dari rahmatan lil alamin untuk mengadakan perdamaian, mengahruskan umat Islam menjadi penengah dan saksi di antara umat manusia. Hal ini sudah diteladani oleh Mohamad sebagai Nabi Umat Islam ketika di Madinah telah mengeluarkan Piagam yang isinya menghargai keberadaan minoritas non-moslim. Oleh karena itu Islam tidak membeda-mbedakan SARA, semua manusia sebagai ciptaan Allah akan mendapatkan prinsi-prinsip rahmat secara universal.

Dengan demikian mempelajari nilai-nilai agama harus secara terbuka atau inklusif dan mengakui adanya kemajemukan. Kemajemukan atau pluralisme merupakan aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, sehingga tidak bisa diingkari. Bahkan dalam Injil Tuhan menghendaki keberagaman umat manusia ketika manusia mendirikan menara Babil dan ingin membuat “komunitas satu” maka terjadilah bahasa yang berbeda-beda dan akhirnya manusia menyebar keseluruh dunia. Tuhan mencitakan manusia beraneka ragam pasti punya maksud untuk saling mengasihi dan bekerja sama sehingga namaNya dipermuliakan. Oleh karena itu pluralisme perlu diterima secara postif sehingga menghasilakan kerukunan umat beragama untuk mewujudkan modal dasar masyarakat sipil (masyarakat madani).

Dalam kaitannya dengan keberagaman dan perbedaan pendapat setiap manusia harus mengakui bahwa kebenaran mutlak adalah berada di tangan Tuhan, hendaknya manusia mengakui kenisbian dan kerelatifan manusia dalam menangkap kebenaran hakiki. Dengan menyadari kesadaran ini, maka klaim kebenaran oleh kelompok tertentu diharapkan tidak terjadi lagi. Tindakan pemaksaan kehendak kebenaran kelompok terhadap orang lain atas nama Tuhan merupakan tirani dan mengingkari kenyataan yang telah diciptakan Tuhan sendiri.

Jadi kemanjemukan SARA tidak harus dijadikan untuk saling mencari menangnya sendiri melalui kekerasan, tetapi justru sebaliknya perbedaan lintas SARA selalu menanamkan titik temu dalam menilai kesamaan dari semua kelompok yang ada untuk mewujudkan masyarakat sipil (masyarakat madani). Dalam Islam toleransi mendapat posisi yang paling utama untuk menamkan kerukunan antarumat beragama, sebagaimana dikutip oleh Yusrianto Elga:

“Suruhlah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, sesunggunya Tuhan yang mengetahui siapa yang tersesat dijalannya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk” dan bagimu agamaku dan bagimu agamamu. (Yusrianato Elga, 2006: 4).

Jadi pada dasarnya semua agama mengambil sikap dalam koridor kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu segala ajaran yang bersifat doktrin yang eklusuf dan tidak mempunyai tujuan esensi untuk kehidupan bersama harus dieleminir. Nilai agama atau the heart of religion bersifat ilahi dan abadi yang hidup disetiap agama yang diharapkan dapat menghasilkan kebersaamaan antarumat agama untuk membanun masyarakat sipil.


5. Sosialisasi Nilai-nilai Agama

Dalam usaha mensosialisasikan nilai-nilai agama peserta didik sering mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan bagaimana harus berpikir, berkeyakinan dan bertingkah laku sebab apa yang dimengerti belum tentu sama dengan apa yang terjadi dalam masyarakat yang penuh konflik nilai. Televisi dan koran memberikan informasi yang berbeda dengan apa yang ada dalam keluarga maupun yang terjadi di masyarakat, sehingga hal ini sangat membingungkan peserta didik untuk menentukan pilihan nilai. Peserta didik sulit menentukan pilihan nilai yang terbaik, akibat dari tekanan dan propaganda teman sebaya. Dalam hal ini jika pendidikan nilai agama ingin berhasil perlu mengajarkan secara langsung kepada anak didik dengan memberi keteladanan yang nyata. (Parjono, 2005: 1).

Transfer nilai kepada generasi muda juga dapat digunakan dengan metode secara moderat karena didunia ini tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu peserta didik harus mengolah dan memiliki normanya sendiri. Generasi tua hanya memberikan norma-norma yang sudah dibakukan dan mengajarkannya, sehingga peserta didik tidak merasa disitir dan digurui, mereka dibiarkan untuk bareksprimen, berdialog dengan dirinya atau merenungkan ajaran agama, sehingga peserta didik menemukan apa yang dikehendakinya dan tidak bertentangan dengan nilai subtansial.

Cara lain untuk memindahkan nilai dengan cara memodelkan, dengan asumsi bahwa guru (panutan) menampilkan diri dengan nilai tertentu sebagai model yang mengesankan, maka harapannya generasi muda akan meniru model yang diideolakan. Namun demikian model-model tingkah laku dan sikap yang berhubungan dengan nilai sering ditampilkan oleh banyak orang yang berbeda-beda sehingga anak bisa mengalami kebingungan dalam menentukan nilai. Oleh karena itu orang dewasa harus mengajar nilai-nilai agama atau ajaran agama berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya pada waktu dirumah, dalam perjalanan, waktu ditempat tidur dan pada waktu bangun pagi. Firman Tuhan (ajaran agama) harus diikatkan sebagai tanda pada tangan dan dahi, dan meneuliskan pada tiang pintu dan pintu gerbang. Atau seluruh kehidupan dan aktivitas serta lingkungan hidup dijadikan media untuk sosialisasi nilai-nilai agama (LAI, 2003: 200.). Dalam mengemplementasikannya pada kehidupan sehari-hari di bidang politik, ekonomi, budaya kerja sebetulnya telah dibantu dengan Etika Agama sehingga tidak perlu ragu-ragu untuk bertindak yang benar (J. Verkulyl, 1985.: 23).

Dalam usaha transfer nilai juga diperlukan tidak difokuskan pada isi nilai, tetapi lebih dipentingkan dalam proses nilai, maksudnya proses bagaimana seseorang sampai pada suatu pemilihan nilai (Parjono, 2005: 2).

Prinsip pembelajaran nilai merupakan pembelajaran yang efektif yang harus menempatkan peserta didik sebagai pelaku firman, mereka harus diberi kesempatan untuk belajar secara aktif baik pisik maupun mental. Aktif secara mental bila peserta didik aktif berpikir dengan menggunakan pengetahuannya untuk mempersepsikan pengalaman yang baru disamping secara fisik dapat diamati keterlibatannya dalam belajar sehingga norma agama menjadi bagian dari hidupnya.

Dalam pembelajaran nilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pembelajaran nilai dapat efektif yaitu perbuatan dan pembiasaan. Oleh karena dengan perbuatan siswa dapat secara langsung melakukan pengulangan perbuatan agar menjadi kebiasaan. Atau menjadi nilai budaya mereka.

Interaksi antara panutan yang memberi keteladanan pada peserta didik dan kondisi lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran nilai sangat menguntungkan untuk tranfer nilai melalui saling membagi dalam pengalaman. Guru yang baik juga dapat mengerti perasaan, pemahaman, jalan pikiran peserta didik dan mereka diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan sekaligus dapat memberi jalan keluar dalam pergumulan pemilihan nilai yang ada tanpa mengindoktrinasi.

Melalui pemahaman yang mendalam terhadap materi pembelajaran nilai, peserta didik dapat memilih berbagai alternatif nilai yang ada dan mengamalkan sebagai ujud aktualisasi diri. Guru sebagai panutan yang meberi hidupnya bagi peserta didik diharapkan dapat merefleksi diri melalui perasaan dan pikirannya setelah merenung dan mendapat masukan sehingga dapat mngetahui sejauh mana pemahaman dan pengamalan nilai yang telah diterima dan dilakukan siswanya.

1   ...   16   17   18   19   20   21   22   23   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət