Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə21/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   17   18   19   20   21   22   23   24   ...   30

6. Aktualisasi Nilai Agama


Agama diharapkan mampu untuk mengatasi masalah subtansial meluasnya kemiskinan, busung lapar, pengangguran, wabah penyakit, meningkatnya angka bunuh diri di kdalangan anak-anak, kekerasan terhadap anak dan segala permasalahan yang dihadapi bangsa.

Agama juga diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk meredam kebringasan demonstrasi buruh pada tanggal 3 Mei 2006 yang berakhir anarkhis dengan merusak pagar jembatan tol dan pagar Gedung DPR RI yang menyebabkan kerugian Jasa Marga dan Pemerintah lebih dari satu mliyard empat ratus juta rupiah. Agama juga diharapkan bisa meredam kebringasan demonstran yang anarkhis dengan membakar Pendopa Kabupaten Tuban. Namun kenyataannya agama (orang yang beragama) hanya sebagai ageman (pakaian) yang tidak merubah nurani manusia untuk bertingkah laku sesuai dengan nurani dan budi pekerti luhur sehingga manusia beragama tampil arogan distruktif dan anarkhis.

Nilai-nilai agama diharapkan mampu memberikan jaminan bagi hak-hak sipil dan seluruh warga bangsa, namun kenyataannya hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan tanpa halangan terkendala, banyak tempat ibadah ditutup dengan dikeluarkannya SKB 2 Mentri pada tahun 2006 dengan alasan tidak memenuhi kuota anggotanya dan meresahkan masyarakat. Menurut Dawan Raharjo, negara seharusnya tidak membiarkan teror hidup di Indonesai dan sebaliknya negara harus melindungi hak sipil khususnya dalam menjalankan ibadah agamanya. Pelanggaran terhadap hak sipil yang bersumber pada hak asasi manusia adalah kejahatan.

Jika negara membiarkan kelompok tertentu meneror kelompok lain, negara dalam konteks itu juga melakukan kejahatan, terjadinya kekerasan dalam kehidupan beragama karena penyelenggara negara tidak memahami hak-hak sipil. Berbagai kasus penyerangan terhadap kelompok agama tertentu adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sipil di Indonesia. Hal yang lebih memprehatinkan lagi adalah penyelenggara negara membiarkan aksi tersebut (Kompas, 1 Mei 2006: 5).

Ketidak mampuan pemerintah menyikapi berbagai kasus teror terhadap kelompok agama lain, disebabkan karena hegemoni mayoritas terhadap minoritas. Pada hal seharusnya di Indonesia, adalah masyarakat yang pluralistik, setiap golongan agama memiliki hak hidup yang sama. Menurut Dawam tidak ada golongan agama minoritas dan mayoritas di Indonesia, pada dasarnya kelompok mayoritas tidak memiliki hak lebih besar dari pada minoritas. Sedang menurut Supomo negara Indonesia menganut paham integralistik, menurut paham ini yang terpenting adalah penghidupan bangsa seluruhnya. negara tidak memihak golongan yang paling kuat atau mayoritas, tidak juga memandang kepentingan seseorang sebagai pusat tetapi negara menjamin keslamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan (Kaelan, 2002: 39).
7. Pengembangan Nilai-Nilai Egalitarian

Dalam mensosialisasikan Pendidikan agama di masyarakat perlu dikembangkan nilai-nilai kebersamaan. Hal yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bersama sebagai warga bangsa adalah menanamkan nilai-nilai toleransi antarumat beragama, bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan heterogin. Sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada harus senantiasa dikembangkan. Oleh karena itu sikap eksklusif dan pemahaman terhadap agama yang sempit harus dihindari, agama sering dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain. Tindakan antagonis ini sangat conter producitive dengan hakikat kemanusiaan universal.

Pemahaman agama yang berada dalam tataran institusi, hanya menghasilkan hal yang formalitas, dan belum mengenai makna yang esensi. Sedang pemahaman makna yang esensi, nilai-nilai agama akan dapat dijadikan motivasi kebersamaan, kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sangat penting artinya pendidikan agama bagi generasi muda, nilai agama tidak hanya sebagai ritualitas tetapi diharapkan dapat mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.

Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama secara baik akan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, dan dapat dijadikan landasan spiritual, moral, etika bagi pembangunan nasional, sehingga dapat memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.

Peringatan bagi para pakar ilmu agama sebagaimana dengan paradigma modern peradaban saat ini telah mendorong rasionalisasi memasuki primordialistik, tradisi keagamaan dan dalam kehidupan bersama.

Sasaran yang semula menjadi akar peradaban mulai bergeser ke arah bangun dasar negara yang menjaga stabilitas bangsa. Kehidupan bersama saat ini bagi generasi muda mempunyai makna berbeda, karena situasi dan tantangan zaman berbeda. Perlu dimengerti bahwa kepribadian generasi muda terbentuk oleh jiwa zaman dan untuk membentuk kepribadian global.

Anak-anak zaman dimasa yang akan datang adalah generasi yang memeliki kesadaran kemanusiaan, dan nilai-nilai moral yang terkandung secara intrensik di dalamnya. Oleh karena itu bagi generasi tua perlu mewariskan butir-butir kemanusiaan secara universal dan eqalitarian, bukan hanya format struktur kebangsaan melainkan moralitas dan roh yang dapat membangun hidup bersama.

Pentingnya bagi generasi penerus, pewaris cita-cita bangsa agar menumbuhkembangkan komitment kebangsaan dan kemanusiaan dalam sebuah masyarakat modern suatu orde generasi dengan kemampuan kreatif dan tidak terbatas pada logika formal yang dangkal.


Kontribusi Nilai agama dalam membentuk kerukunan antarumat


Menurut Rohaniawan Hartoyo nilai-nilai subtansial sebagai akar budaya dalam hidup bersama di Amerika dan Eropa Barat adalah nilai kasih yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh orang Barat sangat patuh sekali dalam tatatertib berlalu lintas, karena pada prinsipnya jika melanggar berarti akan menyusahkan orang lain, di negeri Barat juga dijunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan dan pendapat orang lain sebagai ujud dari masyarakat sipil (Wawancara Jum’at 19 Agustus 2005). Sedang menurut Sangadi Mulya peran orang beragama dalam kehidupan bersama adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip nilai keagamaan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata menjadi berkat bagi orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit “Pelayanan keagamaan” telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masayarakat marginal (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar kerukunan antarumat beragama akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa, jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa (Wawancara, 21 Agustus 2005).

Dalam sosialisasi pendidikan nilai agama secara universal dan holistik, perlu dipahami pendidikan formal. Oleh karena kesuksesan pendidikan formal dalam mewujudkan kerukunan antarumat diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils yaitu kemampuan untuk bekerja antar kelompok keagamaan, bekerja dalam tekanan, kemampuan memimpin, kemampuan berkoordinasi, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, tabah dan gigih, percaya diri, memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi dan memiliki nasionalisme tinggi tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep “manunggaling kawulo gusti” yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005).

Dalam mewujudkan peradaban yang baik perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol . Semantara kultural itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada nilai-nilai agama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Sedang Nilai-nilai di atas dapat diujudkan karena nilai-nilai agama yang dihayati dan diamalkan dapat memberi kekuatan, memberikan kemampuan, kesanggupan dan kedamaian bagi penganutnya.
8. Konsep Masyarakat Spil (Civil Sosiety) atau Masyarakat Madani

Civil Society atau masyarakat sipil dalam bahasan ilmu sosial dimaknai sebagai konsep yang berkaitan dan dipertentangkan dengan “masyarakt politik” yang secara umum dipahami sebagai negara. Konsep ini pertama kali timbul di Eropa pada zaman Enlightment. Konsep masyarakat sipil dapat dilacak pemikiran tokoh humaniora seperti Hobbes, Locke, Montesquie, Roousseau. Civil Society dipahami sebagai kawasan privat yang dipertentangkan dengan kawasan negara atau publik. Pemikiran ini mengubah wacana civil society sebagai diskurs pemikiran kristis terhadap kapitalisme (Andi Mallarangeng, 200: 14). Sedang di Eropa Timur muncul dasawarsa 1980 an sebagai jawaban terhadap negara dengan sistem partai tungggal, dan kemudian menjalar ke Eropa Barat dengan konsep “negara kesejahteraan” (Welfare State). Amirika Latin, Afrika, Asia dam Timur tengah konsep civil society digunakan untuk mengekspresikan perjuangan untuk demokratisasi dan perubahan politik.

Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana hak dan kewajiban dihargai dan dijunjung tinggi, sehingga tercipta masyarakat yang damai, adil, dan berbudaya dan terjadi kerukunan antarumat beragama dengan ciri-cirinya adalah (i) mengakaui keanekaragaman budaya yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa, (ii) pentingnya saling pengertian antar sesama anggota masyarakat dan memiliki toleransi yang tinggi, (iii) perlunya lembaga sosialisasi nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum (Istiqomah, 2003: 10).

Dalam perkembangan politik di Indonesia pada masa razim Suharto, wacana civil society telah menjadi suatu cara untuk melepaskan ketidak puasan terhadap pengelolaan praktik-praktik Orba dalam pengelolaan sosial, politik dan budaya. Di tengah hegemoni negara yang melakukan pembatasan kebebasan, civil society memperoleh mementum sebagai obyek wacana bertepatan dengan masa reformasi untuk mengoreksi terhadap era sebelumnya. Akhirnya civil society terakumulasi dijadikan cita-cita yang ideal untuk mewujudkan Indonesia Baru. Pada masa itu diadakan banyak seminar, talkshow, dan banyak artikel yang mengkonsep Indonesia baru yang terkait dengan masyarakat sipil. Pada masa pemerintahan Habibie konsep masyarakat sipil telah dijadikan acuan reformasi dan pembentukan Indonesia Baru melalui pendirian Tim Nasional Reformasi menuju Masyarakat Sipil. Namun yang terjadi justru kontra produktif telah terjadi fenomena radikalisme masa menggunakan isntsrumen agama untuk kepentingan kelompok, terlihat ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan sosial yang menanmpil amuk masa yang distruktif. Hal yang lebih memprehatinkan lagi adalah sebagian besar fenomena komunalisme dan radikalisme masa menggunakan intrumen agama dalam menggunakan ideologi dan gerakannya justru anti demokrasi dan tidak sesuai dengan hakikat msyarkat sipil (Sunarso, 2004: 34).

Menurut Denny dalam “Terancamnya Konsolidasi Demokrasi” ada tiga variabel utama dalam mewujudkan kehidupan demokrasi untuk mewujudkan masyarakat sipil adalah (i) Pertumbuhan ekonomi, jika ekonomi suatu negara tidak tumbuh maka negara itu tidak akan mencapai demokrasi, (ii) Variabel kedua yang mempengaruhi konsolidasi adalah kultur liberal; nilai eqalitarian terlepas dari isu SARA dan jender, (iii) Kesepakatan elit, tentang kesepakatan aturan main politik (Denny, 2006: 16).

Apa yang terjadi di Indonesia ketiga variabel tersebut sangat buruk, ekonomi mengalami krisis, kultur liberal tidak terjadi tetapi justsru kultur intoleran dan kekerasan. Sementara itu tak ada aturan main bersama yang disepakati. Melalui pendidikan demokrasi diharapkan mengahasilkan fondasi politik yang kokoh dengan menghasilkan ekonomi yang tumbuh, kultur liberal dan kesepakatan elite dalam aturan main politik.

Dalam negara demokrasi untuk mewujudkan kerukunan umat beragama dan mewujudkan masarakat sipil perumusannya disesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, konsep rule of low (negara hukum) yang direvisi ahli hukum internasional merumuskan pemerintah yang demokratis memiliki kriteria (i) perlindungan konstitusional, (ii) badan kehakiman yang bebas, (iii) pemilu yang bebas, (iv) kebebasan menyatakan pendapat, (v) kebebasan beroposisi, dan (vi) pendidikan kewarganegaraan. Nilai-nilai demokrasi yang harus ada menurut Mayo ialah (i) penyelesaian konflik secara damai dan melembaga, (ii) menjamin perubahan secara damai, (iii) menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, (iv) membatasi pemakaian kekerasan, (v) menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, dan (vi) menjamin tegaknya keadilan (Sunarso, 2004: 37).

Nilai-nilai tersebut di atas harus disossialisasikan melalui pendidikan formal di sekolah dasar atau khususnya bagi generasi penerus, dan diimplemtasikan dalam kehidupan nyata dalam berbangsa, bernegara. Pendidikan demokrasi berfungsi membentuk watak bangsa, peradaban bangsa yang bermartabat, dan mencerdasakan kehidupan bangsa. Menjadikan warga negara yang baik bertaqwa terahadan Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandari, bertanggung jawab dan demokratis sehingga tercapai masyarakat sipil (Dr. Udin SW, 2006: 2).

1   ...   17   18   19   20   21   22   23   24   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət