Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə24/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   20   21   22   23   24   25   26   27   ...   30


c. Masyarakat Sipil yang Demokratis


Dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society) yang demokratis perlu langkah-langkah berdemensi dekonstroksi yang memberikan harapan bagi rekonstruksi dan revitalisasi kehidupan yang demokratis. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih demokratis antara lain:

Pertama dekonstruksi kepemimpinan. Pemimpin selalu identik dengan ketokohan dan bersifat perosnal. Dalam imajinasi kehidupan demokrasi, ada kepercayaan bahwa ada seorang pemimpin yang akan muncul dalam kondisi sesulit apapun dipersonifikasikan sebagai tokoh pembebas semacam "afatar" yang akan mampu mengatasi segala keterpurukan bangsa ini. Namun kenyataannya setelah Suharto tumbang terjadi reformasi, Amin Rais dengan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai lokomotif pembaharuan, Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) yang roformis, Golkar baru, Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tak mampu membawa bangsa ini ke dalam kehidupan demokratis yang ideal. Bahkan terjadi hal sebaliknya pemerintah melalui aparat keamanan tidak berani menegakkan kehidupan demokrasi membiarkan ormas-ormas keagamaan Islam melakukan kekerasan, dengan sendirinya kendali atas demokrasi hilang. Jafar Umar sebgai pemimpin Fron Pembela Islam (FPI) mengatakan orang murtad, dan orang kafir yang tidak mentaati Syariat Islam halal darahnya ditumpahkan (Kompas Rabu, 30 Agustus 2006: 6 dan Wawancara TVRI dengan Jafar Umar, 2004).

Namun kepemimpinan yang bersumber pada ketokohan personal telah mengalami kegagalan sebagai pemimpin alternatif. Oleh karena itu diperlukan dekonstruksi kepemimpinan atas paradigma kepemimpinan yang telah ada. Bangsa ini harus merekonstruksi ulang dengan menghadirkan kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan yang diusung berdasarkan visi kebersamaan untuk kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Para pemimpin nasional harus menanggalkan segala atribut ikatan primordial seperti keormasan, keagamaan, kesukuan yang bersifat SARA untuk kepentingan bersama.

Kedua, dekonstruksi kelembagaan demokrasi harus diwujudkan. Oleh karena kelembagaan masih merupakan titik lemah dalam membangun masyarakat adil dan makmur. Lembaga-lembaga yang ada belum mempunyai komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya namun yang terjadi justru sebaliknya untuk melayani diri sendiri dalam bentuk KKN, bukan melayani kepentingan umum (Zuhairi Misrawi, Kompas, 30 Agustus 2006: 7).

Ketiga, dekonstruksi kultur demokrasi. Dalam ranah demokrasi budaya yang berkembang masih berlaku sistem feodalis. Elit politik sering bertindak sebagai raja yang ingin dilayani, dihormat, disanjung, ingat imperium Suharto yang menghendaki penguasa tunggal seperti raja-raja Jawa. Kultur semacam ini tidak kondusif untuk kehidupan demokrasi karena kumunikasi hanya satu arah antara atasan dan bawahan. Oleh karena itu ke depan harus dekembangkan kultur demokrasi yang memberi ruang lebih leluasa terutama dalam kultur nilai-nilai egalitarian, demokratis, dan terbuka atau transparan dalam pengelolaan untuk kepentingan publik.

Keempat, dekonstruksi masyarakat sipil yang demokratis. Membangun masyarakat sipil sangat penting sekali, karenea meskipun pemerintah bangkrut masih ada masyarakat sipil yang memiliki solidaritas sosial yang kuat. Kedepan masyarakat sipil harus diselamatkan dari kontaminasi kepentingan negara, kooptasi pemerintah maupun ormas-ormas yang cenderung ke arah politik praktis. Ormas agama sudah seharusnya meletakkan nilai-nilai agama sebagai sumber etika untuk mewujudkan civil society, bukan justru untuk kepentingan kekuasaan.

Kelima, perlu dekonstruksi mental demokrasi. Mental demokrasi harus dikembangan pada setiap individu melalui diri sendiri dan disebarkan pada setiap pribadi sebagai mana pendekar demokrasi Amerika (Google Refrensi Demokrasi dalam internet), karena bangsa ini telah kehilangan kepercayaan diri terutama tidak adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa. Jalan keluar untuk membangun demokrasi harus ada langkah sinergi seluruh elemen bangsa baik pemerintah, cendekiawan, budayawan, rohaniawan, tokoh masyarakat, media masa bersama-sama mempunyai tekad bulat untuk mewujudkan kehidupan demokrasi ideal yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kedamaian, keragaman budaya dan egalitarian.



d. Pendidikan Multikultural

Bangsa Indonesia memiliki ciri multi etnis dan multikultural namun sudah tidak memiliki lagi norma fondamental dari nilai-nilai kehidupan bersama, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa, akibatnya integrasi antar etnis semakin pudar dan runtuh. Terjadi konflik antar etnis seperti di Sampit antara Suku Dayak dan Madura, Tantena dan Poso antarta Islam dan Kristen, Konflik Ambon, sparatisme Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan (RMS) Baru, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah berdamai. Konflik SARA seperti kasus Achmadiah, konflik anti China dan perusakan, pembakaran dan penutupan tempat-tempat ibadah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan ideologi, nasionalisme, wawasan kebangsaan, terlebih lagi perkembangan politik Indonesia yang semakin jauh dari wawasan kebangsaan dan etika politik sebagaimana terkandung dalam filsafat bangsa karena akibat tekanan globalisasi (Kaelan, 2006: 1).

Pancasila secara yuridis formal dijadikan dasar negara dan pandangan hidup, namun kenyataannya bangsa Indonesia belum melaksanakan nilai-nilai Pancasila baik secara obyektif dan sobyektif secara konsekwen. Pancasila hanya sebagai wacana; Pancasila mengajarkan nilai persatuan dan kesatuan, namun yang terjadi justru perpecahan. Pancasila menghendaki keadilan dan pemerataan hasil, namun yang terjadi justru mementingkan diri sendiri dan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) menggurita. Pancasila mengajarkan toleransi antarumat beragama, namun yang terjadi adalah eksklusifisme, dan menguatnya ikatan primordial. Pancasila menghendaki sosialisasi demokrasi, namun yang muncul adalah penindasan orang-orang lemah dan proses marginalisasi. Pancasila menghendaki terjadinya kemanusiaan universal, namun yang terjadi sebaliknya egoisme, vandalisme (Sujati, 2006: 2).

Disisi lain terjadinya konflik karena lemahnya atau kurangnya pendidikan multikultural sehingga setiap etnis, setiap kelompok merasa diri memiliki wewenang untuk menghakimi, menghukum kelompok yang berbeda dengan dirinya atau menganggap kelompok lain sebagai musuh yang harus dinihilkan. Keadaan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan demokrasi untuk mewujudkan Masyarakat Sipil (Civil Society) atau dalam Masyarakat Terbuka (“Open Society”) masyarakat dikondisikan untuk membuka diri dengan perubahan sesuai dengan jiwa zaman yang selalu berubah untuk mencari kesempurnaan.

Dalam kondisi di atas untuk menghadapi konflik dan perubahan sosial diperlukan pendidikan multikultural agar setiap kelompok etnis, kelompok kepentingan tidak melakukan tindakan distruktif terhadap kelompok lain sehingga diharapkan dapat meredam konflik-konflik yang berbau SARA (Suku antar Golongan Ras dan Agama).

Istilah multikultural secara marak digunakan sekitar tahun 1950 di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictonary, istilah multikultural diambil dari surat kabar yang terbit di Kanada yang menggabarkan sebuah masyarakat Montreal Kanada sebagai masyarakat yang multikultural dan multi bahasa.

Sedangkan Istilah pendidikan multikultural secara sederhana adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan pendapat Paulo Freire yang dikutip oleh Endah Setiorini: “bahwa pendidikan bukan merupakan menara gading, yang menjauhi realitas sosial-budaya melainkan harus mampu meciptakan tatanan masyarakat yang berpendidikan, berbudaya dan mengedepankan nilai-nilai eqalitarian, demokrasi, kebebasan dan persaudaraan.” (Endah Setiarini, 2006: 2).

Pendidikan multikultural merupakan respon dari keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok etnis. Pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan. Sedangkan secara luas pendidikan multicultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok, baik gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan dan kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural didefinisikan tentang pendidikan keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.

Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru, pendekatan pendidikan multikultural dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogin dan multi etnis. Apalagi pada masa era otonomi daerah dimana konsep sentralisasi bergeser ke desentralisasi dalam kebijakan-kebijakan tertentu. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan perkembagan demokrasi yang sedang dijalankan sekaligus sebagai penyeimbang terhadap kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila kebijakan pendidikan multi kultural dialaksanakan dengan sembrono dan tidak hati-hati justru akan menyebabkan kedalam perecahan nasional dan disintegrasi bangsa (Aprellina Setyawati, 2005: 12).


e. Pentingnya Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural sangat penting di Sekolah Dasar (SD) khususnya dalam pengajaran ilmu pengetahuan sosial. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup untuk menghormati secara tulus, dan toleran dalam keberagaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk. Dengan diberikannya pendidikan multikultural diharapkan adanya kelenturan mental bangsa dalam menghadapi konflik-konflik yang berbau suku antar golongan ras dan agama (SARA), sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak dan terjadi disintegrasi bangsa.

Adapun tujuan pendididikan multikultural adalah: Membantu anak didik dalam mengembangkan pemahaman dan sikap secara memandai terhadap mamasyarakat yang beraneka ragam budaya. Anak didik memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun tetap memberi andil terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa memandang perbedaan, membantu peserta pendidik untuk berpartisipasi dalam kultur berbeda. Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi yang optimal” (Setyo Raharjo, 2002: 27).

Oleh karena itu pendidikan multikultural harus memperhatikan beberapa hal antara lain: Pengajaran nilai yang mendukung keberagaman budaya dan keunikan individu. Peningkatan perluasan kualitatif keberadaan budaya etnis dan kerja sama dalam kehidupan sosio ekonomis dan politik, mendukung alternatif pemunculan gaya hidup dan peningkatan pemahaman multikultural, multi bahasa dan multi dialektika.

Dalam konteks kehidupan berbangsa yang serat dengan kemajemukan berbagai bidang; suku, ras, golongan, agama, bahasa daerah dan kepentingan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola secara kreatif, sehingga konflik dapat dikelola dengan cerdas. Dengan demikian pendidikan multikultural dapat dijadikan pencerahan dalam kehidupan berbangsa ke masa depan yang lebih baik.

Perkembangan sejarah Indonesia, serat diwarani dengan konflik-konfllik sosial dan disertai dengan tindak kekerasan sehingga mengancam kesatuan - persatuan bangsa dan negara. Pengalaman masa lalu sering timbul peperangan antar kerajaan dan setelah kemerdekaan serta berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga sering timbul konflik yang membawa fanatisme kedaerahan. Konflik sosial sering bertendensi politik dan ujung-ujungnya ingin melepaskan diri dari NKRI seperti yang terjadi saat ini di Papua. Oleh karena itu dengan diberikannya pendidikan multikultural di tingkat SD diharapkan konflik sosial yang distruktif dapat diredam atau diatasi sehingga disintegrasi bangsa diharapkan tidak terjadi.

Pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan yang mempunyai tujuan untuk membentuk warga negara yang baik (Good Cetezen) dengan kriteria beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa belum memberi jaminan untuk terwujudkanya masyarakat yang demokratis, dengan cara hidup yang multikultural (Kaelan, 2003: 15). Pemberian mata kuliah Pemebentuk Kepribadian (MPK) dalam kenyataannya belum mampu mewujudkan demensi multikultural, hal ini karena mata kuliah tersebut di atas rentan intervensi penguasa pada zamannya sehingga mahasiswa skeptis terhadap matakuliah tersebut. Akibatnya mahasiswa kurang berminat mempelajari mata kulaih pembentuk kepribadian, bahkan telah kehilangan aktualitasnya.

Pendidikan Kepramukaan yang diharapkan mampu membawa misi kesederhanaan, kesamaan, kegotongroyongan, tolong-menolong, kebersamaan dan kesatuan, sudah tidak populer lagi bagi generasi muda karena sudah terpinggirkan. Oleh karena tidak lagi diaktualisasikan dalam falsafah hidup ditengah-tengah realitas perubahan sosial yang kompleks sekaligus dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.

Peranan Pendidikan agama diharapkan memberikan dasar untuk kesatuan masyarakat dalam pandangan hidup dan sistem nilai yang seragam, memberikan motivasi yang sama untuk kegiatan bersama dan memberikan norma dalam hidup bersama (Haryono, 2004: 5). Namun kenyataannya Pendidikan agama yang ada tidak memberikan nuansa mutltikultural tetapi malah sebaliknya masih menyudutkan hak hidup agama yang lain seakan-akan hanya agamanya sendiri yang berhak hidup dan benar. Semangat pendidikan agama yang sempit tentu berlawanan dengan pendidikan multikultural, dan hal ini akan memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa (Wilys Setyowati, 2005: 7)

Dengan melihat kelemahan dan pengalaman pendidikan multikultural masa lalu makan pendidikan tersebut harus direvisi, direvitalisasi, direaktualisasi secara kratif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya. Keluaran yang diharapkan dalam pendidikan multikultural ini adalah setiap peserta didik memiliki sikap dapat menerima, menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar serta memiliki jalan keselamatan. Dalam prespekti multikultural, setiap agama diharapkan terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengaharapan (Daniel Nuhamera, 2004: 11).


f. Pendidikan Multikulurual untuk Pengembangan Nilai Egalitarian

Melalui pendidikan multikultural perlu dikembangkan nilai-nilai kebersamaan. Hal yang sangat penting dalam mengembangkan hidup bersama sebagai warga bangsa adalah menanamkan nilai-nilai toleransi lintas SARA (suku antar golongan ras dan agama), dan meyakinkan bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan heterogin. Sikap saling menghormati dan mengharagai perbedaan yang ada harus senantiasa dikembangkan. Oleh karena itu sikap eksklusif dan pemahaman terhadap agama, suku dan kelompok, etnis sering dijadikan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Tindakan antagonis ini sangat conter producitive dengan hakikat kemanusiaan universal.

Pemahaman lintas SARA yang berada dalam tataran institusi, hanya menghasilkan hal yang formalitas, dan belum mengenai makna yang esensi. Sedang pemahaman makna yang esensi, nilai-nilai pluralitas akan dapat dijadikan motivasi kebersamaan, kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sangat penting artinya pendidikan multikultural bagi generasi muda, nilai keragaman budaya tidak hanya sebagai hal normatif tetapi diharapkan dapat mengutamakan nilai-nilai dasar keberagaman

Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai pluralitas secara baik akan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan, dan dapat dijadikan landasan persatuan dan kesatuan bagi pembangunan nasional, sehingga dapat memperkokoh negara Kestuan Republik Indonesia (NKRI).

Peringatan bagi para pakar pluralisme sebagaimana dengan paradigma modern peradaban saat ini telah mendorong rasionalisasi memasuki primordialistik, tradisi keagamaan, kesukuan dan dalam kehidupan bersama.

Sasaran yang semula menjadi akar peradaban mulai bergeser ke arah bangun dasar negara yang menjaga stabilitas bangsa. Kehidupan bersama saat ini bagi generasi muda mempunyai makna berbeda, karena situasi dan tantangan zaman berbeda. Perlu dimengerti bahwa kepribadian generasi muda terbentuk oleh jiwa zaman dan untuk membentuk kepribadian global.

Anak-anak zaman dimasa yang akan datang adalah generasi yang memeliki kesadaran kemanusiaan, dan nilai-nilai pluralistik yang terkandung secara intrensik di dalamnya. Oleh karena itu bagi generasi tua perlu mewariskan butir-butir kemanusiaan secara universal dan eqalitarian, bukan hanya format struktur kebangsaan melainkan moralitas dan roh yang dapat membangun hidup bersama.

Pentingnya bagi generasi penerus, pewaris cita-cita bangsa agar menumbuhkembangkan komitment pluralistik, nilai kebangsaan dan nilai kemanusiaan dalam sebuah masyarakat modern suatu orde generasi dengan kemampuan kreatif dan tidak terbatas pada logika formal yang dangkal.

Kontribusi Pendikan Multikulural dalam membentuk Masyarakat Sipil Dalam perkembangan akhir-akhir ini yang sarat dengan konflik kepentingan, kelompok-kelompok banyak berdemonstrasi baik buruh dengan isu revisi UU Ketenaga kerjaan, petani dengan isu kelangkaan pupupuk, di kelas menengah Kades berdemo tentang nasibnya. Disisi lain muncul bentrok antar kampung atau warga desa dan antara rakyat dengan aparat sehingga ke depan diprediksi akan terjadi kekacauan masal ( Riswanda Himawan, Kedaulatan Rakyat, 6 April 2006: 12). Persoalan ini diakibatkan karena gagalnya para elti politik dalam menciptakan dan merekonstruksi political trust dan mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu solusi yang rasional adalah memasyarakatkan pendidikan multi kultural

Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar nilai-nilai subtansial dalam pendidikan multikultural sebagai akar budaya masyarakat sipil (masyarakat madani) di Indonesia adalah nilai kebersamaan yang diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat Islam senantiasa menerapkan konsep hablum minanas dan hablum minanar sebagai aktualisasi diri menjadi menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan seluruh isi dunia. Oleh karena itu ajaran Islam senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan orang lain atau sangat menghargai perbedaan pendapat, menghargai suku, agama yang berbeda sebagai ujud dari masyarakat sipil (Wawancara 12 April 2006). Sedang menurut Pdt. Sangadi Mulya peran Ajaran Agama Kristen dalam pendidikan multikultural untuk mewujudkan masyarakat sipil adalah sebagai garam dan terang yang menggarami dalam segenap hidup manusia. Prinsip Kekristenan adalah ibadah yang holistik tidak hanya ibadah ritual tetapi diterapkan dalam segenap aspek kehidupan manusia sehingga menghasilkan buah yang nyata menjadi berkat bagi orang lain (Wawancara, 19 Agustus 2005). Contoh kongkrit “Pelayanan Kristiani” telah dilakukan oleh Almarhum Ibu Theresia dari India, Almarhum Dr. Yohanes Lemena, Yos Sudarso, Romo YB Mangun Wijoyo yang memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungannya dengan memberikan hidupnya untuk masayarakat marginal lintas SARA (Indra Trenggono, Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; hal 12). Menurut Prof. Dr. Usman Abubakar dalam pendidikan multikultural untuk mewujudkan masyarakat sipil akan terwujud jika bangsa Indonesia mengedepankan pendidikan formal bagi seluruh warga bangsa, jika terjadi kesenjangan pendidikan dan kesenjangan sosial-ekonomi maka bangsa ini mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap sesama warga bangsa (Wawancara, 21 Agustus 2005).

Dalam sosialisasi pendidikan multikultural perlu adanya komitmen para elite politik, tokoh masyrakat, guru, stake holder pendidikan multikultural dan selurluh masyarakat. Dengan memperhatikan prinsi-prinsip pendidikan multikultural yang antara lain sebagai berikut.

“Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu proses, pendekatan yang digunakan hendaknya secara komperhensif, pendidikan multikultural hendaknya dillakukan dalam lingkungan yang kondusif, semua partisan dan komunitas hendaknya terlibat di dalamnya, pealtihan bagi kepala sekolah, guru-guru, murid dan orang tua murid dan komunitas pimpinan merupakan hal yang esensial, perhatian terhadap latar belakang murid yang terlibat dalam proses, pendidikan harus berlangsung cukup lama, kompunen pembelajaran harus diintegrasikan dalam kurikulum secara praktis di sekolah” (Setyo Raharjo, 2002: 28).

Dengan demikian dalam pendidikan multi kultural harus direncanakan secara matang oleh para steke holder baik pakar pendidikan multikultural, keala sekolah, guru-guru, dan murid-murid, orang tua murid serta seluruh masyarakat luas. Pendikan multikultural harus memperhatikan nilai-nilai secara universal dan holistik, perlu dipahami. Oleh karena kesuksesan pendidikan multikultural dalam mewujudkan masyarakat sipil yang modern diukur dengan penguasaan nilai-nilai IPTEKS dan soft skils yaitu kemampuan untuk bekerja dengan kelompok, bekerja dalam tekanan, kemampuan memimpin, kemampuan berkoordinasi, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan asing, tabah dan gigih, percaya diri, memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi untuk mendapatkan dan memanfaatkan informasi dan memiliki nasionalisme tinggi tidak banyak tuntutan (Sofian, Kedaulatan Rakyat, 19 Agustus 2005: 5). Nilai-nilai kebersamaan perlu dijunjung tinggi seperti kosep “manunggaling kawulo gusti” yang menekankan kebersamaan dan keteladanan pemimpin terhadap rakyatnya seperti Almarhum Sultan HB IX mengorbankan tahta untuk rakyatnya (Riswanda, Radar Yogya, 29 Oktober 2005)..

Dalam mewujudkan peradaban yang baik dalam masyarakat majemuk perlu strategi perjuangan kultural dan struktural secara bersama, struktural dalam arti politik, perbaikan struktural ini sarana yang paling efektif adalah melalui parpol. Melalui lembaga partai politik aspirasi masyarakat tentang pendidikan multikultural akan diperjuangkan sebagai masukan dari infra struktur politik kepada supra struktur politik. Input dari supra struktur politik akan dijabarkan oleh supra struktur politik dalam bentuk kebijaksanaan atau undang-undang yang mewajibkan dilaksanakannya pendidikan multikultural bagi generasi penerus dan didukung dana dari pemerintah (Kaelan, 2002: 182). Semantara secara kultural hal itu merupakan perjuangan panjang. Perjuangan membangun mentalitas bangsa melalui nilai-nilai keadilan dan demokrasi yang berorientasi pada hidup bersama dalam masyarakat majemuk (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2005; 5). Sedang Nilai-nilai di atas dapat diujudkan karena sejak dahulu kala bangsa Indonesia telah mengenal hidup bersama dan menghargai nilai-nilai perbedaan seperti ungkapan Empu Tantular dalam bukunya “Sutasoma”, dalam buku tersebut dijumpai sloka “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” yang artinya walaupun berbeda nanum tetap satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas keberagaman kehidupan masyarakat yang multi agama pada waktu itu (Kaelan, 2002: 32).

Dengan adanya benih-benih yang sudah ada tentang kebaragaman budaya, etnis, agama dan setiap komunitas bisa menerima satu dengan yang lain, modal dasar ini sangat potensial dan merupakan lahan yang subur bagi generasi penerus untuk mewujudkan kehidupan bersama untuk membentuk masyarakat sipil (Civil Society). Terlebih lagi dalam pembelajaran dan sosialsisai nilai-nilai pendidikan multikultural dapat dimanfaatkan konsep learning to do, learning to be, leraning to now, dan learning to live to gether yang artinya dalam pembelajaran nilai-nilai multikultural peserta didik diajak melakukan bersama-sama, pendidikan tersebut merupakan proses menjadi dewasa atau sempurna sesuai dengan tujuannya, pendidikan dilakukan saat ini dan pendidikan multikultural dilakukan bersama-sama dalam kehidupan masyarakat sehinga antara pendidikan di sekolah dan di rumah, di masyarakat saling mendukung untuk tujuan pendidikan multi kultural. Apalagi jika para elit politik, para guru, pemuka masyarakat, pemuka agama, pejabat negara memiliki komitment yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan multikultural dengan konsep “Ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya seorang pemimpin yang baik bisa memberikan keteladanan atau panutan bagi yang dipimpinnya, di tengah-tengah lingkungannya menjadi penggerak atau motor untuk mencapai tujuannya dan dibelakang memberi motivasi dan petunjuk agar sasarannya dapat tercapai.
2. Ketahanan Nasional di Bidang Pangan

Harga pangan tiga tahun terakhir mengalami peningkatan tiga kali lipat, tidak kecuali bagi bangsa Indonesia. Tiga factor utama yang menyebabkan naiknya harga pangan antara lain; 1. Gejala perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan strategis. 2. Peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap biofuel, dan 3. Aksi para infistor (spekulan) tingkat global karena kondisi pasar keuangan yang tidak menentu.

Meski begitu, eskalasi harga tersebut juga menjadi peluang (dan tantangan) baru untuk merumuskan strategi pembangunan pertanian yang kompateble dengan perubahan zaman.

Pembangunan pertanian di Indonesia sebenarnya telah menunjukan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan kelaparan pada empat dasa warsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan agro Industri juga telah mampu mengntarkan pada kemajan ekonomi bangsa, perbaikan kinerja ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.

Singkatnya, kinerja perjalanan pertanian Indonesia jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan angka 3,51% pertahun rata-rata pertumbuhan pada pereode 1960 -2006 – dihitung dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada awal atau fase konsolidasi 1967-1978 sektor pertanian hanya tumbuh 3,38%. Angka ini kemudian melonjak sangat tinggi mencapai angka 5,72 persen pada pereode 1978-1986, kemudian kembali melambat menjadi 3,39 pada fase dekonstruksi 1986-1987 dan kemudian turun melambat menjadi 1,57 % sampai pereode krisis ekonomi.

Pada masa krisis ekonomi, performa baik yang dicapai sub sektor perkebunan dan peternakan hamper tidak membawa dampak berarti karena daya beli terus menerun. Pada era Refirnasu 2001-2006, pertanian Indonesia telah tumbuh 3,45% per tahun belum dapat dikatakan telah menuju ke arah yang benar (selengkapnya lihat Arifin 2007).


a. Tiga Prinsip Penting

Selama empat dasa warsa terakhir, strategi pemgangunan pertanian mengikuti tiga prinsip; 1. Broad- based dan terintegrasi dengan ekonomi makro, 2. Pemerataan dan pembrantasa kemiskinan, dan 3. Pelestarian lingkungan hidup. Dua prinsip utama telah menunjukan kinerja yang baik, seperti diuraikan di atas, karena dukungan jaringan irigasi, jalan-jembatan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dsb.

Konsep Revitalisasipertanian yang dicanangkan Presiden Susilo Yudhoyono sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pola pikir dari strategi besar di atas, Oleh karena fenomena Revolusi Hijau serta perspektif konsistensi tersebut, pencapaian swasembada di era 1980 an, juga telah diikuti oleh peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesejahteraan petani beras di Indonesia, pemerataan sektor pedesaan dan perkotaan.

Pada waktu itu sentra produksi beras di Jawa, lampung, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusatenggara Barat, dll. Juga identik dengan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan.

Prinsip ketiga tentang pelestarian lingkungan hidup memang belum banyak menunjukan hasil krena baru dikembangkan secara serius paska KTT Bumi di Rio de Jeneiro Brasil 1992.
b. Strategi Baru

Berikut ini adalah strategi baru yang coba ditawarkan sehubungan dengan determinan pola baru pembangunan pertanian dimasa mendatang. Strategi yang telah terbukti dan telah teruji selama ini tidak harus ditinggalkan hanya perlu dilengkapi dengan demensi berikut: Pertama, pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pengembangan (R&D) tertuama yang mampu menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim. Peneliti ditentang untuk menghasilkan vareitas padi yang mampu bersemi dipagi hari, ketika temperatur udara tidak begitu panas. Kisah pada gogo-rancah keetika era 80 an yang mampu beradaptasi di lahan kering dan tadah hujan, dan kini perlu disempurnakan untuk menghasilkan produktivitas lebih tinggi dari sekitar 2,5 ton per hektar. Bahwa pertanian Indonesia tidak harus bertumpu di Jawa tampaknya telah disepakati, hanya perlu diwujudkan secara sistematis. Misalnya vareitas baru bisa diuji di multi lokasi dan uji adaptasi di semua daerah kering dengan memberdayakan selruh universitas di daerah dan Balai Pengembangan Tekonologi Pertanian yang tersebar di daerah.

Kedua, integrasi pembangunan ketahanan pangan dengan strategi pengembangan energi, termasuk energi alternative. Strategi ini baru berada pada tingkat awal sehingga Indonesia tidak boleh salah melangkah, Indonesia memang terlambat sekali dalam menyandingkan ketahanan pangan dengan energi alternafif. Maksudnya Indonesia perlu suatu yang lebih besar dari sekedar kebijakan pada tingkat Instruksi Presiden No.1.2006 tentang Bahan Baker Nabati dan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Deversifikasi energi.

Ketiga, Pembangunan pertanian perlu inheren perlu melindungi petani produsen (dan konsumen). Komoditas pangan dan pertanian mengandung resiko usaha seperti fakktor musim jeda waktu, perbedaan prodoktivitas dan dan kualitas produk yang cukup mencolok. Mekanisme lindung nilai (hedging) , asuransi tanaman, pasar lelang dan resi gudang adalah sedikit saja dari contoh instrument penting yang mampu mengurangi resiko usaha dan ketidak pastian pasar. Operasional dari strategi ini, perumus dan administrator kebijakan didtingkat daerah wajib mampu mewujudkannya menjadi suatu langkah aksi yang memberi pencerahan kepada petani, pemberdayakan masyarakat, dan memperkuat organisasi kemasyarakatan untuk mampu berperan dalam pasar berjangka komoditas yang lebih menentang. Disinilah pertanian tangguh dan berdaya saing akan dapat terwujud. Akhirnya ketahanan panggan seperti yang diharapkan akan terjadi. (Disadur dari Kompas Senin, 9 April 2008 tulisan Bustanul Arifin)



BAB X

DAMPAK GLOBALISASI

DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

BERBANGSA DAN BERNEGARA

Standar Kompetensi

Mampu memahami dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Ruang lingkup pembahasan

  1. Pengertian dan arti penting globalisasi bagi Indonesia

  2. Hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia di era global

  3. Dampak globalisasi terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia

  4. Sikap terhadap globalisasi



1   ...   20   21   22   23   24   25   26   27   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət