Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə2/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30

E. Substansi Materi Pendidikan Kewarganegaraan


Berdasar hasil studi di berbagai negara, Print (1999:12) berpendapat bahwa isi pendidikan kewarganegaraan yang prinsip adalah (i) hak dan tanggung jawab warga negara, (ii) pemerintahan dan lembaga-lembaga, (iii) sejarah dan konstitusi, (iv) identitas nasional, (v) sistem hukum dan rule of law, (vi) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, (vii) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, (viii) partisipasi aktif warga negara dalam wacana kewarganegaraan, (ix) wawasan internasional, serta (x) nilai-nilai kewarganegaraan yang demokratis. Waterwoth (1998:3) mengemukakan butir-butir concept of citizenship dan warga negara yang baik sebagai berikut: (i) menghargai warisan budaya masyarakatnya, (ii) menggunakan hak pilih, (iii) menghormati hukum dan norma-norma masyarakat, (iv) memahami berbagai proses politik dan ekonomi, (v) menggunakan hak berbicara, (vi) memberikan sumbangan bagi kebaikan keluarga dan masyarakat, serta (vii) peduli terhadap lingkungan lokalnya. Di samping itu, Abdul Azis Wahab (2000:5) mengemukakan sepuluh pilar demokrasi Indonesia yang harus menjadi prinsip utama pengembangan pendidikan kewarganegaraan, yaitu (i) konstitusionalisme, (ii) keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, (iii) kewarganegaraan cerdas, (iv) kedaulatan rakyat, (v) kekuasaan hukum, (vi) hak asasi manusia, (vii) pembagian kekuasaan, (viii) sistem peradilan yang bebas, (ix) pemerintahan daerah, dan (x) kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.

Berdasarkan uraian dimuka diperoleh gambaran keragaman luasnya cakupan materi dan penataan pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum. Hal ini bukan sesuatu yang harus dianggap aneh karena kurikulum pada dasarnya merupakan suatu pilihan. Dilihat dari sudut keilmuan, standar materi mata pelajaan ini tidak sedemikian ketat, cukup fleksibel, dan mudah berubah. Indonesia mempunyai pengalaman mengenai sering diubahnya isi materi mata kuliah ini seiring dengan pergantian rezim sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari sekian banyak mata kuliah/mata pelajaran, tidak ada yang perubahan materinya sedinamis mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun demikian, pendidikan kewaganegaraan paradigma baru harus didasarkan pada standar kelayakan materi dengan tetap mengacu kepada Pancasila sebagai dasar negara (Muchson, 2003).

Pusat kurikulum Diknas lewat konsep KBK Kewarganegaraan di SD dan MI, SMP dan MTs., serta SMA dan MA tahun 2003, mengajukan civic knowledge berupa aspek berbangsa dan bernegara yang terdiri dari subaspek (i) persatuan bangsa (ii) norma, hukum, dan peraturan, (iii) hak asasi manusia, (iv) kebutuhan hidup warga negara, (v) kekuasaan dan politik, (vi) masyarakat demokratis, (vii) Pancasila dan konstitusi negara, serta (viii) globalisasi (Cholisin, 2004:18). Aspek-aspek pengetahuan kewarganegaraan itu pada dasarnya merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan peran warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Di pihak lain, substansi kajian pendidikan kewarganegaraan, yang dikenal juga dengan istilah Civic Education, Citizenship Education, Democracy Education, yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi adalah (i) filsafat Pancasila, (ii) identitas nasional, (iii) hak dan kewajiban warga negara, (iv) demokrasi dan hak asasi manusia, (v) rule of law, (vi) geopolitik Indonesia (wawasan nusantara), dan (vi) geostrategi Indonesia (ketahanan nasional) (Petunjuk Pelatihan Dosen MPK, PKN, Dikti. 2005).


E. Metodologi Pembelajaran PKN


  1. Pendekatan; menempatkan mahasiswa sebagai subyek serta mitra dalam PBM.

  2. Proses Pembelajaran; pembahasan secara kritis analisis, induktif, deduktif serta reflektif melalui dialog kreatif.

  3. Bentuk Aktivitas Proses Pembelajaran; kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah, dialog, inquiry, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil dan berbagai kegiatan akademik lainnya yang lebih ditekankan pada pemupukan pengalaman belajar perserta didik.

  4. Motivasi; menumbuhkan kesadaran bahwa pembelajaran pengembangan kepribadian merupakan kebutuhan hidup.


F. Kompetensi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan

Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melakukan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi yang diharapkan setelah menempuh pendidikan kewarganegaraan adalah dimilikinya seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara serta mampu turut serta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Sifat cerdas yang dimaksud tampak dalam kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dalam bertindak, sedangkan sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditinjau dari nilai agama, moral, etika, dan budaya.

Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (2) ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat (i) pendidikan agama, (ii) pendidikan kewarganegaraan, dan (iii) bahasa. Di samping itu, pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD negara Republik Indonesia. Pada Pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan menumbuhkan sikap mental yang bersifat cerdas dan penuh tanggungjawab pada perserta didik dengan perilaku yang (a) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa, (b) berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (c) bersikap rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, (d) bersikap profesional yang dijiwai oleh kesadaran belanegara, serta (e) aktif memanfaatkan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara. Melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan warganegara mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara secara tepat, rasional, konsisten, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan nasional; menjadi warga negara yang tahu hak dan kewajibannya, menguasai ilmu dan teknologi serta seni namun tidak kehilangan jati diri.


G. Tiga Aspek Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan harus memenuhi tiga aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan (skill), dan pembentukan karakter. Menurut Center for Civic Education pada tahun 1994 dalam National Standards for Civics and Government, ketiga komponen pokok tersebut ialah civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Margaret S. Bronson, dkk., 1999:8-25).

Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara. Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, pengetahuan tentang struktur dan sistem poitik dan pemerintahan, nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis, cara-cara kerja sama untuk mewujudkan kemajuan bersama, serta hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional. Keterampilan kewarganegaraan (civic skills) merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skills mencakup intellectual skills (keterampilan intelektual) dan participation skills (keterampilan partisipasi). Karakter kewarganegaraan (civic dispositions) merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri serta kepentingan umum.

BAB II

HAKIKAT BANGSA , negara, DAN WARGA negara
A. Pengertian Bangsa

Menurut antropologi, pengertian bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan fisik, bahasa, dan keyakinan. Jika ditinjau secara politis, bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan nasib dan tujuan. Di samping itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa serta wilayah tertentu di muka bumi.

Sejarah timbulnya bangsa-bangsa di dunia berawal dari benua Eropa. Pada akhir abad XIX, di benua Eropa timbul berbagai gerakan kebangsaan. Gerakan tersebut mengakibatkan kerajaan-kerajaan besar di Eropa seperti Kerajaan Austria-Hongaria, Turki, dan Prancis terpecah menjadi negara-negara kecil. Banyaknya gerakan kebangsaan di Eropa saat itu dan keberhasilan mereka menjadi bangsa yang merdeka, mempunyai pengaruh yang besar pada kehidupan wilayah lain. Di Asia, banyak negara jajahan memberontak untuk memerdekakan diri dari kekangan penjajahnya.

Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah kesatuan solidaritas yang terdiri dari orang-orang yang saling merasa setia satu sama lain. Bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu kesatuan solidaritas yang besar yang tercipta oleh suatu perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan oleh orang-orang yang bersedia berbuat untuk masa depan. Bangsa memiliki masa lampau, tetapi ia melanjutkan diri pada masa kini, melalui suatu kenyataan yang jelas, yaitu kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama . Oleh karena itu, suatu bangsa tidak bergantung pada persamaan asal ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang sejenis. Akan tetapi, kehadiran suatu bangsa seolah-olah merupakan suatu kesepakatan bersama yang terjadi setiap hari (Bachtiar, 1987: 23).

Benedict Anderson mendefinisikan bangsa agak berbeda jika dibandingkan dengan pendapat pakar yang lain. Menurut Anderson, bangsa adalah komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) yang artinya tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Komunitas politik yang dibayangkan ini terdapat dalam suatu wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak saling mengenal. Dibayangkan secara terbatas karena, bangsa yang paling besar sekalipun yang penduduknya bisa lebih dari satu milyard seperti RRC, tetap memiliki batas wilayah yang jelas. Dibayangkan berdaulat karena bangsa ini berada di bawah kekuasaan suatu negara yang memiliki kekuasaan atas suatu wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya, bangsa tersebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena terlepas dari kesenjangan dan para anggota bangsa itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan itu (Surbakti, 1992:42).

Dalam pandangan Otto Bauer, bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persamaan nasib. Soekarno, dengan berbasis geopolitiknya, menekankan persatuan antara orang dengan tanah airnya sebagai syarat bangsa. Menurut Mohammad Hatta, bangsa adalah suatu persatuan yang ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan bertambah besar karena seperuntungan, malang sama diderita, mujur sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak (Sutrisno, 1983: 38).

Dari uraian di atas dapat dipetik intisari bahwa pengertian bangsa lebih mengandung corak kerohanian dari pada corak lahiriah, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keinginan, kehendak, perasaan, pikiran, jiwa, semangat untuk bersatu. Faktor yang mendorong mereka bersatu karena adanya kesamaan yang di antaranya dalam hal cita-cita/tujuan/kepentingan, fisik biologis (ras), wilayah (tanah air), sejarah (masa lalu), nasib, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya. Tiap-tiap bangsa tentunya mempunyai corak tersendiri yang melatar belakangi mereka untuk bersatu. Berkaitan dengan faktor penyatu, Noor M. Bakry (1994:109) berpendapat bahwa bangsa dapat dikelompokan jadi dua, yaitu (i) bangsa alami atau bangsa yang disatukan karena faktor darah atau keturunan dan (ii) bangsa negara atau bangsa yang disatukan karena kesamaan cita-cita atau kepentingan yang natinya terwujud sebagai nasionalisme.
B. Pengertian negara

Dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (1983: 224) dijelaskan secara etimologis bahwa istilah negara berasal dari kata nagari atau nagara (Sansekerta) yang berarti kota, desa, daerah, wilayah, atau tempat tinggal seorang pangeran. negara dalam bahasa Inggris disebut state, atau staat dalam bahasa Belanda, dan e“tat dalam bahasa Prancis. Kata state berasal dari bahasa Latin stato. Istilah stato digunakan pertama kali oleh Machiaveli untuk menyebut wilayah negara atau pemerintahan yang dikuasai.

Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara, terdapat pengertian negara yang beraneka ragam. Di bawah ini disajikan beberapa perumusan mengenai negara sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo (2007:39-40) sebagai berikut.


  1. Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.

  2. Harold J.Laski menyatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah kelompok yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.

  3. Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

  4. Robert M. MacIver berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasar sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

  5. Kranenburg menyebutkan bahwa negara pada hakikatnya adalah sebuah organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Menurut Kranenburg sebelum terbentuknya negara terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi untuk menjamin dan memelihara kepentingan mereka.

  6. Logemann juga menyatakan bahwa negara itu pada hakikatnya adalah organisasi kekuasaan yang meliputi atau mencakup kelompok manusia yang disebut bangsa. Pertama-tama negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki kewibawaan yang terkandung pengertian dapat memaksakan kehendaknya pada semua orang yang diliputi oleh organisasi kekuasaan tersebut.

Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik intisarinya bahwa negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. negara adalah organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencakup semua, yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama.
C. Tujuan, Sifat, dan Fungsi negara

Negara, sebagai wadah masyarakat, mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Roger H. Saltou berpendapat bahwa negara mempunyai tujuan untuk memungkinkan rakyatnya (warganya) mengembangkan daya ciptanya secara bebas. Sehubungan dengan hal itu, cara negara yang satu dan negara yang lain dalam mewujudkan tujuannya tidak sama. Hal itu tergantung pada ideologi yang dianutnya.

Tujuan negara Republik Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang mencakup tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan bagi bangsa di dunia dan tujuan khusus berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan bangsa Indonesia, yaitu

...untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidpan bangsa, dan ikut melaksnakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasar kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Pada umumnya terdapat anggapan bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli, dan sifat mencakup semua (Miriam Budiardjo, 2007: 40).
1. Sifat Memaksa

Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. Unsur memaksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini akan dikenakan denda atau disita miliknya; bahkan beberapa negara menerapkan hukuman kurungan.


2. Sifat Monopoli

Negara mempunyai hak monopoli atas penetapan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan, suatu ideologi , ataupun aliran politik tertentu dilarang berkembang atau disebarluaskan karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat. Sifat monopoli dari negar disebut hak superior, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh negara dan tidak boleh dimiliki oleh organisasi atau asosiasi masyarakat dari suatu negara.


3. Sifat mencakup semua

Semua peraturan perundang-undangan, misalnya keharusan membayar pajak, berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu sebab kalau seseorang dibiarkan berada diluar ruang lingkup aktivitas negara, usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal.

Menurut Miriam Budiardjo (2007: 46), terlepas dari ideologinya, negara menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, yaitu (i) melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, (ii) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, (iii) menyelenggarakan pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar dengan alat pertahanan, serta (iv) menegakkan keadilan. Charles E.Mirriam (dalam Miriam Budiardjo: 2007: 46) menyatakan bahwa fungsi negara ada lima, yaitu (i) keamanan eksternal, yaitu untuk mencegah ancaman dari luar, (ii) ketertiban internal, yaitu untuk ketertiban dalam negeri, (iii) keadilan bagi seluruh warga negara, dan (iv) menjamin kebebasan tiap warga negara berdasar hak asasi manusia.
D. Bentuk dan Susunan negara

Mengacu pada literatur hukum dan politik, pengertian bentuk negara itu berkaitan dengan dua pilihan, yaitu bentuk negara kerajaan (monarki) dan republik. Dalam negara monarki pengangkatan kepala negara dilakukan melalui garis keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam negara republik tidak didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan, kepala negara disebut dengan berbagai macam sebutan dan mekanisme pergantian kepala negara berdasarkan keturunan itu juga dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di Inggris dan di Belanda, yang diangkat sebagai kepala negara adalah anak tertua Raja/Ratu. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pewaris tahta kerajaan, sehingga jabatan kepala negara dapat dipegang oleh raja (King) atau ratu (Queen). Sekarang kepala negara Inggris adalah Ratu Elisabeth, sedangkan Putera Mahkotanya adalah Pangeran Charles, yang kelak akan menjadi raja pengganti Ratu Elisabeth. Kerajaan Belanda juga demikian. Kepala negaranya adalah raja, sedangkan kepala pemerintahannya perdana menteri. Keduanya tunduk pada aturan Undang-Undang Dasar. Di Jepang lain lagi. Kepala negara biasanya disebut raja atau kaisar dan selalu laki-laki. Yang dapat diangkat menjadi kaisar adalah putera laki-laki tertua. Hal ini tegas diatur dalam UUD Jepang bahwa yang berhak mewarisi tahta kaisar hanya putera laki-laki. Oleh karena itu sekarang timbul masalah besar. Kaisar Akihito yang berkuasa sekarang ini tidak memiliki anak laki-laki, sehingga pernah timbul keinginan untuk mengadakan perubahan atas ketentuan Undang-Undang Dasar untuk memungkinkan anak perempuan dapat menerima warisan tahta kerajaan. Thailand juga dipimpin oleh raja yang diangkat secara turun temurun. Kepala negara Brunai Darussalam yang disebut sultan juga diangkat secara turun temurun. Sementara itu, Kerajaan Malaysia yang berbentuk federal menerapkan variasi yang agak berbeda dalam cara pergantian raja. Kepala negara disebut yang dipertuan agong yang berasal dari antara para raja atau sultan dari negara-negara bagian yang membentuk dewan raja-raja. Yang Dipertuan Agong ditentukan secara bergiliran di antara anggota para raja atau sultan dalam Dewan Raja-Raja itu.

Berbeda dari negara kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut presiden, atau ketua seperti di Republik Rakyat Cina, atau dengan istilah lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik tidak ditentukan berdasar keturunan. Di negara yang demokratis pergantian kepala negara dilakukan secara demokratis, yaitu melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan tidak langsung oleh wakil-wakil rakyat. Di negara-negara yang tidak demokratis, pengangkatan kepala negara dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya kudeta atau penunjukkan langsung oleh kepala negara republik dan tidak ditentukan berdasar garis keturunan darah atau pewarisan (Jimly Assiddiqie,2007: 282)

Bangunan atau susunan negara dapat ditinjau dari susunan unsur-unsur yang ada dalam negara yang mencakup susunan masyarakatnya, susunan wilayahnya, dan susunan pemerintahannya. Dengan demikian bangunan atau susunan negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu negara kesatuan dan negara federal atau negara serikat (Krisni dkk. 2004: 12-13).


1. Negara Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara yang berstatus tunggal, baik dilihat dari segi penduduknya, wilayahnya, maupun pemerintahannya. Kekuasaannya menunjukkan adanya kesatuan (unity). Hal itu dapat diartikan sebagai kesatuan penduduk yang terdiri atas berbagai suku yang berada dalam satu wilayah dan berada di bawah satu pemerintahan pusat. negara kesatuan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) adanya kesatuan wilayah yang utuh meskipun terdiri atas berbagai pulau dan adanya kekuasaan pemerintahan, (ii) adanya satu pemerintahan pusat yang dijalankan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi, dan (iii) adanya kedaulatan eksternal dan internal yang berada pada satu kendali, yaitu pemerintah pusat.

Dalam pada itu, sistem yang dijalankan oleh negara kesatuan dalam menjalankan pemerintahannya adalah sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Sistem sentralisasi berarti terpusatnya semua urusan negara pada pemerintah pusat, sehingga memperkecil peran pemerintah daerah, sedangkan sistem desentralisasi berarti penyerahan sebagian urusan rumah tangga pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintahan daerah diberi hak untuk mengatur daerahnya, namun masih dalam ikatan satu kesatuan. Hak untuk mengatur daerah ini disebut otonomi daerah. Sistem dekonsentrasi terkait dengan pemberian hak kepada daerah untuk mengatur wilayahnya, namun tetap di bawah kontrol pemerintah pusat agar tidak terjadi pemisahan wilayah (separatis), yaitu dengan memberikan tugas pada daerah sebagai pembantu pemerintah pusat.

1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət