Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə8/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   30


Sebaiknya Anda Tahu

Prinsip-Prinsip Rule of Law di Indonesia


Di Indonesia, prinsip-prinsip Rule of Law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: (i) bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, …..karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “peri keadilan”, (ii) ……. kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur; (iii) …….. untuk memajukan “kesejahteraan umum”, ……. dan “keadilan sosial”; (iv) …….. disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang Dasar negara Indonesia”; (v) ……..”kemanusiaan yang adil dan beradab”; dan (vi) …….. serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga “keadilan sosial”, sehingga Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama keadilan sosial.

Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu: (i) negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3); (ii) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1); (iii) segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1); (iv) dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1); (v) setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
2. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Antara Tahun 1945-1950

Sebulan setelah Indonesia diproklamasikan, sistem pemerintahan parlementer berlaku di Indonesia walaupun UUD 1945 tidak menghendaki demikian. Hal ini ditunjang dengan adanya pengumuman pemerintah yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik yang mendapat sambutan antusias dari rakyat. Secara politis lembaga legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat adalah Komite Nasional Indonesia Pusat. Dilihat dari segi historis, kehidupan partai-partai politik ini sebenarnya bermula dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun pada awal Indonesia mengenyam kemerdekaan, tampaknya konsentrasi seluruh masyarakat dihadapkan sepenuhnya terhadap aksi-aksi militer dan politik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga segenap potensi rakyat dikerahkan untuk mensukseskan revolusi bersenjata ini. Sistem parlementer ini merupakan produk dari Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Pengumuman Badan Pekerja, 11 November 1945 dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 yang menyatakan bahwa tanggung jawab politik terletak di tangan menteri. Hal ini dipertahankan praktis sampai dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mencabut UUDS 1950 dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara.

Pada saat bangsa Indonesia sedang menghadapi aksi-aksi Belanda, PKI melancarkan penikaman dari belakang kepada pemerintah RI yang sah. Akibatnya, beribu-ribu orang yang tidak berdosa menjadi korban keganasan politik dan ambisi golongan yang tidak bertanggung jawab. Untunglah hal itu dapat segera dikendalikan oleh kesigapan pemimpin ABRI.
3. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)

Sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, berlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara menganut sistem pemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyak partai-partai politik yang bermunculan. Persaingan secara terbuka antarpartai sangat kentara dalam panggung politik nasional. Masing-masing partai berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya. Akibatnya, pada penyelenggaraan pemilu yang pertama, sejak Indonesia diproklamirkan, sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat pada kabinet baru yang akan berjalan, yaitu akan mantap apabila di dalamnya terdapat koalisi (Ukasah Martadisastra, 1987:144). Adanya koalisi antara berbagai partai yang besar ini dikarenakan tidak ada satu pun partai yang menang secara mayoritas mutlak. Efek negatifnya terhadap kabinet adalah jatuh bangunnya kabinet dalam tempo singkat karena partai yang berkuasa kehilangan dukungan di parlemen. Akibat selanjutnya, program kerja kabinet yang bersangkutan tidak dilaksanakan.

Menurut Prof. Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata negara, dasar-dasarnya, memang sudah menjadi pandapat umum di dunia sampai sekarang ini bahwa adanya partai politik dalam negara demokrasi merupakan keharusan untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun, dengan partai yang begitu banyak, tanpa adanya mayoritas mutlak dalam parlemen, sering berakibat instabilitas terhadap jalannya pemerintahan. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya sistem pemerintahan yang sangat buruk, bahkan menimbulkan perpecahan. Padahal UUDS itu sendiri memberikan landasan yang cukup bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik, di mana di dalamnya memuat pokok-pokok bagi pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan sosial serta hak-hak asasi manusia. Dalam kenyataannya Pancasila hanyalah merupakan pemanis pidato saja. Yang menonjol adalah individualisme dengan latar belakang kepentingan golongan atau partai.

Demokrasi politik dipakai sebagai alasan akan tumbuhnya oposisi yang destruktif. Demokrasi ekonomi tidak lagi untuk membebaskan kemiskinan, tetapi malah mengaburkan tujuan semula dengan tumbuh suburnya persaingan bebas. Demokrasi sosial bukannya menciptakan tata masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme, malah semakin menutup kemungkinan rakyat banyak untuk menikmati kemerdekaan. Inilah yang menyebabkan macetnya tugas-tugas pemerintahan.

Secara politis kondisi demikian sungguh merupakan hal yang merugikan. Salah satu buktinya adalah ketidak mampuan Konstituante untuk menetapkan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Yang menonjol adalah persaingan antarpartai politik dari golongannya, sehingga kepentingan nasional yang lebih besar terabaikan. Dilihat dari kepentingan nasional tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, Presiden Soekarno selaku kepala negara pada waktu itu mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menghendaki terbentuknya MPRS dan DPRS. Dekrit ini dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu pula dimulainya babak baru pelaksanaan demokrasi.

4. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)

Istilah demokrasi terpimpin telah dikemukakan oleh Presiden Soekarno sewaktu membuka Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Hal ini menunjukkan tata kehidupan politik baru yang mengubah segi-segi negatif demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal tidak cocok diterapkan di Indonesia. Kesempatan yang sama pada semua orang harus disertai pula dengan kemampuan yang kuat. Apabila tidak, warganegara yang lemah akan tertindas oleh yang kuat.

Kemudian Presiden Soekarno mengemukakan pokok-pokok demokrasi terpimpin, antara lain bahwa


  1. Demokrasi terpimpin bukan diktator.

  2. Demokrasi terpimpin sesuai dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.

  3. Dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan meliputi bidang politik dan kemasyarakatan.

  4. Inti pimpinan adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.

  5. Oposisi yang melahirkan pendapat yang sehat dan membangun, diharuskan dalam demokrasi terpimpin.

  6. Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.

  7. Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual.

  8. Sebagai alat maka demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berserikat dan berkumpul dan berbicara dalam batas-batas tertentu yaitu batas keselamatan negara, batas kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan dan batas pertanggungjawaban kepada Tuhan dan seterusnya (Ukasah Martadisastra, 1987:147).

Atas dasar pernyataan tersebut jelaslah bahwa struktur demokrasi terpimpin bertujuan untuk menstabilkan kondisi negara baik kestabilan politik, ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Walaupun demikian maksud Presiden tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari konstituante. Sementara itu konstituante tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Konstituante terlibat dalam perdebatan yang berkepanjangan di mana di satu pihak terdapat partai yang menghendaki sosial ekonomi. Hal ini mengakibatkan golongan terbesar tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang konstitusional, sehingga kegiatannya kemudian mengalami kevakuman.

Di berbagai wilayah timbul pemberontakan seperti DI/TII, PRRI, Permesta dan sebagainya yang melancarkan perlawanan bersenjata kepada pemerintah pusat. Kondisi ini sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga pemerintah perlu menghadapi situasi politik dan keamanan ini melalui jalan tercepat yaitu dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian lahirlah periode demokrasi terpimpin di Indonesia.

Dalam kenyataannya kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berpikir dibatasi dalam tingkat-tingkat tertentu. Beberapa ketentuan dan peraturan tentang penyederhanaan partai, pengakuan dan pengawasan serta pembubaran partai menunjukkan bahwa presiden mempunyai peranan dan kekuasaan terhadap kehidupan suatu partai. Hal ini berarti presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan yang menghalanginya. Dengan demikian, jelas sekali bahwa nasib partai politik ditentukan presiden.

Gambaran kehidupan politik masa itu dapat dikemukakan sebagai berikut.



  1. Ditetapkannya 10 partai politik yang masih diakui yaitu PNI, NU, PKI, Partindo PSII Arudji, dan Partai Katolik, Murba, IPKI, Perti dan parkindo.

  2. Tanggal 17 Agustus 1960 Presiden membubarkan dua partai yaitu Masyumi dan PSI, dan apabila pernyataan ini tidak juga diacuhkan maka pembubaran partai akan lebih luas lagi.

  3. Tanggal 30 Desember 1959 terbentuk Front Nasional yang kemudian akhirnya membentuk kekuasaan yang sangat besar dan bahkan secara riil bertindak sebagai parpol.

  4. Dengan tidak adanya pemilu, maka kebebasan mengeluarkan pendapat pada hakikatnya sudah tidak ada lagi.


5. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru

Orde baru dibawah pimpinan Soeharto pada awalnya dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan Indonesia yang kacau balau setelah pemberontakan PKI September 1965. Orde baru lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan dan kebobrokan demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Pada awalnya, orde baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik dibuatlah UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum, UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Atas dasar UU tersebut orde baru mengadakan pemilihan umum pertama. Pada awalnya rakyat memang merasakan peningkatan kondisi di berbagai bidang kehidupan, melalui serangkaian program yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita. Setelah mengalami penderitaan sejak penjajahan, awal kemerdekaan hingga berakhirnya orde lama. Namun demikian, lama-kelamaan program-program pemerintah orde baru bukannya diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Ambisi penguasa orde baru mulai merambah ke seluruh sendi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru menjadi otoriter, namun seolah-olah dilaksanakan secara demokratis. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan penguasa. Pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde baru (Andriani Purwastuti, 2002:45).

Realisasi UUD 1945 praktis lebih banyak memberikan porsi pada presiden, walaupun sesungguhnya UUD 1945 memang memberi wewenang yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Presiden hanyalah mandataris MPR serta dalam menjalankan pemerintahan diawasi oleh DPR. Dalam kenyataan di lapangan posisi legislatif berada di bawah presiden. Seperti tampak dalam UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta UU Tentang Pemilihan Umum, posisi presiden terlihat sangat dominan. Dengan paket UU politik tersebut praktis secara politis kekuasaan legislatif berada dibawah presiden. Selanjutnya hak asasi rakyat juga sangat dibatasi serta dikekang demi kekuasaan, sehingga amanat pasal 28 UUD 1945 jauh dari kenyataan. Akibat kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol tersebut akhirnya penguasa orde baru cenderung melakukan penyimpangan hampir di semua sendi kehidupan bernegara. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela dan membudaya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan penguasa, kesenjangan semakin melebar, utang luar negeri menjadi menggunung. Akhirnya, badai krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multi dimensi. Rakyat yang dipelopori mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang. Akhirnya, runtuhlah orde baru bersamaan mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.

Pelaksanaan demokrasi Pancasila masih belum sesuai dengan jiwa, semangat, dan ciri-ciri umumnya. Hal itu terjadi karena presiden begitu dominan baik dalam suprastruktur maupun dalam infrastuktur politik. Akibatnya, banyak terjadi manipulasi politik dan KKN menjadi membudaya, sehingga negara Indonesia terjerumus dalam berbagai krisis yang berkepanjangan.


Sebaiknya Anda Tahu

DPR di Mata Publik, Masih Mengedepankan Kepentingan Partai dan Pribadi

Sungguh besar harapan rakyat terhadap DPR hasil Pemilihan Umum 1999. Di samping terpilih melalui pemilu yang dianggap paling demokratis sejak rezim orde baru berkuasa, anggota DPR kali ini mempunyai latar belakang kualitas yang dipandang lebih baik dari pada yang pernah ada sebelumnya. Dari segi pendidikan formal 83 % adalah lulusan perguruan tinggi. Proporsi mereka yang berusia muda , berumur di bawah 50 tahun, juga cukup besar mencapai 43 % dari seluruh anggota. Dengan kondisi demikian, wajar jika rakyat menggantungkan harapan besar agar DPR lebih banyak berperan dan berpihak kepada rakyat. Paling tidak, dengan fungsinya membuat undang-undang, mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah, serta menampung dan menindaklanjuti berbagai aspirasi dan pengaduan masyarakat, seyogyanya lembaga ini lebih mengutamakan kepentingan rakyat.

Menjelang tiga tahun masa jabatannya, pada 1 oktober 2002, DPR secara akumulatif telah menetapkan sekurangnya 60 UU, tetapi jumlah tersebut masih jauh dari target. Mengacu pada Repeta 2001, misalnya, DPR hanya mampu memproduksi 22 UU, atau hanya 25 % dari target sebanyak 70 UU di tahun itu. DPR juga masih miskin inisiatif dalam menjalankan fungsi legislatif sebab hanya sedikit RUU yang lahir dari tangan lembaga ini; padahal mengacu pada Perubahan Pertama UUD 1945 Pasal 20, kekuasaan membuat UU sudah bergeser dari pemerintah kepada DPR.

Tugas yang termasuk cukup berhasil DPR periode ini tampaknya adalah mengawasi jalannya roda pemerintahan. Pada awal tugasnya, mereka aktif menyoroti sepak terjang pemerintah dan tak segan mengunakan hak-haknya, terutama hak interpelasi, hak angket, dan hak pernyataan pendapat. Sepanjang pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, DPR menggunakan hak interpelasi sebanyak dua kali, yaitu terhadap pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, serta pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri. Hak lain yang pernah difungsikan adalah hak angket dalam kasus pengucuran dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 milyar dan dana pemberian Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah sebesar 2 juta dollar AS. DPR juga menggunakan hak pernyataan pendapat sebanyak dua kali, yaitu atas jawaban Presiden Abdurrahman Wahid terhadap pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang dinilai tidak memuaskan dan ketika Presiden Abdurrahman Wahid dianggap telah melanggar Pasal 35 UUD 1945, empat Ketetapan MPR, dan dua UU.

DPR terhitung rajin membentuk berbagai panitia khusus di luar panitia kerja. Umumnya panitia yang dibentuk berhubungan dengan pengungkapan kasus tertentu, seperti pengucuran BLBI, penyaluran dana Bulog, dan yang berkaitan dengan rekrutmen opada lembaga negara tertentu, seperti rekrutmen hakim agung dan anggota KPKPN. Namun, serangkaian prestasi yang telah dicapai DPR belum mampu membuat kinerja lembaga ini mendapat pujian berarti, setidaknya di mata sebagian publik. Hasil jajak pendapat berseri menunjukkan semakin lama persentase ketidakpuasan terhadap kinerja DPR berangsur meningkat dari waktu ke waktu. Sehubungan dengan fungsi legislatif DPR, misalnya, lebih dari separuh responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kerja anggota dewan dalam membuat undang-undang. Demikian pula dalam mengontrol kerja pemerintah. Meskipun telah terjadi pergantian presiden dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati Soekarno Putri, persentase ketidakpuasan responden dari waktu ke waktu kian besar. DPR dinilai semakin tidak berdaya mengawasi jalannya pemerintahan.

Sebenarnya rasa ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kinerja DPR sudah dapat diprediksi sebelumnya. Maskipun DPR periode 1999-2004 ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, lembaga ini tak pernah sepi dari berbagai persoalan internal. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme serta perpecahan internal partai-partai yang ada di dalamnya turut pula mewarnai kinerja para wakil rakyat. Puncaknya, Ketua DPR Akbar Tandjung terkait dengan kasus pidana pengucuran dana nonbujeter Bulog. Tak heran bila kinerja DPR selama ini masih belum memuaskan publik. Sepak terjang para wakil rakyat ini diyakini oleh mayoritas responden lebih menitik beratkan kepentingan partai masing-masing dan pribadi daripada kepentingan rakyat banyak.
6. Pelaksanaan Demokrasi pada Era Reformasi

Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme UUD 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Penyelenggaraan negara semakin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan. Semua itu ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan presiden berlebihan yang melahirkan budaya kurupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakil presiden Prof. Dr. BJ. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan membawa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh serta menata sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis dengan mengadakan perubahan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman.

Lemahnya pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru terjadi selain karena moral penguasanya juga memang terdapat berbagai kelemahan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, selain melakukan reformasi dalam bidang politik untuk tegaknya demokrasi melalui perubahan perundang-undangan, juga diperlukan amandemen UUD 1945. Lima paket UU politik telah diperbarui pada tahun 1999, yaitu sebagai berikut.


  1. UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 31 Tahun 2002.

  2. UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, yang kemudian juga diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Selanjutnya juga keluar UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

  3. UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, yang akhirnya diganti dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

  4. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, yang akhirnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung.

  5. UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Pelaksanaan Demokrasi Pancasila pada era reformasi ini telah banyak memberikan ruang gerak kepada partai politik maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara kritis, pemberian peluang untuk berunjuk rasa dan beroposisi, dan optimalisasi hak-hak DPR seperti hak bertanya, interpelasi, inisiatif, dan amandemen.
Sebaiknya Anda Tahu

Konflik Internal Partai

Konflik internal partai bukan hal yang baru dalam sejarah partai politik di Indonesia. Hal itu sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Soekarno. Begitu rezim orde baru runtuh, penyakit ini menular pada partai-partai yang baru lahir. Partai-partai besar semacam Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP yang sudah malang melintang pada rezim itu masih saja belum mampu membiakkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit ini. Partai-partai yang pada kelahirannya menimbulkan harapan baru, seperti PKB dan PAN, tak terhindar dari perseteruan internal. PBB dan partai-partai kecil lainnya juga sama saja. Yang paling menonjol adalah rebutan kedudukan atau kekuasaan di dalam partai. Tak mengherankan bila konflik-konflik itu berujung pada kepengurusan kembar. Penyebabnya antara lain konsolidasi partai yang rapuh dan perbedaan kepentingan antarkader yang amat beragam.


a. Konflik Internal Partai Golkar

  1. Setelah pemilu 1997, terjadi perbedaan pendapat di antara dua kubu mengenai calon wakil presiden yang akan mendampingi Presiden Soeharto (14 Januari 1998), yaitu antara Ketua umum DPP Golkar Harmoko dan BJ Habibie. Akhirnya, Harmoko mengundurkan diri dan Habibie yang menjadi wakil presiden.

  2. Setelah Soeharto lengser, konflik dalam tubuh partai semakin menguat, yaitu persaingan antara kubu Akbar Tanjung dan kubu Edi Sudradjat dalam pemilihan ketua umum. Terpilihnya Akbar Tanjung membuat Edi Sudradjat mendirikan partai baru, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan (15 Januari 1999).

  3. Setelah beberapa kadernya masuk dalam jajaran pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid konflik internal partai masih sering terjadi. Antara kelompok yang tetap mendukung pemerintah Presiden Wahid dan kelompok yang menginginkan presiden mundur.

b. Konflik Internal Partai PDI Perjuangan

  1. Pada akhir pemerintahan Soeharto, PDI terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Megawati dan kubu Soerjadi.

  2. Di kota Medan massa PDI kubu Megawati (9 Juli 1998) mengambil alih kantor DPD PDI dari tangan PDI kubu Soerjadi. Menjelang Pemilu 1999, kubu Megawati akhirnya mendeklarasikan nama baru PDI Perjuangan, yang akhirnya meraih suara terbanyak dalam pemilu.

  3. Pada 27 Maret 2000, muncul dua kelompok yang bersaing untuk memperebutkan posisi ketua umum. Kelompok pertama menginginkan Megawati tetap memimpin partai, sedangkan kelompok kedua menginginkan Megawati lebih berkonsentrasi sebagai wakil presiden saja.

c. Konflik Internal Partai PPP

  1. Menjelang pemilu 1997 perebutan kursi calon legislatif yang menjurus ke saling pecat di berbagai daerah terjadi di Riau dan Sulawesi Selatan.

  2. Semasa Habibie menjabat presiden banyak kader PPP yang keluar dan mendirikan partai baru, seperti PKB, PAN, Partai Keadilan, dan PBB.

  3. Januari 2002 PPP pecah, Zainuddin MZ mendirikan Partai Persatuan Pembangunan Reformasi.

d. Konflik Internal PKB

  1. Perseteruan antara Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil dan Alwi Shihab mengenai sikap partai berhubungan dengan akan dilengserkannya Presiden Wahid, yang juga ketua Dewan Syuro PKB. Akhirnya Matori tetap hadir dalam sidang istimewa MPR, padahal DPP sudah memutuskan untuk memboikot sidang itu. Akhirnya Matori dipecat dari ketua umum PKB.

  2. Setelah Matori menjadi menteri, ia menyatakan diri sebagai ketua umum PKB yang syah (30 juli 2001).

  3. Dalam muktamar luar biasa yang digelar di Yogyakarta, 20 Januari 2002, akhirnya Alwi Shihab terpilih sebagai ketua umum PKB.

e. Konflik Internal PAN

Sebanyak 16 anggota PAN, antara lain Faisal Basri dan Bara Hasibuan, pada 21 Januari 2001, mundur dari partai karena merasa PAN tidak lagi sesuai dengan platform partai.


1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət