Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə3/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30

2. Negara Serikat (Federal)

Negara serikat atau negara federal oleh Wheare diartikan sebagai pembagian kekuasaan negara antara pemerintah federal atau pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian. Kekuasan yang menyangkut hubungan luar negeri dan pencetakan uang serta perjanjian internasional dipegang pemerintah federal, sedangkan hal-hal yang tidak menyangkut urusan nasional, misalnya masalah kebudayaan atau kesehatan, pengurusannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Menurut Srong, negara federal mencoba menyesuaikan dua hal yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara dalam arti keseluruhan dengan kedaulatan negara bagian. Di samping itu, penyelenggaraan kedaulatan ke luar pada negara federal diserahkan kepada pemerintah federal, sebaliknya kedaulatan ke dalam dibatasi.

Terkait dengan cara pembagian kekuasaan, negara federal yang merinci dan menyebut satu per satu kekuasaan pemerintah federal (enumerated powers) dan menyerahkan sisa kekuasaannya kepada negara bagian (reserve of power)disebut negara federal sempurna, seperti Amerika Serikat dan Australia. Di samping itu, ada pula negara federal yang merinci kekuasaan pada pemerintah negara bagian dan menyerahkan sisa kekuasaannya kepada pemerintah federal. Dengan kata lain, enumered powers dipegang negara bagian sedangkan reserve of power dipegang oleh pemerintah federal. negara yang menggunakan bentuk ini ialah Canada dan India.

Terkait dengan susunan organisasi negara, disamping negara kesatuan dan negara serikat atau federal, Jimly Assiddiqie (2007: 282-284) menambah lagi adanya negara konfederasi (statenbond) dan negara superstruktural (Superstate). negara konfederasi merupakan persekutuan antarnegara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerja sama yang longgar. Sebagai contoh, negara-negara merdeka bekas Uni Soviet, setelah Uni Soviet bubar, bersama-sama membentuk Confederasion of Independen State (CIS). Sifat persekutuannya sangat longgar, sehingga menyerupai organisasi kerja sama antarnegara yang biasanya, seperti ASEAN, Arab League, dan sebagainya. Lebih lanjut, negara superstate adalah fenomena baru sejak terbentuk dan berkembangnya Uni Eropa yang tidak dapat disebut confederasion karena sifatnya sangat kuat dan di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan yang lazim, seperti fungsi legislasi, fungsi administrasi, dan bahkan peradilan Eropa. Untuk disebut sebagai negara yang tersendiri, bentuk dan susunannya tidak dapat dibandingkan dengan organisasi negara kesatuan ataupun negara serikat; bahkan jika kelak konstitusi Eropa dapat disepakati dan akhirnya diratifikasi oleh negara-negara anggotanya, uni Eropa itu dapat dikatakan menjadi negara tersendiri. Sekarang ini sudah banyak orang yang menyebut organisasi Uni Eropa sebagai superstate atau negara super yang merupakan superstruktur dari negara-negara Eropa yang menjadi anggotanya.


E. Unsur-Unsur negara

1. Wilayah

Setiap negara menduduki wilayah tertentu di muka bumi dan memiliki batas-batas wilayah yang jelas pula. Kekuasaan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi laut di sekelilingnya dan angkasa di atasnya. Karena adanya kemajuan teknologi dewasa ini, masalah wilayah menjadi lebih rumit dibandingkan masa lampau. Sebagai contoh, pada masa lampau wilayah laut cukup sejauh 3 mil dari pantai sesuai dengan jarak tembak meriam. Pada saat ini hal itu menjadi kurang relevan lagi sebab jarak tembak peluru kendali bisa ratusan mil. Oleh karena itu, beberapa negara termasuk Indonesia telah mengusulkan wilayah laut 12 mil diukur dari titik terluar, serta menuntut adanya zone ekonomi eksklusif 200 mil. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai mendorong sejumlah negara besar untuk menuntut penguasaan wilayah yang lebih luas.

Menurut hukum internasional, semua negara sama martabatnya, tetapi dalam kenyataannya sering negara kecil mengalami kesulitan untuk mepertahankan kedaulatannya, apalagi jika negara tetangganya adalah negara besar. Di lain pihak, negara yang memiliki wilayah yang sangat luas juga menghadapi berbagai permasalahan, antara lain keanekaragaman suku, budaya, dan agama, serta masalah perbatasan dan sebagainya.
2. Penduduk

Setiap negara pasti memiliki penduduk dan kekuasaan negara menjangkau seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Penduduk dalam suatu negara biasanya menunjukkan beberapa ciri khas yang membedakannya dari bangsa lain. Perbedaan ini tampak, misalnya, dalam kebudayaan dan dalam identitas nasionalnya. Kesamaan dalam sejarah, kesamaan bahasa, kesamaan kebudayaan, kesamaan suku bangsa, dan kesamaan agama merupakan faktor yang mendorong ke arah terbentuknya persatuan nasional dan identitas nasional yang kuat. Persamaan dan homogenitas tidak menjamin kokohnya persatuan. Sebaliknya, keanekaragaman juga tidak menutup kemungkinan untuk berkembangnya persatuan yang kokoh. Sebagai contoh, negara Swiss yang mempunyai empat bahasa dan India yang mempunyai 16 bahasa resmi. Walaupun demikian, kedua negara itu sampai sekarang masih tetap bersatu. Indonesia dengan puluhan bahasa daerah, suku bangsa, dan terdiri berbagai agama hingga saat ini juga masih bersatu. Sebaliknya, Inggris dan Amerika Serikat memiliki bahasa yang sama, tetapi merupakan dua bangsa dan negara terpisah. Pakistan yang didirikan dengan alasan untuk mempersatukan wilayah India yang beragama Islam akhirnya pecah menjadi dua, yaitu Pakistan dan Banglades. Oleh karena itu, bagus untuk direnungkan apa yang dikatakan oleh filsuf Prancis Ernest Renan bahwa pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa, kesamaan agama, kesamaan suku ataupun kesamaan ras, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapai tujuan bersama di masa depan.


3. Pemerintahan

Setiap negara memiliki organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan ini antara lain berbentuk undang-undang dan berbagai peraturan lainnya. Dalam hal ini organisasi yang dimakud ialah pemerintah yang bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Dengan demikian, negara itu bersifat lebih permanen, sedangkan pemerintah biasanya silih berganti. Kekuasaan pemerintah biasanya dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (yang mengawasi pelaksanaan undang-undang).

Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga model, yaitu (i) sistem pemerintahan presidensiil, misalnya Inggris, Malaysia, Indonesia, Philipina, (ii) sistem pemerintahan parlementer, seperti Inggris, Malaysia, Singapura, India, dan (iii) sistem pemerintahan campuran, misalnya Prancis. Sistem pemerintahan presidensiil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Dalam sistem parlementer jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Jabatan kepala negara untuk negara republik dipegang oleh presiden, untuk negara kerajaan dipegang raja atau ratu, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
4. Kedaulatan

Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. Negara mempunyai kekuasaan tertinggi ini untuk memaksa semua penduduknya agar menaati undang-undang serta peraturan–peraturannya. Di samping itu, negara mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-serangan dari negara lain dan mempertahankan kedaulatannya ke luar. Untuk itu, negara menuntut loyalitas yang mutlak dari warga negaranya. Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis yang tidak selalu sama dengan komposisi dan letak kekuasaan politik. Kedaulatan yang bersifat mutlak sebenarnya tidak ada sebab pimpinan kenegaraan (raja atau diktator) selalu terpengaruh oleh tekanan-tekanan dan faktor-faktor yang membatasi penyelenggaraan kekuasaan mutlak; apalagi kalau menghadapi masalah dalam hubungan internasional. Perjanjian internasional pada dasarnya membatasi kedaulatan suatu negara. Kedaulatan umumnya diangap tidak dapat dibagi-bagi, tetapi di dalam negara federal sebenarnya kekuasaan dibagi antara negara dan negara-negara bagian.


F. Warga negara

Pembicaraan tentang warga negara tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang penduduk. Penduduk adalah orang yang dengan sah bertempat tinggal dalam suatu negara. Sah berarti tidak bertentangan dengan ketentuan dan tata cara masuk dan bertempat tinggal dalam wilayah suatu negara. Istilah penduduk mencakup warga negara dan orang asing (orang di luar warga negara). Orang asing yang tinggal di suatu negara dilindungi oleh hukum internasional. Jadi, di mana saja ia berada berhak mendapat perlindungan dari negara yang bersangkutan; pada dasarnya mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara. Perbedaan keduanya terletak pada beberapa hak seperti hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang hanya dimiliki warga negara, begitu juga hak untuk diangkat menjadi pejabat negara.

Warga negara adalah pengertian yuridis yang menyangkut keanggotaan dari suatu negara tertentu. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Penduduk, sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat 2, ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang (ayat 3).

Lebih lanjut, status kewarganegaraan dalam suatu negara biasanya terkait dengan dua asas: (i) Ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dan Ius Soli, yaitu asas yang menetukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran. Lazimnya kedua asas itu dipakai bersama-sama dalam penentuan kewarganegaraan suatu negara.


1. UU Kewarganegaraan

Pasal 26 ayat (3) UUD 1945 berbunyi Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Saat ini undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini kata warga negara didefinisikan secara sederhana sebagai Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang kemudian dirinci dalam pasal 4 sebagai berikut.



  1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia.

  2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia

  3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.

  4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia.

  5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.

  6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia.

  7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia.

  8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.

  9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak jelas kewarganegaraan ayah dan ibunya.

  10. Anak yang baru lahir ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.

  11. Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.

  12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

  13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya kemudian ayah dan ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau janji setia.

Sehubungan dengan hal di atas, asas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 adalah sebagai berikut.

  1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat lahir.

  2. Asas ius soli (law of the soli) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasar tempat lahir, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini

  3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

  4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Undang-undang ini tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau pun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Kewarganegaran ganda dan tanpa kewarganegaraan menurut Krisni (2004: 32) timbul sebagai akibat penerapan asas kewarganegaraan yang tidak seragam. Kewarganegaraan ganda timbul ketika sepasang orang tua berasal dari negara yang berasas ius sanguinis (berdasar keturunan) bertempat tinggal dan melahirkan di negara yang menganut asas ius soli (berdasar kelahiran). Akibatnya, anak yang dilahirkan akan diakui sebagai warga negara dari negara orang tua yang berasas ius sanguinis dan warga negara dari tempat lahir yang menganut asas ius soli. Karena kedua negara tersebut mengakui kewarganegaraan anak tersebut, anak yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda (bipatride). Di sisi lain, tanpa kewarganegaraan (apatride) timbul karena sepasang orang tua yang berasal dari negara yang menganut asas ius soli tinggal dan melahirkan di negara yang berasas ius sanguinis. Akibatnya, anak tidak memiliki kewarganegaraan karena lahir di negara yang berasas keturunan sementara orang tuanya berasal dari negara yang berasas tempat kelahiran. Untuk mengatasi terjadinya bipatride dan apatride ini Indonesia dengan undang-undang kewarganegaraan yang baru menganut asas ius soli, namun tanpa mengabaikan ius sanguinis.

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia:



  1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

  2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apa pun, baik di dalam maupun di luar negeri.

  3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

  4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

  5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender.

  6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan mempermuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

  7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

  8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.

Pokok Materi yang diatur dalam Undang–Undang Kewarganegaraan Tahun 2006 ini meliputi (i) siapa yang menjadi warga negara, (ii) syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, (iii) kehilangan kewarganegaraan Indonesia, (iv) syarat-syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, dan (v) ketentuan pidana.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2. Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan

Pada mulanya hukum yang berkenaan dengan kewarganegaraan masih terkait dengan peraturan-peraturan yang berlaku di zaman Hindia Belanda. Atas dasar itu menurut Soepomo, orang yang bertempat tinggal di Indonesia di bagi dalam golongan-golongan, yaitu (i) kawulanegara Belanda dan orang asing, (ii) penduduk negara dan bukan penduduk negara, (iii) orang Eropa, bumiputera dan orang Timur Asing, serta (iv) orang Belanda, kawulanegara pribumi bukan orang Belanda dan kawulanegara mancanegara bukan orang Belanda. Sebagai ukuran untuk menentukan kewarganegaraan dipakai Undang-Undang Tahun 28 Juni 1850 yang diubah dengan Undang-Undang 3 Mei 1851 dan Pasal 5 BW Belanda tahun 1838. Asas yang dianut oleh kedua peraturan ini adalah asas ius soli, yaitu kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran yang terus berlaku sampai ditetapkannya Undang-Undang 12 Desember 1892 yang menerapkan prinsip ius sanguinis, yaitu kewargenagaraan berdasarkan garis keturunan darah. Pengaturan hukum kewarganegaraan ini terus mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan, yaitu dengan terbitnya Undang-Undang 10 Februari 1910 dan Undang-Undang 10 Juni 1927. Berdasar Undang-Undang Kewarganegaraan Hindia Belanda 10 Juni 1927, penduduk Indonesia dibedakan menjadi golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putera. Golongan Eropa meliputi bangsa Belanda, bukan bangsa Belanda namun berasal dari Eropa, orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kewarganegaraannya sama dengan hukum kewarganegaraan Belanda (seperti Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), bangsa Jepang dan keturunan bangsa-bangsa tersebut di atas. Adapun golongan Timur Asing meliputi orang-orang Cina dan orang-orang bukan Cina seperti orang India, Pakistan, Arab atau Mesir. Golongan yang ketiga adalah golongan Bumi Putera, meliputi orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain dan orang-orang yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain, kemudian hidup menyesuaikan diri dengan orang Indonesia (Krisni, 2004: 29-30).

Di samping itu, banyak lagi peraturan lain yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan persoalan kewarganegaraan ini sampai menjelang kemerdekaan. Namun, sejak kemerdekaan semua peraturan tersebut berubah karena sejak Indonesia merdeka dan berdaulat pengertian tentang warga negara dan kewarganegaraan Indonesia harus disesuaikan dengan rezim hukum baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi proklamasi.
a. Masa Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1946

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 adalah UU yang mengatur kewarganegaraan Indonesia yang diberlakukan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 merupakan wujud pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan warga negara adalah sebagai berikut.



  1. Penduduk asli dalam daerah Republik Indonesia termasuk anak-anak dari penduduk itu

  2. Istri seorang warga negara Republik Indonesia

  3. Keturunan dari warga negara Republik Indonesia yang kawin dengan warga negara asing

  4. Anak-anak yang lahir dalam daerah wilayah Republik Indonesia yang tidak diketahui siapa orang tuanya

  5. Anak-anak yang lahir dalam jangka waktu 300 hari, setelah ayahnya yang berkewarganegaraan Republik Indonesia meninggal dunia

  6. Orang yang bukan penduduk asli yang telah bertempat tinggal selama lima tahun berturut-turut dan telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Apabila yang bersangkutan berkeberatan menjadi warga negara Republik Indonesia, ia boleh menolak dengan alasan ia adalah warga negara lain.

Proses masuknya seseorang menjadi warga negara Republik Indonesia dapat dilakukan dengan naturalisasi.
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

Republik Indonesia Serikat merupakan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Akibatnya, pengaturan tentang kewarganegaraan belum sempat diundangkan. Untuk mengatasinya, digunakan pasal 194 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang dinyatakan bahwa mereka yang sudah warga negara Indonesia Serikat ialah mereka yang mempunyai kewarganegaraan menurut persetujuan penentuan kewarganegaraan yang dilampirkan pada pemulihan kedaulatan. Dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang yang mengatur Kekaulanegaraan Belanda dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1946 tidak berlaku lagi. Akibatnya, bagi keturanan Cina dan Arab yang tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia, apabila dalam waktu dua tahun sesudah tangal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan Republik Indonesia, mereka dianggap warga negara Indonesia. Demikian pula orang Belanda yang dilahirkan di wilayah Republik Indonesia dan bertempat tinggal di wilayah Indonesia selama enam bulan dan dalam waktu dua tahun setelah 27 Desember 1949 menyatakan memilih warga negara Republik Indonesia, yang bersangkutan dianggap sebagai warga negara Republik Indonesia. Orang-orang kaulanegara bukan orang Belanda yang lahir di Indonesia yang dalam waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi warga negara Republik Indonesia.


c. Undang-Undang Dasar Sementara 1950

Sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlakulah Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan Undang-Undang yang mengatur kewarganegaraan Indonesia, sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, yang dimaksud dengan warga negara Indonesia adalah



  1. mereka yang telah menjadi warga negara berdasarkan undang-undang, peraturan, atau perjanjian yang pernah berlaku sebelumnya,

  2. mereka yang memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang yang pernah ada,

  3. mereka yang pada waktu lahir mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang warga negara Republik Indonesia, misalnya ayah,

  4. mereka yang waktu lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya tersebut berkewarganegaraan Indonesia, serta

  5. mereka yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958.

Kewarganegaraan Indonesia dapat hilang, menurut Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, karena hal-hal sebagai berikut: (i) dengan sengaja atau sadar menolak kewarganegaraan Indonesia, (ii) menolak kewarganegaraan Indonesia dikarenakan khilaf atau ikut-ikutan saja, serta (iii) ditolak oleh orang lain, misalnya, seorang anak yang mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya menolak sebagai warga negara Indonesia.

Apabila timbul keragu-raguan terhadap kewarganegaraan Republik Indonesia dari seseorang, dibutuhkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh di pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal. Undang–Undang Nomor 62 tahun 1958 diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 dengan perubahan yang terdapat pada ketentuan pasal 18. Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 itu sendiri menurut Jimly Assidddiqie (2007: 666-667) tidak sesuai secara filosofis, sosiologis, dan bahkan yuridis-konstitusional; dapat dikatakan tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sejak lama. Landasan pembentukan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 itu adalah UUDS tahun 1950 yang tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apalagi setekah reformasi dengan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 telah pula mengalami perubahan paradigma hukum kewarganegaraan Indonesia secara mendasar. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pasal 26 ayat 3 UUD 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang, pada tahun 2006 telah disahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yang mengubah hukum kewarganegaraan kita secara mendasar.

Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Tahun 2006 disusun atas dasar pertimbangan-pertimbangan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin potensi, harkat, dan martabat setiap orang sesuai dengan hak asasi manusia. Warga negara itu sendiri merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 tentang perubahan pasal 18-nya, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru. Atas dasar pertimbangan itulah dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang kewarganegaraan yang baru dengan berbasis pada ketentuan ketentuan pasal 20, Pasal 21, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 B ayat 2, Pasal 28 D ayat 1 dan ayat 4, Pasal 28 E ayat 1, pasal 28 L ayat 2, dan pasal 28 J UUD 1945.
G. Nasionalisme

1. Pengertian Nasionalisme

Nasionalisme jika ditinjau secara etimologis berasal dari bahasa Latin nation (kata benda natio, dari kata kerja nasci yang berarti dilahirkan) yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Namun, arti dan hakikat yang melekat pada kata tersebut sudah berubah menurut ruang dan waktu serta disesuaikan dengan ideologi penafsirnya. Secara fundamental nasionalisme timbul dari adanya national consciousness. Dengan istilah lain, nasionalisme adalah formalisasi dan rasionalisasi dari kesadaran nasional. Kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yakni negara nasional (Ismaun dalam Noor M.Bakry, 1994: 172). Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara dialektik, berakar di masa silam serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam satu negara nasional. Dengan demikian, nasionalisme yang merupakan faham kebangsaan ini memiliki dua hal pokok sebagai perwujudannya, yaitu kenangan masa lampau dalam hidup berbangsa dan kehendak untuk bersatu dalam hidup bernegara. Dengan dua dasar tersebut nasionalisme sebagai gejala sosio-politik berhubungan erat dengan organisasi negara, sebagai organisasi politik, kekuasaan serta alat perjuangan (Noor M Bakry,1994: 172). Oleh karena itu, pembahasan mengenai pemahaman tentang nasionalisme selalu terkait dengan bangsa dan negara. Ketiga-tiganya termasuk ke dalam gagasan hegemonik.

Dalam arti yang paling sederhana Gooch menegaskan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran diri suatu bangsa. Ia telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18. Dalam arti yang umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot, istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, bahasa, wilayah, kelas, gender dan lain-lain (Rusli Karim,1996: 95). Nasionalisme adalah semacam etnosentrisme atau pandangan yang berpusat pada bangsanya, yaitu gejala seperti semangat nasional dan kebanggaan nasional sebagai gejala umum untuk mensolidarisasikan diri dengan suatu kelompok yang senasib (ensiklopedi Politik dan Pembangunan, 1988: 219).

Nasionalisme dalam arti negatif adalah suatu sikap yang keterlaluan, sempit, dan sombong terhadap bangsanya. Apa yang menguntungkan bangsanya sendiri begitu saja dianggap benar, sampai kepentingan dan hak bangsa lain diinjak-injak. Nasionalisme semacam ini mencerai-beraikan bangsa satu dengan bangsa yang lain.

Nasionalisme dalam arti positif adalah sikap nasional untuk mempertahankan kemerdekaan dan harga diri bangsa dan sekaligus menghormati bangsa lain. Nasionalisme dalam pengertian ini sangat berguna untuk membina rasa persatuan antara penduduk negara yang heterogen karena perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, serta berfungsi untuk membina rasa identitas dan kebersamaan dalam negara dan sangat bermanfaat untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diperoleh.

Nasionalisme merupakan ekspresi hubungan antara darah dan tanah. Nasionalisme adalah sebuah ideologi dalam pengertian seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tingkah laku dan perbuatan. Nasionalisme mengalami dinamika. Oleh karena itu, dalam setiap kurun waktu, setiap generasi muncul dalam dimensi yang khas. Pada masa penjajahan, nasionalisme tampil sebagai ideologi untuk mengusir penjajah. Pada masa kemerdekan, nasionalisme mewujudkan dirinya dalam usaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman ekonomi kolonial. Ancaman nasionalisme dalam kurun waktu pascakemerdekaan ini adalah gurita ekonomi yang melilit kehidupan bangsa-bangsa di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

Tudingan yang sering terlontar ialah semakin pudarnya semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Tudingan itu belum tentu benar, tetapi sudah mulai membentuk sigma ditengah masyarakat. Bila ukurannya semangat patriotisme dan perjuangan fisik seperti perang kemerdekaan dulu, tentu ada benarnya. Generasi sekarang tidak mungkin lagi melakukan perjuangan fisik penuh heroisme seperti masa lalu. Akan tetapi, nasionalisme bukanlah sesuatu yang kaku. Ini tidak aneh karena sebagai konsep sosial, nasionalisme muncul, berkembang, dan mengalami evolusi yang sangat panjang hingga mengalami bentuk seperti sekarang.

Paham nasionalisme mengajarkan bahwa suatu bangsa bernegara dapat dibangun dari masyarakat yang majemuk, jika warga masyarakat tersebut benar-benar bertekad kuat untuk membangun masa depan bersama, terlepas perbedaan agama, ras, etnik atau ikatan primordial lainnya. Nasionalisme adalah suatu visi atau suatu persepsi dan bangsa yang dibangun berdasarkan visi ini adalah suatu imagined community atau sebuah komunitas yang dibayangkan.


2. Sejarah Nasionalisme

Bermula pada masa Kekaisaran Romawi sekitar 400 tahun Sebelum Masehi istilah nasionalisme muncul dengan makna negatif. Baru pada abad 18 pada masa revolusi Prancis nasionalisme memiliki makna positif. Namun dalam perkembangannya, nasionalisme yang fanatik menimbulkan fasisme seperti yang terjadi di sejumlah negara Eropa, sedangkan di sisi lain menumbuhkan semangat pembebasan bangsa-bangsa Asia Afrika dari belenggu kolonialisme. Nasionalisme yang muncul pada akhir abad 18 dalam suasana liberalisme di antar bangsa-bangsa Eropa yang merasa perlu menekankan identitas dan kesamaan derajatnya dengan Inggris dan Prancis yang pada waktu itu paling maju. Walaupun bangsa-bangsa lain, seperti Jerman dan Italia khususnya, merasa sama dalam hal budaya, namun secara politis mereka kurang berarti karena terpecah belah. Oleh karena itu, rasa nasionalisme pada waktu itu berkobar-kobar bahkan sengaja dikobarkan sampai negara-negara bersatu dan merdeka dicapai pada akhir abad 19. Bangsa-bangsa Eropa Timur, Asia, dan Afrika pada abad 20 dengan gigih berjuang untuk membangun identitas nasional sebagai suatu hal yang baru karena warisan yang lama yaitu kebudayaan suku yang seringkali tanpa daya tidak memadai untuk membangun suatu negara nasional, bahkan kadang-kadang menghalangi.

Dalam usaha menciptakan basis ideologis untuk perjuangan nasional tidak jarang perlu dikembangkan bahasa nasional dan diambil ide-ide dan cara hidup yang baru dari bangsa yang sudah membentuk negara nasional. Dalam praktiknya, banyak mengambil ide-ide dari barat yang kadang-kadang menjadi lawan utama dari para nasionalis. Oleh karena itu, timbullah paham yang setengah baru setengah lama sebagai bangsa. Nasionalisme baik yang ada di Eropa Timur, Balkan, Asia maupun Afrika sangat tertarik, tetapi juga sekaligus menolak apa yang terpaksa dicontoh dari barat tersebut. Tidaklah mengherankan jika banyak nasionalis abad ini yang merupakan tokoh-tokoh peralihan dari era tradisional dan modern seperti Sun Yat Sen, Kemal Atratruk, Nehru, Soekarno, dan Nasser.

Sesudah nasionalis mencapai tujuannya, yaitu negara bersatu dan merdeka serta tidak perlu terancam lagi, tidak jarang nasionalisme menjadi melemah, berubah bentuknya. Kadang-kadang daya yang menimbulkan nasionalisme berhasil juga diubah untuk mewujudkan negara yang demokratis dan maju. Dalam kenyataannya bahwa nasionalisme sejak lahir pada abad 18, telah berkembang cepat ke seluruh Eropa sepanjang abad ke 19, dan dalam abad ke-20 menjadi suatu gerakan sedunia, yang bersifat universal. Akan tetapi, kata nasionalisme memiliki arti positif hanya di Amerika Latin, Afrika, Timur-Tengah, dan Asia sebagai kata yang menyarankan pembebasan dari tekanan kolonial. Sebaliknya, di Barat kata nasionalisme jarang dipergunakan untuk menggambarkan masyarakat barat sendiri. Mereka lebih cocok dengan istilah patriotist karena nasionalisme secara umum di bayangkan sebagai sesuatu yang jelek dan patriotisme sebagai sesuatu yang baik. Orang Amerika yang baik disebut patriotis dan bukan nasionalis. Hal ini dapat dipahami mengingat bagi negara-negara penjajah rasa nasionalisme dianggap gangguan, tetapi di lihat dari kacamata negara-negara yang dijajah nasionalisme dijadikan modal untuk dapat mengusir penjajah.


3. Nasionalisme Indonesia

Nasionalisme bagi bangsa Indonesia merupakan suatu faham yang menyatukan pelbagai suku bangsa dan pelbagai keturunan bangsa asing dalam wadah kesatuan negara Republik Indonesia. Dalam konsep ini berarti tinjauannya bersifat formal, yaitu kesatuan dalam arti kesatuan rakyat yang menjadi warga negara Indonesia, yang disebut dengan nasionalisme Indonesia. Karena rakyat Indonesia ber-Pancasila, nasionalisme Indonesia disebut juga dengan nasionalisme Pancasila, yaitu faham kebangsaan yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila (Noor Ms Bakry, 1994: 173). Untuk memahami pengertian nasionalisme Indonesia, Noor Ms. Bakry (1994: 109) secara sistemik menjelaskan dengan mengacu pada sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Istilah persatuan berasal dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah belah. Persatuan berarti sifat-sifat dan keadaan yang sesuai dengan hakikat satu. Dalam hal itu, terkandung pengertian disatukannya bermacam-macam bentuk menjadi satu kebulatan atau dengan kata lain diartikan juga usaha untuk menjadikan keseluruhan ke arah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dari dua pengertian itu dapat dikatakan bahwa persatuan adalah proses ke arah bersatu.

Di dalam persatuan ini harus ada sesuatu hal sebagai ciri pembeda yang dapat menghimpun bermacam-macam hal menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, di dalam persatuan sepak bola, sesuatu hal yang dapat menghimpunnya adalah keahlian dalam hal bermain bola. Karena adanya keahlian inilah, mereka yang dari bermacam-macam anggota dapat dihimpun menjadi satu kesatuan yang erat hubungannya antara yang satu dan yang lain. Demikian pula dalam hal kenegaraan. Yang dapat menghimpunnya menjadi satu kesatuan adalah adanya keinginan hidup bersama dalam satu negara. Persatuan merupakan suatu proses atau usaha, sedangkan tujuannya adalah kesatuan. Sila persatuan ini sering disebut juga dengan kebangsaan sebagaimana termuat dalam Mukadimah Konstitusi RIS 1949 maupun Mukadimah UUDS 1950. Dua istilah ini berbeda walaupun dengan inti yang sama. Istilah kebangsaan jika dianalisis mempunyai dua pengertian, yaitu kebangsaan alami dan kebangsaan negara. Kebangsaan alami ialah rasa solidaritas atau rasa kesatuan atas dasar persamaan darah dan kesatuan asal turunan. Kebangsaan negara ialah rasa solidaritas atau rasa kesatuan atas dasar cita-cita bersama yang mendorong untuk hidup bersama dalam satu negara.

Konsep kebangsaan apabila di bawa ke masalah kenegaraan bukanlah kebangsaan atas dasar asal keturunan, yaitu kebangsaan yang didasarkan atas sejarah yang sama, nasib yang sama, dan kehendak yang sama karena hal yang demikian ini tidak dapat diterapkan dalam negara-negara sekarang. Negara-negara sekarang memasukkan juga kelompok manusia lain yang tidak sama sejarahnya dan tidak sama nasibnya. Sebagai contoh, rakyat Timor-Timur tidak sama sejarah dan sama nasibnya, tetapi mereka pernah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebangsaan hanya diartikan sebagai mempunyai cita-cita yang sama untuk menjadi satu kesatuan sebagai warga negara. Kesatuan dalam satu negara ini tidak terjadi secara alami, tetapi satu kesatuan yang dibentuk. Jadi, kebangsaannya secara buatan atau kebangsaan negara yang lebih populer dengan sebutan istilah nasionalisme, untuk membedakan kebangsaan secara alami. Nasionalisme inilah yang dituju oleh persatuan. Jadi, persatuan merupakan proses, sedangkan tujuannya adalah nasionalisme (kesatuan dalam negara).

Bagaimana nasionalisme Indonesia? Noor M Bakry menjelaskan bahwa istilah Indonesia ditinjau secara politis dapat diartikan sebagai bangsa Indonesia dan dapat juga diartikan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia juga memiliki dua makna, yaitu bangsa alami dan bangsa dalam pengertian negara. Bangsa alami ialah sekelompok manusia yang bertabiat sama dan berketurunan sama yang berasal dari wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia dalam makna negara ialah sekelompok manusia yang mempunyai cita-cita hidup bersama dalam satu ikatan politis kenegaraan Indonesia. Rakyat Indonesia ialah sekelompok manusia yang menjadi warga negara Indonesia dan ada pertautan hukum yang berlaku di Indonesia, baik yang berdiam di dalam maupun luar negeri. Jadi, hal itu ditinjau secara formal atas dasar kewarganegaraan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan antara bangsa Indonesia dengan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia dalam pengertian umum belum tentu rakyat Indonesia, sebagaimana orang-orang Maluku yang berdiam di negara Belanda, bagaimana pun mereka tetap bangsa Indonesia yang lambat laun berdasarkan kelamaan waktu kemungkinan keturunannya tidak memakai istilah bangsa Indonesia, tetapi keturunan Indonesia, yaitu keturunan bangsa yang berasal dari Indonesia. Contoh lain, orang-orang Jawa yang berada di Suriname disebut juga keturunan Indonesia, tetapi bukan rakyat Indonesia. Demikian juga rakyat Indonesia belum tentu bangsa Indonesia, sebagaimana warga negara Indonesia keturunan asing, misalnya orang-orang Cina yang menjadi warga negara Indonesia, mereka bukan bangsa Indonesia asli, tetapi bangsa Cina yang menjadi rakyat Indonesia.

Selanjutnya yang dimaksud dengan kata Indonesia dalam rumusan Persatuan Indonesia adalah arti politik karena yang menyesuaikan dengan hakikat satu atau yang dapat menjadikan dirinya ke arah satu kesatuan adalah manusia, yaitu rakyat Indonesia. Dengan demikian, dapat dirumuskan secara jelas bahwa persatuan rakyat Indonesia ialah persatuan sekelompok manusia yang menjadi warga negara Indonesia. Kelompok rakyat Indonesia, baik yang berkebangsaan Indonesia asli maupun yang keturunan asing, dengan adanya perjalanan waktu, dapat juga mempunyai cita-cita yang sama, sehingga akhirnya membentuk suatu kesatuan karena kesatuan dalam satu negara merupakan dasar negara Indonesia. Jadi, nasionalisme Indonesia berarti rasa kesatuan yang tumbuh dalam hati sekelompok manusia berdasarkan cita-cita yang sama dalam satu ikatan organisasi kenegaraan Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa nasionalisme Indonesia adalah kebangsaan Indonesia yang dibentuk, bukan secara alami. Persatuan Indonesia dalam Pancasila dapat diuraikan secara singkat sebagai usaha ke arah bersatu dalam kebulatan satu kesatuan rakyat untuk membina nasionalisme dalam negara. Persatuan Indonesia adalah proses untuk menuju terwujudnya nasionalisme Indonesia.
H. Partisipasi dalam Pembelaan Negara

Bila belajar dari sejarah, kita sering mendapatkan fakta yang di luar dugaan. Tidak seorang pun menyangka super-power Uni Soviet yang demikian perkasa, memiliki senjata super canggih yang ditakuti dunia, tiba-tiba ambruk sebagai suatu negara dan hancur berantakan menjadi 15 negara merdeka. Tidak seorang pun menduga Yugoslavia bubar dan pecah menjadi 6 (enam) negara merdeka. Demikian pula, tidak seorang pun mengira negeri sekecil Cekoslovakia cerai berai menjadi dua (dua) negara merdeka, yaitu Ceko dan Slovakia. Sebagai negara yang berasal dari kumpulan etnis, kemampuan bertahan dalam satu bangsa rata-rata cuma selama 70 tahun. Bangsa Indonesia merupakan negara yang memiliki kumpulan suku paling heterogen sedunia. Memiliki sekitar 300 suku, 300 bahasa daerah, punya pulau sekitar 17.508 pulau. Jika sedikit salah urus, Indonesia akan pecah berkeping-keping. Tentunya hal ini tidak kita kehendaki. Untuk itu perlu adanya usaha yang serius dan sungguh-sungguh dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Usaha untuk menyelamatkan bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan bagian dari hak dan kewajiban seluruh masyarakat Indonesia yang dikenal dengan istilah bela negara.


1. Pengertian Bela negara

UU nomor 20 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan Keamanan negara RI dalam Bab I Pasal 1 Ayat (2) mengatakan bahwa bela negara adalah tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa, dan bernegara Indonesia serta keyakinan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara dan kerelaan untuk berkorban guna meniadakan setiap ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan dan persatuan bangsa, keutuhan wilayah dan yuridiksi nasional, serta nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian bela negara ini mengandung arti bahwa ada empat hal esensial yang harus dibela, yaitu (i) kemerdekaan dan kedaulatan negara, (ii) kesatuan dan persatuan bangsa, (iii) keutuhan wilayah dan yuridiksi nasional, dan (iv) nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

UU RI nomor 56 tahun1999 tentang Rakyat Terlatih mengatakan bahwa bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sikap dan tindakan warga negara yang dimaksud di atas mengandung butir-butir menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesi dan kemampuan masing-masing. Kecintaan terhadap tanah air Indonesia mengandung butir-butir (i) sadar berbangsa dan bernegara Indonesia, (ii) kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara, (iii) memahami akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang hidup dalam kebhinekaan yang berkesatuan. Menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara mengandung butir-butir (i) mengenal segala ancaman baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri, (ii) menjamin kelangsungan identitas (ciri kehidupan nusantara yang berpancasila) dan integritas (persatuan dan kesatuan) bangsa, (iii) terselenggaranya perkembangan kehidupan/kesejahteraan seluruh rakyat, bernuansa proaktif, aktif dan responsive serta (iv) menjamin tetap tegaknya NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Bela negara merupakan upaya penyadaran bahwa setiap warga negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membela kepentingan nasional demi tetap menjaga keutuhan negara. Sebagai upaya penyadaran maka cara indoktrinasi penyampaian materi merupakan cara yang tidak benar. Persoalan bela negara perlu dikaji secara sistematis, metodis, dan obyektif agar masyarakat dapat menerima dengan sepenuh hati. Bela negara tidak harus diartikan semangat buta untuk memperjuangkan kepentingan negara, tetapi dengan pemikiran yang jernih dan pertimbangan rasional yang matang untuk membela negara dalam rangka mencapai tujuan negara.


2. Peraturan Perundang-Undangan RI tentang Hak dan Kewajiban Bela negara

a. UUD 1945

UUD 1945 hanya memuat dua pasal mengenai angkatan perang dan pembelaan negara. Pasal 10 menetapkan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Pasal 30 menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Syarat tentang pembelaan negara diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud dengan warga negara, ialah orang-orang Indonesia baik asli maupun keturunan yang tunduk pada hukum dasar Indonesia dan hukum-hukum lain yang mengikutinya, baik tinggal di wilayah NKRI, maupun yang berada di luar wilayah Indonesia. Dengan demikian, yang berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara itu, tidak hanya terbatas pada kalangan angkatan bersenjata melainkan seluruh warga negara, baik pedagang, petani, pegawai karyawan perusahaan, abang becak, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar semua wajib ikut membela negara.


b. UUD 1945 Setelah Amandemen

  1. Pasal 27 ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

  2. Pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam uasaha pertahanan dan keamanan negara.

  3. Pasal 30 ayat 2 menyatakan bahwa usaha pertahanan dan keamanan dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara) dan Polri sebagai kekuatan utama serta rakyat sebagai pendukung.

  4. Pasal 30 ayat 3 menyatakan bahwa TNI terdiri dari angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

  5. Pasal 30 ayat 4 menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan bertugas melindungi, mengayomo, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

  6. Pasal 30 ayat 5 menyatakan bahwa Susunan Kedudukan TNI, Kepolisian negara RI, hubungan kewenangan TNI dan Kepolisian negara RI didalam menjalankan tugas, syarat-syarat keikutsertan warga negara didalam usaha pertahanan dan keamanan serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan kemanan negara diatur dengan undang-undang.


c. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 68 menyatakan bahwa setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


d. Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan negara

  1. Pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

  2. Pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa keikutsertaan warga negara upaya bela negara, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, diselenggarakan melalui

    1. pendidikan kewarganegaraan,

    2. pelatihan dasar kemiliteran wajib,

    3. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib, serta

    4. pengabdian sesuai profesi.

  3. Pasal 9 ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi di atur dengan undang-undang.

  4. Pasal 2 menyatakan bahwa hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.

  5. Pasal 4 menyatakan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.

Dari peraturan perundangan-undangan tentang hak dan kewjiban bela negara sebagaimana terurai di atas dapat ditarik intisari bahwa bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Rebulik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jwab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Warga negara dapat mengambil peran dalam hal melakukan usaha bela negara sesuai dengan profesinya masing-masing. Usaha pembelaan negara sesungguhnya sudah menyatu dalam budaya dan sepanjang keberadaan bangsa Indonesia. Sebagai bukti, perlawanan terhadap penjajah dilakukan rakyat Indonesia sejak pertama kali datangnya penjajah di bumi Nusantara ini, seperti Perang Bali (1814-1849), Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Batak (1870-1907), dan Perang Aceh (1870-1904). Hal itu dibuktikan oleh adanya perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda pada masa revolusi fisik. Semua orang yang masih kuat, para pemuda serta pemudi, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta, para petani dan pedagang, bahkan tuna karya semua terjun dalam kancah perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Ada yang berjuang di garis depan, ada yang bekerja di dapur umum, para petani menyediakan beras dan lauk pauknya, penduduk menyediakan rumah-rumah untuk pejuang. Para pedagang menyediakan barang-barang untuk kebutuhan prajurit. Tidak jarang mereka juga mengusahakan persenjataan untuk kepentingan perlawanan, yang semuanya dilakukan atas dasar kesadaran tanpa pamrih, tanpa memikirkan balas jasa dan kedudukan. Bela negara bukanlah semata-mata kita semua harus menyandang senjata, melainkan mempunyai arti luas, yaitu pembelaan dalam segala segi kehidupan, baik perekonomian, politik, ideologi, sosial budaya dan kemiliteran.
3. Sikap Apabila ada pihak yang ingin menghancurkan negara

a. Paham Bangsa Indonesia terhadap Perang

Berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945 baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam pembukaannya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang cintai damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia ingin hidup bersahabat dengan semua bangsa di dunia dan tidak menghendaki peperangan. Bangsa Indonesia memahami sepenuhnya bahwa penggunaan kekerasan senjata dalam usaha menyelesaikan persengketaan akan menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia, baik bagi si pemenang, apalagi yang kalah. Oleh sebab itu, dalam usaha memelihara perdamaian dunia serta mewujudkan aspirasi dan cita-cita kemerdekaannya, bangsa Indonesia ingin menyelesaikan setiap persengketaan secara damai, atas dasar saling menghormati dan saling pengertian akan martabat kemerdekaan dan kedaulatan masing-masing. Bagi bangsa Indonesia perang merupakan jalan terakhir yang terpaksa ditempuh, setelah sejauh mungkin ditempuh jalan damai, dalam usaha mempertahankan falsafah Pancasila, kemerdekaan dan kedaulatan negara serta keutuhan martabat bangsa Indonesia.


b.Perlunya setiap Negara Memiliki Angkatan Perang

Mengapa setiap bangsa perlu membentuk angkatan perang (Angkatan Bersenjata)? Sejarah menunjukkan bahwa apabila negara ingin damai, negara itu harus mempersiapkan diri untuk perang. Apabila suatu negara hanya memperhatikan kesejahteraan saja tetapi mengabaikan kepentingan pertahanan keamanannya, negara tersebut mudah ditekan atau dikalahkan oleh suatu negara kecil lainnya, yang sudah siap mengadakan perang. Kesiapan untuk berperang dapat merupakan faktor pencegah terhadap usaha perang dari musuh, yang berkeinginan untuk menyerang suatu negara. Berakhirnya perang dingin telah mengubah secara dramatis kondisi lingkungan strategis regional dan global. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai kecenderungan baru di berbagai belahan dunia, termasuk dikawasan Asia Pasifik. Salah satu wujud perubahan tersebut adalah terjadinya pergeseran pertimbangan kekuatan berbagai kawasan di dunia yang dipacu oleh meningkatnya perlombaan persenjataan serta melemahnya beberapa kekuatan negara sebagai akibat dari arus globalisasi.

Salah satu karekteristik penting yang menyertai perubahan tersebut adalah bahwa berakhirnya perang dingin ternyata tidak serta merta diikuti oleh berakhirnya ancaman bersenjata terhadap negara-negara di dunia. Walaupun dalam skala yang kecil, di berbagai kawasan dunia perang terus terjadi, dan bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Dengan demikian, mudah dipahami jika mayoritas negara-negara di kawasan ini terus berusaha untuk memiliki kekuatan militer yang tangguh. Dalam pandangan negara-negara tersebut, memiliki kekuatan militer yang tangguh merupakan hal yang esensial karena kekuatan militer sampai saat ini masih tetap merupakan faktor penting dalam hubungan internasional. Mereka tetap percaya bahwa kekuatan militer masih terus menjadi salah satu faktor penting dalam usaha perwujudan kepentingan nasional mereka di dunia. Realisasi politik internasional menunjukkan bahwa ancaman kekuatan militer hanya dapat diselesaikan dengan cepat melalui kekuatan militer pula. Akibatnya, berbagai belahan dunia perlombaan senjata juga terus berlangsung, termasuk di kawasan Asia Pasifik.

Keseluruhan kecenderungan tersebut, langsung maupun tidak langsung, pasti akan dan telah mentransformasikan lingkungan strategis Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Keamanan masa depan Indonesia, sebagaimana kesejahteraan ekonomi, akan sangat ditentukan oleh kondisi strategis kawasan Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik adalah kawasan yang paling dinamis, secara ekonomi maupun strategis. Dalam dua atau tiga dekade ke depan diperkirakan kawasan ini akan mengalami perubahan strategis yang esensial. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan perlombaan senjata yang paling intens dan memiliki potensi konflik yang terbesar di dunia. Misalnya, konflik antara Korea Utara dengan Korea Selatan, RRC dengan Taiwan, konflik beberapa negara di kepulauan Sprately, India dan Pakistan, dan sebagainya. Cukup masuk akal jika banyak yang berpendapat bahwa berakhirnya perang dingin ternyata telah menimbulkan ketidakmenentuan baru dikawasan ini.

Dalam keadaan tidak menentu tersebut, untuk menjaga keamanan Indonesia diperlukan antisipasi yang memadai. Dalam hal ini, di samping hubungan ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan negara-negara di kawasan, kemampuan militer yang efektif tetap penting bagi keamanan Indonesia. Sebagaimana di sebut dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satu bentuk kongkritisasi upaya tersebut adalah jaminan bahwa pemerintah harus dapat mencegah atau menghancurkan setiap ancaman militer terhadap Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus memiliki kekuatan militer yang memadai serta kebijaksanaan yang mendukung usaha pertahanan dan keamanan tersebut. Untuk memiliki kekuatan yang tangguh sesuai dengan tuntutan lingkungan strategis, Indonesia harus memiliki dan memahami gambaran yang jelas, obyektif, dan komprehensif mengenai peta kekuatan militer negara-negara Asia Pasifik beserta kecenderungannya pascaperang dingin. Gambaran tersebut selanjutnya dapat menjadi bahan acuan untuk merumuskan kebijaksanaan pertahanan dan keamanan nasional Indonesia di masa yang akan datang.
c. Sejarah Singkat Pembentukan Angkatan Perang RI

Pada Sidang PPKI ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi keputusan ini kemudian diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agustus 1945. Dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk menunjukkan politik damai Republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang parang. BKR bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR tumbuh secara spontan di daerah-daerah didorong oleh panggilan jiwa para pemuda, banyak di antaranya bekas Peta, Heiho, KNIL dan lain-lain. Mereka terdorong untuk mengabdi dan berbakti pada bangsa dan negara yang kedaulatannya mengahadapi ancaman pihak penjajah. BKR mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri serta disusun secara kedaerahan dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah.

Pada tanggal 5 Oktober dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan bahwa untuk memperkuat peranan keamanan umum, diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumohardjo diserahi tugas untuk membentuknya dan diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang lebih luas. Selanjutnya dalam rangka menjadikan Tentara Keselamatan Rakyat sebagai alat negara yang patuh kepada pemerintah, pada tanggal 25 Januari 1946 dikeluarkanlah maklumat yang mengubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.

Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah Panglima Besar dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkan Dekrit Presiden agar dalam waktu sesingkat-singkatnya mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Selanjutnya pada tanggal 17 Juni 1947 dikeluarkan Penetapan Presiden yang antara lain menetapkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia( TNI). Dalam hal ini TNI ini tergabung TRI, kesatuan-kesatuan dan Biro Perjuangan serta pasukan-pasukan bersenjata.




BAB III

PERSAMAAN KEDUDUKAN WARGA NEGARA

DALAM BERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN

Standar Kompetensi:

Menganalisis dan menunjukkan sikap positif terhadap persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai bidang kehidupan.


Kompetensi Dasar:

  1. Mendeskripsikan hakikat warga negara dan pewarganegaraan di Indonesia.

  2. Menganalisis persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara.

  3. Menerapkan prinsip persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai bidang kehidupan.
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət