Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə17/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   13   14   15   16   17   18   19   20   ...   30


Sebaiknya Anda Tahu


Prinsip-Prinsip Pemerintahan yang Baik

United Nations Development Program mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah sebagai berikut.

  1. Partisipasi

Setiap warga negara punya hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

  1. Penegakan hukum

Hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.

  1. Trasparansi

Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi dan harus dapat juga diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya. Informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat pengawasan.

  1. Bersikap Melayani

Setiap instansi harus beusaha sebagai pelayan publik yang baik.

  1. Konsensus

Pemerintah harus bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak.

  1. Berkeadilan

Memberikan kesempatan yang sama baik kepada semua orang untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

  1. Efektif dan Efisien

Semua instansi pemerintah harus menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dengan memanfaatkan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia.

  1. Akuntabel

Para pengambil kebijakan publik harus bertanggung jawab atas keputusannya kepada publik. Penggunaan dana sekecil apapun harus dapat dipertanggung jawabkan pada publik.

  1. Memiliki Visi Strategis

Para pemimpin publik harus memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Mereka harus paham aspek sejarah, budaya, kemajemukan, dan sebagainya.

  1. Bersifat Sistemik

Keseluruhan komponen atau unsur dalam pemerintahan harus saling memperkuat dan saling terkait; tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat parstisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif.
1. Sistem Pemerintahan Indonesia Periode 18 Agustus 1945 sd 27 Desember 1949

Dasar hukum sistem pemerintahan pada periode itu adalah UUD 1945, tetapi belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen karena bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 telah diberlakukan, yang dapat dibentuk baru presiden, wakil presiden, serta menteri, dan para gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Jadi, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan kerena pemilihan umum belum diselenggarakan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945 belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut di atas. Jadi sebelum MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA terbentuk segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional. Hanya saja waktu itu aparat pemerintah penuh dengan jiwa pengabdian.

Pada 5 Oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat. Sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi, yaitu seorang tokoh tentara Pembela Tanah air. Karena Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Blitar, diadakan musyawarah TKR yang dihadiri oleh para Panglima Divisi dan Residen yang pada akhirnya terpilihlah Soedirman menjadi Panglima Besar. Beliau dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945 dan pada tanggal 3 Juni 1947, TKR resmi menjadi TNI.

Dalam Konggres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut Maklumat X (baca eks). Sejak keluarnya maklumat ini KNIP diberi wewenang untuk turut membuat UU dan menetapkan GBHN. Jadi, KNIP memegang sebagaian kekuasaan MPR, di samping memiliki juga kekuasaan atas DPA dan DPR. Selanjutnya dikeluarkan lagi Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yakni dilaksanakan Sistem Pemerintahan Parlementer dan dibentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri. Kabinet bertanggung jawab pada KNIP sebagai pengganti MPR/DPR.

Sejak saat itulah, sistem presidensial beralih menjadi sistem parlementer walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama system ini berjalan, sampai dengan 27 Desember 1949, UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Oleh karena itu, sebagian orang berpendapat bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan ini melanggar UUD 1945. Pada tanggal 3 November 1945, dikeluarkan maklumat pemerintah tentang keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem multi partai.
2. Sistem Pemerintahan Indonesia pada Saat Konstitusi RIS

Sejak 27 Desember 1949 sampai 17 aguastus 1950 berlaku Konstitusi RIS. Pada periode ini, Indonesia menjadi negara serikat. Sebenarnya bukan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk memakai bentuk negara serikat ini. Hal itu terjadi karena keadaan yang memaksa demikian. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Dalam Konstitusi RIS dikenal adanya senat. Senat tersebut mewakili negara-negara bagian dan setiap negara bagian diwakili 2 orang anggota senat. Sistem pemerintahan yang dianut Konstitusi RIS ialah sistem Kabinet Parlementer Semu (Quasi Parlementer) dengan ciri-ciri sebagai berikut.



  1. Perdana menteri diangkat oleh presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.

  2. Kekuasaan perdana menteri masih dikendalikan oleh presiden.

  3. Kabinet dibentuk oleh presiden bukan oleh parlemen.

  4. Pertanggungjawaban kabinet pada parlemen.

  5. Parlemen tidak dapat menggunakan mosi tidak percaya kepada kabinet.

  6. Presiden RIS menduduki jabatan rangkap sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.


3. Sistem Pemerintahan Saat Demokrasi Parlementer (UUDS 1950)

Pada masa itu, digunakan sistem demokrasi parlementer atau demokrasi liberal secara penuh. Artinya, berlaku bukan hanya dalam praktik tetapi juga diberi landasan konstitusionalnya. Menurut Wilopo, sejak berlakunya UUDS 1950, yakni 17 Agustus 1950, sistem demokrasi parlementer dengan sistem pemerintahan parlementer berlaku dari tahun 1950–1959. Demokrasi liberal yang berkembang ketika itu ditandai dengan pemerintahan oleh partai-partai politik.

Pendapat lain dikemukakan Nugroho Notosoesanto yang menyatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan, tanpa perubahan UUD, demokrasi liberal sebenarnya sudah dimulai sejak awal kemerdekaan yang didahului Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Sebelum maklumat tersebut, kabinet yang pertama kali kita miliki adalah sistem pemerintahan presidensial (19 Agustus–14 November 1945) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Setelah itu sistem pemerintahan parlementer yang dikembangkan. Perdana Menteri yang pertama adalah Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia (14 November 1945–27 Juni 1947). Alasan Sjahrir dengan memberlakukan sistem parlementer untuk menghilangkan kesan presiden bertindak diktator, tidak demokratis, dan menjadi boneka Jepang.

Sjahrir kemudian digulingkan oleh Amir Sjarifuddin, yang juga berhaluan kiri. Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II berusia tidak lama (3 Juli 1947–29 Januari 1948). Di bawah Amir Sjarifuddin, wilayah RI makin menyempit dan dikelilingi oleh daerah pendudukan Belanda, sebagai akibat Perjanjian Renville. Mohammad Hatta sebagai penggantinya (29 Januari–20 Desember 1949) melakukan pembersihan terhadap sayap kiri (aliran komunis) karena sayap kiri ternyata telah “terbeli” oleh Belanda.

Setelah ini tercatat ada 6 kabinet dengan sistem parlementer. Yang mengawali Natsir dari Masyumi dengan program penyelenggaraan pemilu dan penyelesaian Irian Barat. Dua program ini juga yang mewarnai program kabinet berikutnya. Dalam periode ini pertama kali terlaksananya pemilu sejak Indonesia merdeka. Itu terjadi pada tahun 1955, saat terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap.

Pemilu pertama 29 September 1955 dikuti oleh 118 kontestan, yang memperebutkan 272 kursi DPR. Warga negara juga berbondong-bondong untuk memberikan suara dalam pemilu untuk memilih anggota Konstituante (badan pembentuk UUD) pada 15 Desember 1955. Pemilu tahun 1955 di kenal dalam sejarah di Indonesia sebagai pemilu yang paling demokratis karena kompetisi antara partai berjalan sangat intensif. Kampanye dilakukan penuh tanggung jawab dan setiap pemilih memberikan hak pilihnya secara bebas tanpa rasa takut atau adanya tekanan. Undang-undang Pemilu No. 7 Tahun 1953 tidak memberikan peluang Panitia Pemilih Indonesia untuk mengatur lebih lanjut. Dengan demikian, pemilu berjalan sangat kompetitif dan menghasilkan pemerintahan demokratis, sekalipun tidak menghasilkan partai politik yang kuat yang mampu membentuk eksekutif. Meskipun pada sistem pemerintahan parlementer atau demokrasi parlementer dikenal gagal, demokrasi di Indonesia dinyatakan mengalami kejayaan pada masa ini. Hampir semua elemen atau unsur demokrasi dapat ditemukan perwujudannya dalam kehidupan politik Indonesia. Elemen atau unsur demokrasi itu terwujud dalam bentuk sebagai berikut.



  1. Parlemen memainkan peranan sangat tinggi dalam proses politik. Hal ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.

  2. Pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemegang jabatan dan politisi sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan jatuhnya kabinet dalam periode ini sebagai contoh konkrit akuntabilitas.

  3. Pemilu 1955 dilaksanakan sangat demokratis.

Mengapa demokrasi parlementer tidak dapat diperta-hankan? Demokrasi parlementer tidak berumur panjang, yaitu antara 1950–1959; ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Pendapat tentang faktor penyebab demokrasi parlementer tidak dapat dipertahankan banyak dilontarkan yang di antaranya ialah sebagai berikut. Pertama, faktor dominannya politik aliran; yaitu politik berdasarkan pemilahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas, dan kedaerahan. Herbert Feith dan Lance Castles menggambarkan kepartaian di Indonesia pascakemerdekaan dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu Islam, Jawa Tradisional, Sosialis Demokrasi, Nasionalis Radikal, dan Komunis. Pemilahan itu sangat tajam, sehingga menyulitkan dalam mengelola konflik. Koalisi tidak mudah terbentuk karena harus memenuhi syarat adanya kedekatan ideologi dan kompatibilitas antara pemimpin partai. Kedua, faktor basis sosial–ekonomi yang sangat lemah. Ketiga, faktor struktur sosial yang masih sangat hierarkhis, yang bersumber pada nilai-nilai feodal. Hal ini terlihat kehadiran elit pemecah masalah (problem solver) yang mendominasi sistem pemerintahan parlementer belum sepenuhnya diterima. Ada kecenderungan elit pembentuk solidaritas (solidarity makers) seperti Presiden Soekarno yang pada awal kemerdekaan sangat dominan merasa tersingkir karena posisi hanya sebatas sebagai kepala negara tidak dapat menentukan kebijakan strategis. Begitu pula kepentingan politik dari kalangan Angkatan Darat tidak memperoleh tempat yang sewajarnya.
4. Pelaksananaan Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin tampak merupakan alat untuk mengatasi pertentangan parlementer di antara partai-partai politik ketika berlaku demokrasi liberal. Cara yang dilakukan adalah dengan memberlakukan kembali UUD 1945. UUD 1945 dikenal cenderung menganut sistem campuran atau sering disebut juga sebagai sistem quasi presidentil. Alasannya, karena sistem presidensial juga memasukkan unsur parlementer, yakni berupa pertanggungjawaban presiden kepada MPR; tidak langsung kepada rakyat sebagaimana umumnya pada sistem presidensial.

Bagi Soekarno, demokrasi parlementer dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Soekarno juga menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dalam masyarakat Indonesia. Sebagai presiden Soekarno membentuk kabinet yang erdana menterinya adalah presiden sendiri. Soekarno kemudian juga membentuk DPR–GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Bagaimana hubungan presiden dengan DPR–GR? Meskipun DPR–GR periode demokrasi terpimpin telah berhasil menghasilkan 124 produk undang-undang dan pernyataan pendapat namun kedudukannya tetap lemah. Alasannya adalah sebagai berikut. Pertama, anggota DPR–GR dipilih dan ditunjuk Soekarno dari mereka yang dipercaya loyal kepadanya. Kedua, Presiden Soekarno masih suka membuat Penpres, suatu produk peraturan yang sederajat dengan undang-undang. Dengan perkataan lain telah terjadi pergeseran hubungan parlemen dengan pemerintah. Jika pada berlakunya demokrasi liberal parlemen menekan pemerintah, ketika demokrasi terpimpin parlemen memberikan kelonggaran begitu besar bagi pemerintah. Pada masa pemerintahan Soekarno ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Soekarno mengemukakan demokrasi terpimpin sebagai demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki liberalisme dan tanpa otokrasi diktator.

Demokrasi kekeluargaan yang dimaksud oleh Soekarno adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral di tangan seorang ‘sesepuh’, seorang tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Yang dimaksud dengan tema-tema ‘sesepuh’ atau ‘tetua’ pada waktu itu tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia.

Seperti telah disinggung di atas, di bawah demokrasi terpimpin yang kekuasaannya terhimpun pada Soekarno, ada dua kekuatan lain, yaitu Angkatan Darat dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Gambaran hubungan antara ketiganya dapat dikemukakan sebagai berikut. Soekarno dibutuhkan oleh PKI untuk menjadi pelindung melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk memberi legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik. Soekarno sendiri membutuhkan PKI dan Angkatan Darat. Angkatan Darat dibutuhkan untuk dihadapkan dengan PKI untuk menghambat agar tidak menjadi terlalu kuat. PKI dibutuhkan untuk menggerakkan dukungan rakyat dan mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidato Soekarno.

Dalam pola hubungan yang demikian, Soekarno menjadi penyeimbang antara PKI dan Angkatan Darat. Atau semacam pola hubungan “tarik tambang”. Pola hubungan itu dapat dilihat seperti yang dipaparankan oleh ahli politik Afan Gaffar (2002) berikut ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara Angkatan Darat dan Presiden Soekarno adalah menyangkut hubungan dengan PKI dan hal itu sesungguhnya bersifat ideologis. Angkatan Darat yang sangat banyak dipengaruhi oleh Hatta dan sejumlah partai Masyumi memiliki posisi antikomunis yang sangat kental, sementara Soekarno dapat menerima komunis karena ia menganggapnya bukan sebagai ancaman. Tambahan pula, Soekarno sangat membutuhkan kaum komunis agar agenda politiknya dapat diwujudkan. Sementara itu, Soekarno tidak memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan Angkatan Darat dibandingkan dengan Angkatan Udara. Oleh karena itu, Soekarno tidak pernah merasa aman terhadap Angkatan Darat.

Peristiwa G–30 S/PKI tahun 1965 mengubah perjalanan politik bangsa Indonesia dan menyingkirkan Soekarno dari puncak kekuasaan, kemudian mengantar Soeharto menjadi seseorang yang sangat berkuasa dengan memanfaatkan secara maksimal UUD 1945 untuk kepentingan politiknya selama 32 tahun.
5. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan dalam Pemerintahan Orde Baru

Dari 1.000 orang anggota MPR pada rekruitmen tahun 1997, sebanyak 575 orang yang berasal dari partai politik, utusan daerah, dan golongan diangkat oleh presiden. Rekruitmen untuk ketua MA (Mahkamah Agung), misalnya DPR mengajukan dua calon. Calon yang diajukan terlebih dulu mendapat isyarat persetujuan presiden dan kemudian salah satu orang dari calon tersebut diangkat oleh presiden. Demikian pula, untuk jabatan wakil ketua MA dan sejumlah Hakim Agung. Hal yang sama terjadi pula pada rekruitmen pimpinan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Begitu pula dengan rekruitmen di luar lembaga negara/pemerintah, seperti partai politik. Ketua partai politik direkrut atas dasar prinsip akomodatif. Artinya, mereka yang menunjukkan sikap kritis apalagi menentang pemerintah tidak akan dapat memimpin partai politik.

Dalam hal APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja negara) presiden sangat menentukan. Dalam hal ini DPR tidak mampu mengubah secara substantif apapun yang diajukan oleh Presiden. Anggaran tersebut kemudian didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk DIP (Daftar Isian Proyek), inpres, dan banpres. Mekanisme anggaran seperti ini merupakan proses distribusi kekayaan negara yang membawa implikasi mobilisasi politik bagi kepentingan dukungan terhadap Presiden. Hal tersebut masih ditambah dengan atribut yang sifatnya personal yang disandang oleh presiden, seperti pengemban supersemar, mandataris MPR, dan bapak pembangunan. Dilihat dari pembagian kekuasaan sebagai alternatif pemisahan kekuasaan, tampak ketidakjelasan hubungan di antara lembaga tinggi negara. Misalnya, kalau MPR sebagai lembaga legislatif, seharusnya anggotanya tidak boleh merangkap sebagai pejabat eksekutif. Kenyataannya, sejumlah anggota MPR adalah para menteri, gubernur, dan pangdam. Artiya, mereka adalah pejabat eksekutif, bukan rakyat, sehingga makna perwakilan rakyat menjadi dipertanyakan.

Kemudian kalau kita memperhatikan birokrasi pemerintahan orde baru memiliki karakteristkik umum, yakni ketatnya hierarkhi dan legalistik. Coba kamu simak pendapat William Liddle (ahli politik tentang Indonesia dari Amerika Serikat) dalam memberikan gambaran karakteristik khusus tentang birokrasi era orde baru. Liddle menggambarkan sebagai berikut. Karakteristik khusus birokrasi Indonesia memiliki citra diri yang baik hati (benevolence). Dalam citra seperti ini, birokrasi di Indonesia mempunyai persepsi diri sebagai pelindung atau pengayom, pemurah, dan baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, mereka (birokrasi) juga mempunyai persepsi bahwa rakyat itu tidak tahu apa-apa alias bodoh dan oleh karena itu mereka (rakyat) masih perlu dididik. Karena birokrasi sudah benevolence, seharusnya rakyat harus patuh, taat, dan setia (obidience) kepada pemerintahnya. Pola hubungan yang bersifat benevolence–obidience inilah yang mewarnai secara dominan interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.

Untuk memperkuat pola hubungan yang bersifat baik hati dan kepatuhan dalam interaksi pemerintah dengan rakyat diterapkan kebijakan depolitisasi (rakyat dijauhkan dari pemahaman yang kritis dan dibatasi partisipasi dalam bidang politik). Kebijakan depolitisasi dilakukan dengan cara menerapkan konsep “massa mengambang” (floating mass). Konsep massa mengambang ini memudahkan kontrol pemerintah terhadap partai politik nonpemerintah dan memudahkan pemerintah mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri. Begitu pula memudahkan upaya pengebirian (emaskulasi) bagi partai politik. Pengebirian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian (regrouping) dari 10 partai politik dikelompokkan menjadi 3 partai politik (Golkar, PPP dan PDI). Kedua, dengan cara melakukan kontrol terhadap rekruitmen pimpinan utama partai politik, sehingga dihasilkan pimpinan partai politik yang akomodatif terhadap pemerintah.

Dengan perkataan lain interaksi pemerintah dengan rakyat yang bersifat baik hati dan kepatuhan, mengharuskan DPR, partai politik, organisasi massa, dan media pers harus menempatkan diri untuk menopang pemerintah. Anggota DPR yang vokal terhadap pemerintah dikenai recall. Partai politik yang mengembangkan sikap sebagai oposisi ditekan. Begitu pula pers yang kritis terhadap pemerintah dibredel. Pilar-pilar demokrasi seperti DPR, partai politik, dan media pers dalam kondisi sangat lemah. Namun angkatan bersenjata dalam kehidupan politik orde baru, terutama Angkatan Darat sebagai alat negara yang seharusnya memfokuskan diri pada fungsi pertahanan, justru memiliki peran politik sangat penting. Peranan politik sangat penting itu, terutama sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan politik Angkatan Darat terutama tampak melalui keterlibatannya di MPR, DPR, jabatan menteri, gubernur, dan bupati. Juga tampak melalui keterlibatannya dalam organisasi sosial dan politik, terutama di Golkar (Golongan Karya). Bahkan dari peranan politik kemudian merambah ke bidang ekonomi, olahraga, kesenian, dan bidang sosial kemasyarakatan yang lain. Peran dalam berbagai bidang tersebut dikenal sebagai “Dwi Fungsi ABRI”.

Dengan peran sebagai stabilisator dan dinamisator, militer tampak sebagai pembentuk suasana agar semua kebijakan pemerintah Orde Baru dapat diimplementasikan dengan baik. Kemudian yang dirasakan dalam pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Sehingga pemerintahan Orde Baru dikenal mengembangkan sistem politik otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun pemerintahan Orde Baru ketika itu menyebut dirinya mengembangkan demokrasi Pancasila.
6. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan pada Era Reformasi

Pelaksanaan sistem pemerintahan dan politik pada era reformasi merupakan transisi dari sistem politik otoriter ke demokrasi. Samuel Huntington mengajukan empat model transisi atau perubahan politik. Pertama, model transformasi yaitu demokratisasi datang dari atas (pemerintah). Transisi ini terjadi ketika negara kuat dan masyarakat sipil (civil society) lemah. negara yang mengalami transisi melalui model ini contohnya adalah Taiwan. Pemerintahan Kuomintang di Taiwan di awal 1990-an menyelenggarakan pemilu demokratis untuk menghadirkan demokrasi di negara tersebut. Kedua, model penggantian (transplacement) yaitu pemerintah menyerahkan kekuasaannya dan digantikan oleh kekuatan-kekuatan oposisi. Demokratisasi muncul dari bawah. Transisi model ini terjadi ketika negara lemah dan masyarakat sipil kuat. Contoh transisi model ini adalah di Filipina ketika Presiden Marcos dipaksa meninggalkan negerinya dan digantikan Corry Aquino. Ketiga, model campuran antara transformasi dan penggantian yang disebut transplasi. Transisi terjadi sebagai hasil negoisasi antara elit pemerintah dengan elit masyarakat sipil untuk melakukan perubahan politik kearah yang lebih demokratis. Transisi ini terjadi karena pemerintah masih kuat dan kekuatan-kekuatan oposisi tidak cukup kuat untuk menggulingkan penguasa yang ada. Contohnya adalah Polandia, di mana Serikat Buruh Solidaritas yang dipimpin Lech Walesa berunding dengan militer untuk mencapai demokrasi. Keempat, model intervensi. Transisi menurut model ini terjadi karena dipaksakan oleh kekuatan luar. Contohnya, adalah Panama, di mana tentara Amerika Serikat menahan presiden dari pemerintahan militer dengan tuduhan terlibat dalam perdagangan obat terlarang. Selanjutnya sebuah pemilu demokratis diselenggarakan untuk memilih pemerintahan baru.

Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto yang kuat tiba-tiba secara resmi menyatakan diri berhenti sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi Asia. Soeharto sebagai mandataris MPR, meletakkan jabatannya tanpa melalui pertanggungjawaban kepada MPR. Mundurnya Soeharto diawali oleh serentetan kerusuhan sosial sepekan sebelumnya dan gelombang demonstrasi mahasiswa yang memuncak dengan menduduki gedung MPR/DPR. Soeharto kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang menjabat wakil presiden. Habibie diambil sumpah sebagai presiden di Istana negara di hadapan Mahkamah Agung, dengan dihadiri oleh pimpinan MPR. Hal ini dikarenakan gedung DPR dan MPR diduduki oleh para pendemo khususnya mahasiswa yang menuntut Soeharto lengser. Hal ini sempat mengundang pro dan kontra mengenai sah tidaknya suksesi tersebut secara konstitusional. Ketetapan MPR No. 3 Tahun 1999 memperjelas bahwa BJ. Habibie dinyatakan telah menjabat Presiden sejak mengucapkan sumpah jabatan pada tanggal 21 Mei 1998. Namun melalui ketetapan tersebut juga BJ. Habibie ditolak pertanggungjawabannya, yang mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada 19 Oktober 1999 atau menjabat presiden selama kurun waktu 17 bulan (21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999).

Pada tanggal 20 Oktober 1999 BJ. Habibie kemudian digantikan oleh KH. Abdurrahman Wahid, sebagai presiden terpilih melalui Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Presiden Abdurrahman Wahid dipilih melalui proses pemungutan suara (voting). Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilih. Terpilihnya Abdurrahman Wahid ini menunjukkan bahwa partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak serta merta menduduki kursi presiden. Karena wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden menurut UUD 1945 sebelum amandemen berada di tangan MPR. Sehingga yang menentukan bagaimana melakukan upaya mendapat dukungan partai lain untuk memperoleh suara mayoritas di MPR. Melihat kelemahan ini, maka UUD 1945 setelah amandemen, menetapkan pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan paket dalam suatu pemilihan langsung oleh rakyat.

Pada masa Abdurrahman Wahid terjadi konflik yang tajam antara presiden dengan DPR, MPR, dan Kepala Polri. Konflik dengan DPR, tampak ketika Abdurrahman Wahid menolak panggilan Pansus Bulog yang melaksanakan hak angket atas kasus Bulog. Konflik dengan MPR diawali ketika MPR menganggap Abdurrahman Wahid melalukan pelanggaran dalam menetapkan Pejabat Kapolri dengan mempercepat SI MPR. Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam Sidang Istimewa MPR karena Sidang Istimewa dianggap melanggar tata tertib. Dua hari kemudian presiden mengeluarkan Dekrit Maklumat Presiden antara lain pembekuan MPR. MPR menolak dekrit dan mencabut Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tentang pengangkatan Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Dengan Ketetapan MPR di atas, Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Juli 2001 (menjabat selama 20 bulan). Kemudian tanpa melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri ditetapkan dan dilantik sebagai presiden ketiga sejak masa transisi atau merupakan presiden kelima, sejak Indonesia merdeka. Pengangkatan Megawati sebagai presiden disahkan dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tanggal 23 Juli 2001.

Kemudian keesokan harinya Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden melalui pemungutan suara. Pada Pemilu 2004 pemilihan paket presiden dan wakil presiden tidak lagi oleh MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan perubahan yang akan memperkuat posisi jabatan presiden. Karena presiden akan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada MPR. Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Susduk (MPR, DPR dan DPD), tampak DPR posisinya semakin menguat.

Menguatnya posisi DPR, karena kewenangan membuat undang-undang ada pada DPR. Sedangkan pihak pemerintah (eksekutif) hanya memiliki hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun penguatan DPR juga dibarengi dengan penguatan partai politik dengan diberlakukan kembali kewenangan penarikan (recalling) anggota DPR oleh partai politik. Sedangkan anggota DPD yang proses pemilihannya lebih berat daripada anggota DPR, tampak hanya sebagai pelengkap. Karena kewenangan DPD terbatas pada pengajuan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dengan demikian tampak ada tiga lembaga perwakilan rakyat yang fungsinya tampak lebih saling melengkapi daripada pengejawantahan dari suatu badan perwakilan ke yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintahan di era reformasi ini tampak tidak menganut sistem satu atau dua kamar, tetapi tiga kamar.

Pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat dan sistem pemerintahan parlementer di Inggris telah menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan stabil. Di negara kita pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer (1950 – 1959) yang menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil. Begitu pula ketika kembali ke UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensial ketika penerapannya pada era Soekarno (demokrasi terpimpin) dan era Soeharto (demokrasi Pancasila) menghasilkan pemerintahan yang otoriter.

Ketiga era tersebut juga memperlihatkan setiap terjadi pergantian kekuasaan (suksesi) berjalan tidak normal. Maksudnya peralihan dari sistem parlementer ke sistem presidensial era Soekarno, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, lewat peristiwa tragedi nasional G–30 S/PKI tahun 1965. Transisi demokrasi dari pemerintahan Soeharto (Orde Baru) ke BJ. Habibie karena desakan massa yang kuat terpaksa Soeharto menyatakan berhenti tanpa mempertang-gungjawabkannya kepada MPR yang telah memilih dan sebagai konsekuensi Presiden sebagai mandataris MPR. Peralihan Soeharto ke Habibie dilakukan di Istana negara dan pelatikan dan sumpah jabatannya di depan Mahkamah Agung, bukan di MPR. Peristiwa peralihan ini menimbulkan permasalahan konstitusional atau bersifat inkonstitusional.



Peralihan BJ. Habibie ke Abdurrahman Wahid, juga mengandung kontroversi, karena ternyata partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tidak memperoleh dukungan mayoritas di MPR jadi partai pemenang pemilu harus rela peluangnya diisi oleh koalisi partai. Belum masa jabatannya habis Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR, karena dianggap melanggar ketika mengangkat Kepala Polri juga karena menolak menghadiri Sidang Tahunan MPR serta hendak membekukan parlemen yang nyata-nyata telah bergeser dari sistem presidensial ke parlementer.
Latihan

a. Soal Uraian

  1. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode “awal kemerdekaan” (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949)!

  2. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949!

  3. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950!

  4. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode “demokrasi terpimpin” (setelah dekrit presiden 5 Juli 1959)!

  5. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (1966-1998)!

  6. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode Habibie dan Gus Dur!

  7. Jelaskan sistem pemerintahan Indonesia pada periode setelah amandemen UUD 1945 !

b. Tugas Diskusi

  1. Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada periode “awal kemerdekaan” (18 Agustus 1945 sampai dengan 12 Desember 1949) dengan sistem pemerintahan Indonesia pada periode saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, serta sistem pemerintahan Indonesia pada periode berlakunya UUD Sementara 1950!

  2. Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada periode “demokrasi terpimpin” (orde lama), dengan sistem pemerintahan Indonesia pada periode orde baru (1966-1998)!

  3. Diskusikan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia pada era orde baru, dengan sistem pemerintahan Indonesia pada era reformasi (setelah amandemen UUD 1945) !


C. Sikap Kritis terhadap Pelaksanaan Sistem Pemerintahan yang Berlaku di Indonesia
1   ...   13   14   15   16   17   18   19   20   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət