Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə10/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   ...   30


2. Dasar Pemikiran Diadakannya Pemilu


Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu dibentuk lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan (keterbukaan). Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui pemilihan umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya kekuasaan pemerintahan negara yang memancarkan kedaulatan rakyatlah yang memiliki kewibawaan kuat sebagai pemerintah yang amanah. Pemerintahan yang dibentuk melalui suatu pemilihan umum akan memiliki ligitimasi yang kuat.

3. Tujuan Pemilihan Umum


Untuk mewujudkan tata kehidupan negara sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perlu diselenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk duduk di dalam lembaga permusyawaratan /perwakilan rakyat, membentuk pemerintahan, melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilihan umum yang demokatis merupakan sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk mencapai tujuan negara. Oleh karena itu, pemilihan umum tidak boleh menyebabkan rusaknya sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Asas Pemilihan Umum


Pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Asas itu didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIV/MPR 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyaaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang pemilihan umum. Masing-masing asas itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

  1. Jujur

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggara/pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta pemilihan umum, pengawas dan pemantau pemilihan umum, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

  1. Adil

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

  1. Langsung

Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

  1. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga negara yang sudah berumur 21 (duapuluh satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

  1. Bebas

Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

  1. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.pemilih memberikan sarannya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara suka rela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak mana pun.
5. Partisipasi dan Kualitas Pemilu Setelah Reformasi

Sebanyak apa pun kritik yang diarahkan pada kurang demokratis dan kurang berkualitasnya pemilu 1999, tidak dapat memungkiri bahwa pemilu 1999 adalah salah satu tonggak sejarah politik Indonesia. Terselenggaranya pemilu 1999 adalah sebuah bukti yang paling nyata atas penolakan bangsa ini terhadap berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Sebab, dengan adanya pemilu 1999 berarti semua hasil proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru akan berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya, baik secara legal formal maupun substansi demokrasi.

Dengan adanya percepatan pemilu ini berarti bukan hanya ada pergantian total keanggotaan di MPR/DPR, melainkan juga harus segera digantinya pejabat Presiden yang pada masa itu dipegang oleh BJ Habibie. Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draf UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid.

Setelah disyahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, mulailah babak baru dalam dunia politik di Indonesia. Pada waktu itu sebanyak 141 partai politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yang akhirnya yang dilegalisasi sebanyak 48 partai. Persiapan pemilu ini relatif sangat singkat, yaitu selama 13 bulan. Singkatnya persiapan ini bukan dilihat dari rentang waktu yang ada melainkan dilihat dari berbagai gejolak sosial politik yang terjadi yang juga menghabiskan konsentrasi seluruh elemen bangsa.

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata pemilu 1999 bisa berjalan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itupun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara (Fadillah Putra, 2003:88).

Tidak seperti pada proses pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: PK, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPI, PUMI, PSP, dan PARI (Fadillah Putra, 2003:88). Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan kelompok kerja PPI menunjukkan bahwa partai Islam yang melakukan stembus accoord (penggabungan sisa hasil suara dari beberapa partai yang platfomnya relatif sama) hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11. 329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding pemilu 1997 (Fadillah Putra, 2003:91).

Selengkapnya diluar lima partai besar di atas PBB (13 kursi), Partai keadilan (7 kursi), PKP (4 kursi), PNU (5 kursi), PDKB (5 kursi), PBI (1 kursi), PDI (2 kursi), PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Masssa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi, PKD masing-masing satu kursi (Fadillah Putra:91).
Sebaiknya Anda Tahu

DPR dan Fungsi Legislasinya

Kebiasaan titip tanda tangan pertanda hadir bukan monopoli mahasiswa yang sedang malas, tapi juga anggota DPR. Lihatlah daftar hadir rapat paripurna pengesahan UU Ketenaganukliran pada 26 Februari 1997. Tak kurang dari 317 baris nama terbubuh tanda tangan. Namun yang hadir secara fisik dalam rapat itu tak lebih dari 75 anggota. Begitu pula saat UU Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan tanggal 25 maret 2002. Sebanyak 260 dari 309 anggota menyatakan kehadirannya hanya dengan tinta. Tindak kriminal atau perbuatan amoral telah berlangsung di gedung parlemen, yaitu pemalsuan tanda tangan atau berbohong. Perilaku buruk ini sempat menyerap perhatian publik. Tak mengherankan bila DPR dicap tak pernah bisa optimal menyalurkan aspirasi rakyat. Jajak pendapat Kompas 10 juni 2002 mengungkapkan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR terus menguat. Bila pada Agustus 2000 sekitar 52,5 persen dari 1569 responden menyatakan tidak puas, pada Mei 2002 tingkat ketidakpuasan naik menjadi 81,0 persen dengan 830 responden.

Begitu kekuasaan Soeharto berakhir, aktualisasi fungsi DPR bergeser. Bila pada masa orde baru lembaga ini tak lebih dari tukang stempel pemerintah, kini DPR cenderung berkonsentrasi pada fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Hal ini dipertontonkan kepada rakyat, melalui siaran televisi dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Rapat paripurna pengambilan keputusan untuk membentuk Pansus Bulog I pada 5 september 2000, misalnya, dijejali anggota yang antusias maupun yang menentang. Konsentrasi pada fungsi pengawasan ini mengendorkan fungsi lainnya. Salah satu adalah fungsi legislasi, fungsi membuat UU. Fakta ini barangkali bisa menjelaskan. Sejak tahun 1966 hingga 2001 terdapat 493 undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR. Rata-rata 13 sampai 14 undang-undang per tahun. Itu masa lalu. Tahun 2001 ditargetkan penetapan 30 undang-undang dan menyusun 40 RUU. Nyatanya hanya 22 UU yang ditetapkan sepanjang tahun 2001. Dalam hal penyusunan RUU, hanya 9 RUU dari 58 buah prioritas yang akhirnya menjadi UU.

Indikasi fungsi legislasi yang belum optimal ini diperlihatkan pula oleh minimnya RUU inisiatif DPR. Dari 493 UU yang dihasilkan selama 35 tahun, hanya 8,1 persen yang merupakan inisiatif DPR. Selang waktu 1966-1972 merupakan masa yang menghasilkan usulan terbanyak, tapi 20 RUU inisiatif akhirnya kandas di tengah jalan. Hanya tujuh usulan yang berhasil disyahkan menjadi UU.

Fungsi legislasi untuk menciptakan UU yang benar-benar dibutukan rakyat banyak tampaknya jauh dari optimal. DPR hasil lima kali pemilu, sejak tahun 1971 sampai 1992, adalah DPR vakum mutlak dalam urusan ini. Tak satupun usulan inisiatif dalam 25 tahun itu. Sepanjang itu pula hak inisiatif hanya dikenal dalam buku-buku pelajaran sekolah. Ia baru muncul lagi dalam tahun 1997-1999. Lima dari delapan RUU inisiatif disahkan menjadi UU. DPR hasil pemilu demokratis sejak tahun 1955, hingga tahun 2001 telah menghasilkan lima RUU inisiatif. Namun rupanya kepentingan politik sangat mendominasi usulan inisiatif DPR itu. Tujuh dari sepuluh RUU usul inisiatif DPR mengatur politik dan keamanan. Dua tentang ekonomi, keuangan, dan industri. Hanya satu RUU yang menyangkut kesejahteraan rakyat.

Dari substansinya, tak sedikit undang-undang yang setelah disahkan justru menimbulkan kontroversi hingga pelaksanaannya harus ditunda. UU Nomor 14 Tahun1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan dan UU Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih merupakan undang-undang yang menimbulkan polemik. Kewenangan eksekutif mengusulkan RUU bisa jadi alasan mengapa RUU banyak datang dari pemerintah. Namun, amandemen UUD 1945 yang memberi porsi besar pada dewan ternyata juga bukan jaminan membaiknya kinerja DPR dalam fungsi legislasi.


6. Mendukung Terselenggaranya Pemilu yang Berkualitas

Penyelenggaraan pemilu yang baik adalah proses di mana semua asas dalam kebijakan pemilu ditegakkan, yakni jurdil dan luber.



  1. Jujur, bila dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  2. Adil, bila dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

  3. Langsung, bila rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

  4. Umum, bila semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

  5. Rahasia, bila didalam memberikan suara, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.

  6. Bebas, bila setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

Pengalaman pemilu 1999 yang dikenal sebagai pemilu paling demokratis dalam kenyataannya tidak memberikan jaminan bagi proses perbaikan keadaan. Proses pemilu yang luber, tidak dengan sendirinya menghasilkan badan-badan pemerintahan yang baik, yang memiliki kepedulian mendalam dengan persoalan rakyat, bisa menemukan jalan keluar dan mampu merumuskan jalan keluar tersebut dalam kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat. Maraknya masalah KKN, termasuk politik uang dalam pengisian jabatan publik, masalah-masalah dalam penyelesaian krisis ekonomi, dan lain-lain, telah memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa tata baru yang dibentuk melalui pemilu 1999, dalam kenyataan tidak bisa mengatasi krisis yang ada, dan malah sebaliknya ikut memberikan sumbangan buruk pada kondisi yang ada. Pemilu 1999 berkualitas dari sisi penyelenggaraan, namun belum mencerminkan kualitas yang lebih menyeluruh dan mendalam.
7. Turut Serta Meningkatkan Kesadaran Politik bagi Pemilih

Yang harus dilakukan oleh elemen gerakan pembaruan tidak sekedar memastikan proses pemilu berjalan dengan jujur dan adil, melainkan menyangkut hal-hal berikut ini.



  1. Memastikan bahwa yang bertarung memperebutkan kursi parlemen dan kursi presiden adalah mereka yang memiliki komitmen dengan pembaruan (reformasi). Menjaga agar jangan sampai digunakan politik uang, merupakan salah satu cara agar tidak terjadi manipulasi, yang nantinya memberikan peluang bagi yang tidak tepat masuk arena, bukan satu-satunya cara. Oleh sebab itu, perlu ditemukan strategi dan metode yang lebih baik, agar pintu bagi parlemen hanya terbuka bagi mereka yang memiliki integritas, komitmen dan kapasitas untuk mendorong proses pembaruan.

  2. Memastikan bahwa mereka yang sudah duduk di parlemen dan kursi presiden, benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya.

Secara umum kita hendak mengatakan bahwa diperlukan dua langkah sekaligus, yakni memastikan proses pemilu agar menghasilkan anggota parlemen dan presiden yang benar-benar bisa diandalkan untuk melanjutkan gerak reformasi dan memastikan mereka bisa bekerja dengan baik. Dilihat dari periode kerja, maka pekerjaan dilakukan pada tiga tahap, yakni persiapan, pelaksanaan dan paska pemilu. Bobot masing-masing sama tingginya, atau bisa dikatakan tidak ada satu bagian yang bisa dianggap lebih penting dari bagian yang lain. Dalam kerangka inilah kita melihat pentingnya usaha-usaha berikut ini.

  1. Mempersiapkan masyarakat, khususnya yang ada di lapis bawah, seperti masyarakat desa, agar bisa hadir dalam pemilu secara benar.

  2. Mempersiapkan keterlibatan rakyat dalam proses penyelengraan pemilu, terutama untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan jujur dan adil.

  3. Mempersiapkan keterlibatan rakyat dalam proses monitoring (pemantauan) kinerja dari parlemen (khususnya parlemen daerah) yang terbentuk..

Untuk tercapinya ketiga hal tersebut dibutuhkan kesadaran politik dan keterampilan politik baru, agar rakyat dapat memastikan kualitas pemilu. Apa yang harus dilakukan gerakan prodemokrasi, seperti pers, ormas-ormas, dan organisasi non pemerintah, dalam ikut serta mempersiapkan agar rakyat hadir dalam kualitas baru?

  1. Sejak dini kesadaran masyarakat harus benar-benar ditingkatkan, bahwa pemilu pada dasarnya adalah arena perebutan kekuasaan yang sah, demokratis dan legitimit. Banyak cara untuk merebut kekuasaan, namun yang diakui oleh konstitusi adalah pemilu. Pemilu adalah cara untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun komitmen masa depan secara demokratis. Kesadaran ini penting agar rakyat sejak awal mengerti bahwa pemilu, bukan sejenis arisan, kumpul-kumpul tanpa konflik, tetapi sebuah arena yang keras, penuh konflik, namun tertata dan tunduk pada aturan main. Dengan kesadaran ini, maka rakyat akan dengan jelas mengetahui, apa implikasi dari dukungan yang diberikan pada peserta pemilu. Sehingga tidak menyesal dikemudian hari.

  2. Dengan terbangunnya kesadaran baru, maka rakyat tidak saja berkepentingan pada dirinya sendiri, melainkan juga harus berkepentingan dengan keseluruhan proses pemilu. Oleh karena itu kebersamaan masyarakat harus terbangun, agar kepentingan bersama rakyat tetap terlindungi. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukan saja kesadaran, melainkan juga keterampilan. Elemen-elemen prodemokrasi, harus mampu mengembangkan keterampilan politik baru, terutama dalam mengangkat kepentingan massa rakyat, agar rakyat tidak hanya pandai dalam merumuskan keluhan, melainkan juga dapat mengubah keluhan menjadi gerakan demokrasi yang dapat mendorong pembaruan.

  3. Elemen-elemen pro demokrasi, tidak mungkin lagi hanya menjadi penonton dan menjadikan pemilu sebagai arena pertunjukan (pesta demokrasi), yang kemudian dianalisis paska pemilu. Elemen-elemen pro demokrasi harus merumuskan suatu bentuk keterlibatan baru. Tanpa suatu keterlibatan, maka elemen pro demokrasi, akan kembali menjadi pengamat, yang tidak akan pernah memahami secara persis proses pergulatan kepentingan dan proses perebutan kekuasaan melalui pemilu. Dengan demikian, elemen pro demokrasi dapat memikirkan suatu model baru pengelompokan, atau mendorong proses pengorganisasian kepentingan yang baru, seperti misalnya, membuat kontrak politik dengan para calon anggota DPR, maupun calon presiden. Kontrak politik hanyalah salah satu dari banyak alternatif yang dapat dikembangkan, yang pada intinya merupakan strategi baru untuk terlibat, dan tidak sekedar menjadi penonton.

Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dinyatakan beberapa hal berikut ini.

  1. Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Kersatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

  2. Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam perubahan UUD 1945, pemelihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

  3. Pemilihan umum perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

  4. Pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi (dikutip dari bagian menimbang huruf a sd d).

  5. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Pada dasarnya esensi pemilu adalah urusan kekuasaan dan pembentukan suatu pemerintahan baru. Setiap pemilu pada dasarnya adalah proses untuk membentuk suatu pemerintahan baru. Perubahan yang terjadi dalam pemerintah baru itu pada dasarnya berkenaan dengan terjadinya suatu rekonfigurasi kekuatan-kekuatan politik atau penataan ulang kekuatan politik yang ada. Dalam sistem demokrasi, pemilu akan membuka peluang bagi kekuatan politik yang kecil untuk menjadi besar atau sebaliknya. Dengan proses demikian, peluang bagi perubahan konfigurasi kekuatan-kekuatan menjadi terbuka lebar.
Sebaiknya Anda Tahu

Partai Politik dan Pemilihan Umum

Gerakan mahasiswa untuk menuntut adanya reformasi yang diselenggarakan pada awal 1998 mencapai klimaksnya pada bulan Mei, yaitu dengan lahirnya babak baru politik di Indonesia. Rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun pada waktu itu tumbang. Pucuk pimpinan eksekutif dialihkan kepada BJ. Habibie, wakil presiden waktu itu, pada tanggal 21 Mei 1998 dalam sebuah acara darurat di istana negara. Kebijakan pemerintah baru ini adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam waktu secepat-cepatnya, tetapi baru terlaksana pada tanggal 7 Juni 1999.

Angin segar reformasi melapangkan ruang gerak politik yang berdampak pada kebebasan rakyat membentuk partai-partai politik baru. Pemilihan 1999 diikuti oleh 48 partai politik yang memenuhi syarat. Empat di antaranya adalah partai lama, yaitu PPP, Golkar, PDI-Perjuangan, dan PDI. Dua partai terakhir berasal dari PDI yang pecah setelah konggres PDI di Medan pada Juni 1996. Meski masih diwarnai kecurangan di mana-mana, Pemilu 1999 dianggap sama demokratisnya dengan Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama di bumi Indonesia.

Pemilu 1999 yang bersifat multipartai ini merupakan yang pertama setelah Pemilu 1977. Dalam lima kali pemilu sebelumnya, 1977-1997, pesertanya tak pernah lebih dari tiga kontestan karena UU Pemilu No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya hanya mengakui dua partai politik, PPP dan PDI, serta satu Golongan Karya. Pembentukan partai di luar ketiga kontestan tidak dibolehkan.

Baru pada tahun 1996 sekumpulan anak muda yang sudah gerah melihat tabiat pemerintah Soeharto yang tidak demokratis itu mencoba mengadakan perlawanan dengan mendeklarasikan partai baru secara terbuka, yaitu Partai Rakyat Demokratik yang lebih dikenal sebagai PRD. Partai itu diketuai oleh Budiman Sudjatmiko yang masih berusia 26 tahun, yang gerakannya kurang terpapar di media massa yang waktu itu dicekam ketakutan absolut oleh rezim Soeharto.

Menghadapi PRD, pemerintah Soeharto memperlihatkan tabiat konvensionalnya setiap kali menghadapi lawan, yaitu menuduh partai baru ini sebagai komunis. Berbagai muslihat diupayakan untuk mengerdilkannya. Upaya itu menemukan aktualitasnya pada peristiwa perebutan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996. Budiman dan kawan-kawan dituding sebagai dalang kejadian itu. Ia ditangkap dan resmi dipenjara pada April 1997 dengan tuduhan subversif. Dua tahun kemudian, atau setahun setelah reformasi mulai berjalan, status Budiman sebagai tahanan politik dicabut. Ia dibebaskan dengan amnesti Presiden Abdurrahman Wahid. Budiman Sudjatmiko dengan PRD bukanlan satu-satunya kelompok yang mencoba menentang kekuasaan Soeharto dalam membatasi partai politik. Sri Bintang Pamungkas dari PPP, dikeluarkan dari DPR pada bulan Februari 1995, mendirikan PUDI pada Mei 1996 dan mengakalinya sebagai partai oposisi. Seperti Budiman Sudjatmiko, Sri Bintang juga dipenjarakan sejak Mei 1997 dengan tuduhan subversif. Ia dibebaskan Presiden BJ Habibie empat hari setelah Soeharto lengser.

Riwayat pemenjaraan kedua deklarator partai ini sudah cukup meredam keberanian lawan-lawan tangguh Soeharto dalam melakukan eksperimen untuk membentuk partai baru. Itu sebabnya, ketika pemerintah Habibie merencanakan pemilu tanpa membatasi jumlah partai politik, puluhan organisasi, perkumpulan, dan kelompok masyarakat ramai-ramai bermetamorfosis menjadi partai dengan mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman. Tidak kurang dari 141 partai tercatat di sana. Sebanyak 106 di antaranya kemudian mendaftar ke Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, atau P3KPU, sebagai kontestan Pemilu 1999. Pada tahap berikutnya hanya 60 partai yang memenuhi syarat untuk verifikasi. Setelah proses ini usai, P3KPU memutuskan 48 partai politik yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 1999. Tidak semua calon kontestan itu lolos sebab masih ada syarat yang sulit dipenuhi, seperti keharusan memiliki sedikitnya sembilan DPD. Protes bermunculan dari 12 partai politik yang tidak lolos, tetapi keputusan itu tidak dapat diubah.

Pemenang Pemilu 1999 adalah PDI-Perjuangan, partai yang waktu itu dikenal sebagai partainya orang kecil, pimpinan Megawati Soekarnoputri. Partai Golkar, yang di kemudian hari kesertaannya dalam Pemilu 1999 dikaitkan dengan skandal dana nonbudjeter Bulog, berada di peringkat kedua. Berikut ini 10 besar partai pemenang pemilu 1999

  1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 33,73% (153 kursi).

  2. Partai Golongan Karya 22,43% (120 kursi).

  3. Partai Kebangkitan Bangsa 12,60% (51 kursi).

  4. Partai Persatuan Pembangunan 10,70% (58 kursi).

  5. Partai Amanat Nasional 7,11% (34 kursi).

  6. Partai Bulan Bintang 1,94% (13 kursi).

  7. Partai Keadilan 1,36% (7 kursi).

  8. Partai Keadilan dan Persatuan 1,01% (4 kursi).

  9. Partai Nahdatul Umat 0,64% (5 kursi).

  10. Partai Demokrasi Indonesia 0,62% (2 kursi).

(Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2000)

Latihan
a. Soal Uraian

  1. Sebutkan tahun berapa saja pemilu di Indonesia pernah dilaksanakan?

  2. Pemilu tahun berapa saja yang dianggap paling demokratis?

  3. Bagaimana kualitas pemilu pada era orde baru?

  4. Bagaimana kualitas pemilu pada era reformasi?

  5. Apa yang dimaksud pemilu legislatif itu?

  6. Apa pula yang dimaksud dengan pemilu eksekutif itu?

  7. Apa dasar pemikiran diadakannya pemilu?

  8. Jelaskan tujuan pemilu!

  9. Jelaskan asas-asas pemilu!

  10. Apa yang dimaksud pemilu berkualitas itu?

  11. Bagaimana menurut pendapatmu kualitas pemilu era reformasi?

  12. Bagaimana menurut pendapatmu kesadaran politik rakyat dan pemimpinnya saat ini?

b. Tugas Diskusi

Bentuklah lima kelompok kemudian masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya sebagai berikut.

  1. pemilu pada era orde lama

  2. pemilu pada era orde baru

  3. pemilu pada era reformasi

  4. pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat

  5. pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat


E. Penerapan Budaya Demokrasi dalam Berbagai Bidang Kehidupan

Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, kegiatan berdemokrasi terutama diterapkan dalam kehidupan politik. Di samping itu, penerapan demokrasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi juga tidak kalah penting. Hal itu disebabkan antara kehidupan politik, sosial, dan ekonomi saling berpengaruh satu sama lain. Sebagai contoh, seseorang yang telah terbiasa bersifat terbuka dalam keluarga dan dalam bertetangga, kebiasaan itu bisa terbawa ketika yang bersangkutan menjadi pemimpin politik/pemerintah atau berdagang. Oleh karena itu, budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemukan dalam aktivitas manusia dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Ruang lingkup kehidupan manusia di mana kita dapat menemukan budaya demokrasi ialah di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintahan. Dalam kehidupan keluarga yang menerapkan budaya demokrasi antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut.



  1. Saling percaya atau tidak saling curiga antara anggota keluarga yang satu dan yang lain.

  2. Melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan bersama/keluarga.

  3. Mematuhi aturan dalam keluarga dan sebagai pimpinan dalam keluarga, orang tua tetap bersikap kritis.

  4. Perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap anak, baik atas dasar jenis kelamin maupun atas dasar kondisi anak, misalnya cacat fisik. Mereka diperlakukan secara adil.

  5. Toleransi terhadap perbedaan pendapat, sejauh tidak merusak hubungan yang harmonis dalam keluarga.

  6. Menghargai kebebasan masing-masing, akan tetapi tidak sampai merusak hubungan yang harmonis atau apa yang menjadi tujuan dalam membangun suatu keluarga.

Penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan masyarakat antara lain tampak adanya sikap dan perilaku sebagai berikut.

    1. Menghargai pluralisme dengan menyikapi perbedaan/konflik sebagai sesuatu yang wajar dan mengelolanya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.

    2. Menentukan pemimpin dengan cara pemilihan yang melibatkan anggota masyarakat

    3. Ada kepercayaan akan persamaan hak yang tercermin dengan tidak adanya perlakuan diskriminatif atas dasar kaya-miskin, pangkat-tidak berpangkat, laki-laki dan perempuan.

    4. Melibatkan warga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama (termasuk anak-anak pun sebagai bagian dari masyarakat diikut-sertakan/didengarkan aspirasinya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya).

    5. Menghargai kreativitas warga untuk mengembangkan potensinya dalam berbagai bidang.

    6. Ada kebebasan warga untuk memperoleh informasi yang menyangkut persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Penerapan budaya demokrasi dalam masyarakat di antaranya juga dilakukan di sekolah. Hal itu tampak pada butir-butir dan landasan penyusunan peraturan sekolah yang di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Kepala sekolah dalam membuat peraturan sekolah melibatkan/mendasarkan aspirasi dari kalangan siswa/OSIS, guru, dan karyawan, serta orang tua siswa, bahkan perwakilan masyarakat di lingkungan sekolah/komite sekolah.

  2. Setelah peraturan diputuskan, semua pihak harus mematuhi, namun tetap harus kritis

  3. Apabila peraturan sekolah tersebut dinilai tidak aspiratif, para siswa atau yang lain bisa memberikan masukan kepada Kepala Sekolah untuk dilakukan perbaikan-perbaikan.

Penerapan budaya demokrasi di sekolah di antaranya dapat dilihat pada kasus pembelajaran di kelas seperti dikemukakan berikut ini.

  1. Guru terbuka untuk menerima kritikan atau bahkan protes yang membangun dari siswa, sehingga proses belajar melahirkan partisipasi belajar yang tinggi dari siswa.

  2. Siswa mematuhi tata tertib di kelas, namun juga tetap kritis.

  3. Saling menghargai perbedaan pendapat.

  4. Di kelas ada kebebasan menunjukkan identitas budaya masing–masing, untuk mengembangkan saling memahami bahwa kita hidup dalam kemajemukan (misalnya biarkan siswa dari Suku Batak menampakkan logat bicaranya, jangan mengejek mereka apalagi memaksa menyesuaikan dengan logat Suku Jawa karena sekolah di Jawa atau sebaliknya. Begitu pula dalam ekspresi identitas yang lain).

  5. Tidak ada perlakuan diskriminatif di kelas karena alasan perbedaan jenis kelamin, kaya-miskin, maupun agama.

  6. Ada saling percaya atau tidak saling curiga di antara guru dan siswa atau siswa dan siswa, sehingga setiap terjadi perbedaan atau konflik mudah diselesaikan secara konsensus.

Penerapan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut.

  1. Unjuk rasa yang dilakukan rakyat atau masyarakat ditujukan kepada pemerintah. Sebagai contoh, setiap ada keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, akan disambut dengan unjuk rasa karena kenaikan itu akan diikuti oleh kenaikan harga barang yang lain yang berakibat semakin memberatkan beban perekonomi masyarakat.

  2. Masyarakat mendatangi DPR/DPRD untuk mengadukan berbagai masalah kebijakan yang merugikan mereka, seperti masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penggusuran, UMR (Upah Minimum Regional) dibawah standar.

  3. Memberikan suara dalam pemilihan anggota BPD, kepala desa; ketua RT/RW.

  4. Musyawarah untuk mufakat dalam melakukan kerja bakti, misalnya untuk membersihkan dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, menjaga kesehatan, mengurangi bahaya banjir, dan mencegah kerusakan alam.


Sebaiknya Anda Tahu

Konflik Eksekutif dan Legislatif

Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup sejadi-jadinya. Komentar Lord Acton (1834-1902), sejarawan Inggris dalam sebuah surat ini memberi peringatan terhadap kekuasaan yang mengatasnamakan negara. Oleh karena itu, kekuasaan harus dikontrol supaya efektif dan efisien. Tentu saja hal itu demi kepentingan orang banyak. Salah satu alat kontrolnya ialah aturan main yang transparan.

Pemerintah atau eksekutif berfungsi membuat rencana dan menjalankan pemerintahan. Parlemen atau legislatif berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan, baik dengan memantau langsung maupun dengan membuat rambu-rambu lewat produk perundang-undangan. Dalam praktiknya, kedua lembaga ini kerap tergoda untuk gagah-gagahan dengan saling mengecilkan peran satu sama lain. Yang lebih dahsyat lagi ialah memicu konflik antarlembaga. Akibatnya, rakyat banyak yang seharusnya dilayani menjadi korban. Berikut ini dikemukakan contoh terjadinya konflik antara DPR dan Presiden Abdurrahman Wahid.

  1. Kasus pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roedihardjo dan melantik Jenderal Polisi Bimantoro sebagai pelaksana harian Kapolri yang dilakukan oleh presiden dianggap oleh DPR sebagai melangkahi hak DPR karena tidak pernah meminta persetujuan.

  2. Upaya pemberhentian gubernur BI Syahril Sabirin yang dilakukan oleh presiden dengan mengusulkan Anwar Nasution sebagai penggantinya juga merupakan bentuk konflik karena DPR dalam rapatnya 6 Juni 2000 memutuskan bahwa Syajril Sabirin tetap dipercaya menjalankan tugasnya sebagai gubernur BI sampai pengadilan memutuskan kesalahannya secara yuridis.

  3. Presiden mengusulkan Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI dan Dinyatakan Terlarang serta Larangan kegiatan untuk Menyebarkan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Sehubungan dengan hal itu, beberapa anggota DPR dari partai Islam menolak keras. Pada 29 Mei 2000, semua fraksi MPR termasuk FKB, menolak usulan pencabutan Tap. MPRS tersebut.

  4. Presiden mengusulkan calon Ketua MA, yakni Bagir Manan dan Muladi (1 Januari 2001) untuk mengundurkan diri. Presiden meminta DPR untuk mengajukan calon di luar keduanya. Komisi II DPR tetap pada pendiriannya menetapkan Muladi dan Bagir Manan sebagai calon Ketua MA. Akhirnya presiden mengalah pada 5 Mei 2001 memilih Bagir Manan sebagai Ketua MA.

  5. Tanggal 24 April 2000, presiden memberhentikan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri. Tanggal 29 Juni 2000 DPR menyetujui hak interpelasi berkaitan dengan pemecatan tersebut. Kepercayaan DPR kepada presiden semakin runtuh. Sebanyak 151 anggota DPR mengajukan usul penggunaan hak interpelasi dan menganggap presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD dan ketetapan MPR.

(Sumber Libang Kompas 2002)


Latihan


a. Soal Uraian

  1. Jelaskan kaitan antara pemilu dan budaya demokrasi!

  2. Menurut kamu apakah pemilu yang luber dan jurdil dapat meningkatkan kualitas budaya demokrasi?

  3. Apakah demokrasi di Indonesia semakin baik, jika ya apa alasannya? Jika tidak juga berikan alasanmu?

  4. Apakah demokrasi ekonomi, demokrasi dibidang pendidikan semakin baik di Indonesia saat ini, jika ya apa alasannya? Jika tidak berikan juga alasannya?

  5. Sebagai warga negara kita harus mampu mengembangkan sikap hidup demokratis. Berilah contoh sikap hidup demokratis dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kamu!

  6. Sebutkan prinsip-prinsip pokok Demokrasi Pancasila!

  7. Sebutkan tiga perbedaan antara Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal!

  8. Berikan contoh penerapan budaya demokrasi dalam keluarga!

  9. Berikan contoh penerapan budaya demokrasi di sekolah!

  10. Berikan contoh penerapan budaya demokrasi di masyarakat!



b. Tugas Diskusi


Bentuklah empat kelompok, masing-masing kelompok membuat makalah sederhana dan dipresentasikan di depan kelas. Adapun topik-topiknya sebagai berikut.

  1. budaya demokrasi dalam keluarga

  2. budaya demokrasi di kampus

  3. budaya demokrasi pada masyarakat

  4. budaya demokrasi dalam pemerintahan


Bab V

PERLINDUNGAN DAN PENEGAKKAN

HAK ASASI MANUSIA
Tujuan

Setelah mempelajari materi dalam bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Ruang Lingkup Pembahasan

  1. Pengertian HAM dan kelembagaan HAM

  2. Kasus pelanggaran dan upaya penegakan HAM di Indonesia

  3. Perlindungan HAM di Indonesia

  4. Penegakan HAM di Indonesia



1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət