Ana səhifə

Untuk perguruan tinggi


Yüklə 1.49 Mb.
səhifə1/30
tarix26.06.2016
ölçüsü1.49 Mb.
  1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30
P
Penyuntingan Bahasa: sampai halaman 223
ENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


PKN

UNTUK PERGURUAN TINGGI



SUNARSO, M.Si.

KUS EDDY SARTONO, M.Si.

SIGIT DWIKUSRAHMADI, M.Si.

Y. CH. NANY SUTARINI, M.Si

UNIT MATA KULIAH UMUM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2008

Kata Pengantar
Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar terutama berkaitan dengan gerakan reformasi 1998. Oleh karena itu, materi perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan tidak mungkin dilepaskan dari perkembangan kenegaraan tersebut agar kadar keilmiahan serta obyektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Banyak tuduhan dialamatan kepada sosok Pendidikan Kewarganegaraan dan tuduhan itu barangkali juga ada benarnya. Beberapa tuduhan itu antara lain (i) Pendidikan Kewarganegaraan sering bersifat politis daripada akademis, lemah landasan keilmuannya, (ii) tidak tampak sosok keilmiahannya, dan (iii) sering dititipi kepentingan politik penguasa.

Berdasarkan kenyataan tersebut sudah merupakan keharusan untuk menata ulang materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan agar sesuai dengan perkembangan zaman, terutama tuntutan reformasi. Dalam proses penyusunan ulang materi Pendidikan Kewarganegaraan penulis berupaya untuk mengumpulkan buku-buku referensi yang sesuai dan dapat dipertanggung­jawabkan.

Buku ini disusun dengan mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002 yang menetapkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu Matakuliah Pengembangan Kepribadian yang harus ada dalam kurikulum inti bagi setiap program studi dan dirancang berbasis kompetensi. Selain itu juga berpedoman pada keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38/Dikti/Kep/2002 tanggal 18 Juli 2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Matakuliah Pengembangan Kepribadian, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada


  1. Rektor dan Pembantu Rektor I UNY,

  2. rekan-rekan sesama pengampu Pendidikan Kewarganegaraan di UNY,

  3. rekan-rekan sejawat di UPT MKU UNY,

  4. para mahasiswa yang telah dan sedang menempuh Pendidikan Kewarganegaraan di UNY, dan

  5. semua pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah membantu terwujudnya naskah ini.

Penulis senantiasa terbuka menerima masukan untuk perbaikan naskah buku ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat membantu kelancaran perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan.

Yogyakarta, 28 April 2008

Tim Penulis.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Bab I Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan 1

Bab II Hakikat Bangsa, Negara, dan Warga Negara 17

Bab III Persamaan Kedudukan Warga Negara dalam Berbagai Bidang Kehidupan 44

Bab IV Budaya Demokrasi menuju Masyarakat Madani 75

Bab V Perlindungan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia 117

bab VI Konstitusi Negara 155

Bab VII Sistem Pemerintahan Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga 166

Bab VIII Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia 203

Bab IX Ketahanan Nasional Indonesia sebagai Geostrategi Indonesia 238

Bab X Dampak Globalisasi dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara 275

Daftar Pustaka 322

BAB I

PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


  • Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai akhlak yang mulia dan apabila akhlak telah hilang dari kehidupan suatu bangsa, hancur binasalah bangsa itu (Syauqi Bek).

  • Negara yang tidak mempunyai moral berarti keruntuhan dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan (Al-Gazali).

  • Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat. Yang saya dengar, lihat, dan diskusikan dengan orang lain, mulai saya pahami. Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan. Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai (Melvin L Silberman).


A. Pendahuluan

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKN dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut.



Pertama, PKN secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKN secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKN secara pragramatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.

Sejak diimplementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan (persekolahan maupun perguruan tinggi), PKN menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru/dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian, pelaksanaan PKN tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah sebagai berikut.



Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKN lebih ditekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya ditekankan pada dimensi kognitif saja. Pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui pelibatannya secara proaktif dan interaktif, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.

Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi PKN untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar PKN yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan bahwa tujuan kurikuler PKN belum dapat dicapai sepenuhnya.

Menyadari hal tersebut di atas, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional antara lain adalah sebagai berikut.

1) Penyelenggaraan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajar guru dan dosen PKN. Sampai saat ini, pelatihan tersebut masih perlu terus ditingkatkan kualitasnya agar mampu menunjukkan hasil yang optimal.

2) Penataan kembali materi PKN agar lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Sampai saat ini, upaya penataan tersebut dirasakan belum menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pembelajaran PKN seperti yang diharapkan.

3) Perubahan sistem belajar di sekolah, dari catur wulan ke semester, dan di perguruan tinggi menjadi sistem kredit semester (SKS), yang diyakini akan lebih memungkinkan guru/dosen untuk dapat merancang alokasi waktu dan strategi pembelajaran secara fleksibel dalam rangka upaya peningkatan kualitas pembelajarannya, belum memperlihatkan hasil yang memadai.


Selain menghadapi kendala internal sebagaimana diuraikan di atas, PKN juga menghadapi kendala eksternal, yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat yang berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. PKN yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif dilaksanakan secara kognitif dan telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya obat mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Kritikan dan tuntutan tersebut sudah seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional karena pendidikan secara umum dan PKN secara khusus bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional.

Kendala eksternal lainnya, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang dapat mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat menyejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikan.

Di lain pihak, terdapat pula beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas PKN. Di antaranya, permasalahan itu adalah sebagai berikut.


  1. Penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam Struktur Kurikulum Pendidikan dijabarkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka terjadwal sehingga kegiatan pembelajaran PKN dengan cara tatap muka di kelas menjadi sangat dominan. Hal itu mengakibatkan guru atau dosen tidak dapat berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain dari pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat.

  2. Pelaksanaan pembelajaran PKN yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkelai. Di samping itu, pelaksanaan pembelajaran diperparah lagi dengan keterbatasan fasilitas media pembelajaran.

  3. Pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif itu berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja sehingga mengakibatkan guru/dosen harus selalu mengejar target pencapaian materi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap masalah-masalah mendasar sehingga PKN dapat diberdayakan menjadi “subjek pembelajaran yang kuat” (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri sebagai berikut: bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar semacam itu para siswa difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang demokratis dalam koridor psiko-pedagogis-konstruktif.



B. Alasan Perlunya Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam sejarah panjang dunia ini, Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dan di perguruan tinggi merupakan fenomena yang relatif baru. Ada dua faktor yang mengarahkan hal ini, yaitu faktor pertumbuhan negara-bangsa dan faktor diperkenalkannya pendidikan untuk massa.

Negara-bangsa muncul di seluruh dunia dalam jumlah yang besar setelah akhir perang dunia kedua, pada peretengahan abad dua puluh. Kekuasaan kolonial telah ditentang dan pergerakan kemerdekaan dilakukan atau mencapai kemerdekaan. Di Afrika, Amerika Latin, dan Asia ada peningkatan di sejumlah negara merdeka. Sebagian terbesar menjalankan bentuk pemerintahan demokratis. Mereka melaksanakan pemilu dan memiliki badan perwakilan. Semuanya memperkenalkan beberapa bentuk persekolahan bagi kebanyakan penduduk (Barbara Leigh, dalam Civics and Citizenship Education Historical and Comparative Reflections, Jurnal Civics volume 1, Nomor 1, Juni 2004).

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta: Sek. Neg. RI, 1998).

Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi negara Indonesia perlu ditularkan secara terus-menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai negara kesatuan dengan bentuk republik. negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pembukaan UUD 1945).

Dalam perkembangannya, sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi negara Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa.

Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem pemerintahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia.

Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang cerah.

Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945.

Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, pendidikan memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship). Keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan, media masa, dan lembaga-lembaga lainnya dapat bekerja sama dan memberikan kontribusi yang kondusif terhadap tanggung jawab pendidikan tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata kuliah yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.

C. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia


Paradigma pendidikan yang dianut pada masa Orde Baru adalah “pendidikan untuk pembangunan”, sehingga pendidikan telah diposisikan sedemikian rupa sebagai instrumen pembangunan ( Muchson, 2004). Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang menjadi jargon Orde Baru dalam kebijakan dan operasionalnya ternyata lebih banyak berpihak dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Ironisnya pembangunan yang telah berlangsung selama lebih 30 tahun dan telah “dibayar dengan mahal”, lebih-lebih menyangkut social cost yang sifatnya uncalculated, ternyata justru menghasilkan keterpurukan dalam berbagai bidang. Pengalaman pada masa Orde Baru itu telah memberikan pelajaran “berharga” tentang betapa rapuhnya suatu pembangunan yang hanya menekankan pada aspek fisik-materiil dan kepentingan-kepentingan ekonomi belaka.

Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai misi yang lebih khas. Mata pelajaran ini menonjol dengan misinya untuk mewujudkan sikap toleransi, tenggang rasa, memelihara persatuan dan kesatuan, tidak memaksakan pendapat dan lain-lain, yang dirasionalkan demi terciptanya stabilitas nasional sebagai prasyarat bagi kelangsungan pembangunan. Di balik semua itu, Pendidikan Kewarganegaraan sesungguhnya telah berfungsi sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Sosok Pendidikan Kewarganegaraan (Civic atau Citizenship) yang demikian memang sering muncul di sejumlah negara, khususnya negara-negara berkembang. Hal itu sesuai dengan laporan penelitian Cogan (1998) yang dikutip oleh Ace Suryadi dan Somardi (200:1) yang mengatakan bahwa


Citizenship education has often reflected the interest of those in power in particular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological hegemony rather than of education”.
Berdasar kenyataan tersebut tidak aneh jika kemudian muncul penilaian bahwa mata pelajaran ini lebih bersifat politis daripada akademis, lemah landasan keilmuannya, tidak tampak sosok keilmiahannya, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut, mata pelajaran ini kurang menantang dan kurang diminati oleh siswa.

Kepentingan politik penguasa terhadap Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat dirunut dalam sejarah perkembangan mata pelajaran ini, sejak munculnya dalam sistem pendidikan nasional. Mata pelajaran ini muncul pertama kali tahun 1957 dengan nama “Kewarganegaraan”, yang isinya sebatas hak dan kewajiban warga negara serta cara-cara memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Menteri PP dan K mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga negara Indonesia dan hal-hal yang menginsyafkan warga negara tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan revolusi Indonesia. Panitia tersebut berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia pada tahun 1962 yang menjadi acuan mata pelajaran civic yang telah muncul pada tahun 1961. Buku tersebut berisi Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia Afrika, Hak dan Kewajiban Warga negara, Manifesto Politik, Laksana Malaikat dan lampiran-lampiran Dekrit Presiden, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration of Human Rights, serta pidato-pidato Presiden lainnya yang dipaketkan dalam tujuh bahan pokok indoktrinasi (Tubapi).

Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran civic versi Orde Lama hampir seluruhnya dibuang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang sedang berkembang. Pada Kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama “Kewargaan negara”, yang isinya, di samping Pancasila dan UUD1945, adalah Ketetapan-Ketetapan MPRS 1966, 1967, dan 1968, termasuk GBHN, Hak Asasi Manusia, serta beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan ekonomi. Sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MP/1973, mata pelajaran ini berubah nama menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada Kurikulum 1975. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, terjadilah perkembangan yang cukup substantif mengenai materi mata pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4 dalam PMP. Dalam penjelasan ringkas tentang PMP oleh Depdikbud (1982) dinyatakan bahwa hakikat PMP tidak lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun Kurikulum 1994, di mana “Pendidikan Moral Pancasila” (PMP) telah berubah nama menjadi “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” (PPKn). Dalam perkembangan terakhir, materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam Kurikulum Suplemen 1999 karena Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tersebut telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998.

Pada era reformasi ini pendidikan kewarganegaraan juga sedang dalam proses reformasi ke arah pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru (New Indonesian Civic Education). Reformasi itu mulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi visi dan misi, revitalisasi fungsi atau peranan, sampai restrukturisasi isi kurikulum dan materi pembelajaran. Seiring dengan itu, dalam sistem pendidikan nasional juga sedang disosialisasikan pembaruan kurikulum dengan konsep yang disebut kurikulum berbasis kompetensi.



D. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Secara klasik sering dikemukakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang baik (a good citizen). Akan tetapi, pengertian warga negara yang baik itu pada masa-masa yang lalu lebih diartikan sesuai dengan tafsir penguasa. Pada masa Orde Lama, warga negara yang baik adalah warga negara yang berjiwa revolusioner, anti imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Pada masa Orde Baru, warga negara yang baik adalah warga negara yang Pancasilais, manusia pembangunan, dan sebagainya.

Sejalan dengan visi pendidikan kewarganegaraan era reformasi, misi mata kuliah ini adalah meningkatkan kompetensi mahasiswa agar mampu menjadi warga negara yang berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis. Sehubungan dengan itu, Ace Suryadi dan Somardi (2000:5) mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan difokuskan pada tiga komponen pengembangan, yaitu (1) civic knowledge, (2) civic skill, dan (3) civic disposition. Inilah pengertian warga negara yang baik yang diharapkan oleh pendidikan kewarganegaraan di era reformasi.

Pendidikan kewarganegaraan di era reformasi dituntut merevitalisasi diri agar mampu melaksanakan misi sesuai dengan visinya itu. Hingga saat ini mata pelajaran tersebut seakan tidak memiliki vitalitas, tidak berdaya, dan tidak dapat berfungsi secara baik dalam meningkatkan kompetensi kewarganegaraan.

Dalam penataannya di dalam struktur kurikulum, Belinda Charles dalam Print (1999:133-135), merekomendasikan isi pendidikan kewarganegaraan dapat ditata dalam tiga model, yaitu formal curriculum, informal curriculum, hidden curriculum. Dengan model formal curriculum, implementasi pembelajarannya dapat menembus berbagai mata pelajaran (cross-curriculum). Dengan model informal curriculum dapat diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, seperti kepanduan, klub-klub remaja, PMR, kegiatan rekreasi, dan olah raga. Model ini justru efektif dalam pembentukan karakter remaja. Dengan model hidden curriculum, seperti misalnya etika, dapat dikembangkan dalam tingkah laku sehari-hari.


Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk memberikan kompetensi sebagai berikut.

  1. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

  2. Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

  3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

  4. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Pusat Kurikulum, 2003:3).



  1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   30


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət