Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə14/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   10   11   12   13   14   15   16   17   ...   60

Tiba-tiba Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan seorang seperti nona bidadari ini. Tak salah dugaannya, tidak keliru dia menjadi seperti tergila-gila. Memang sesungguhnya nona ini seerang bidadari yang menjelma di permukaan bumi. Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta, kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai penghormatan seorang terpelajar, kemudian katanya,

"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu daripada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andaikata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"

Agaknya ucapan ini mempunyai pengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan marah kepada seorang asing tanpa menyelidik lebih dahulu. Ia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar. "Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"

"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uh, benar-benar aneh kalau kau malah membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya dia membawa saputanganmu, dari mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan.

Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang ia menjawab, "Tadi aku berlatih seorang diri di sini dan saputangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan saputangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan Saputanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"

"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia menciumi saputanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah aneh kelakuannya itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat saputangan itu........ diciuminya....... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."

"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada encimu sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.


"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu dan memukul kepala Kun Hong. Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.

"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dulu. Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali. Diam-diam iapun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Akan tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta!

Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi saksi!"

Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan takut, bahkan menjilat-jilat sikap mereka. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.

Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula Kun Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, akan tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.

Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu? Mengapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi saputangan seorang nona yang asing baginya? Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan saputangan sutera yang harum itu melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan saputangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,

"....... ini, saputanganmu, Nona....... maafkan aku ....... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu ......."

Hui Kauw menerima saputangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka daripada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata

Kun Hong tetap tunduk, kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat dia nampak lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini. Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.
Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat keributan? Apa kehendakmu sebetulnya?"

Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dah penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan baginya sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.

"Sesungguhnya, tiada seujung rambutpun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada, penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minurnan. Siapa kira perbuatan ini akan berakibat panjang......."

Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, kemudian penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!

Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas. "Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Alangkah gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"

"Bukan apa-apa, hanya bertemu di jalan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan ia seorang gadis berjiwa pendekar."

"Ah, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan biarpun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."

Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana seperti seorang ahli filsafat. Kekagumannya membuat dia lancang berkata,

"Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit......."

Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tak dapat melihat betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku....... aku seorang buruk rupa......."


"Nona, biarpun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabuhi aku. Kau seribu kali lebih cantik jelita daripada adikmu......." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari mulutnya tanpa pengendalian, namun Kun Hong setelah sadar tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.

"....... pandangan seorang buta....... ah, andaikata kedua matamu dapat melihat, mungkin berbeda ucapanmu....... ah, alangkah besar inginku melihat kau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi......." nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.

"Sahabat buta, siapakah namamu?"

"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."

"Hemm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta....... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau....... eh, menangis dan menciumi saputanganku. Betulkah itu?"

Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan berkeberatan untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapapun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia seperti melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.

"Kalau begitu....... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa....... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"

"Tidak.......! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri....... dengar baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Kemudian kau pergi....... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan saputangan itu di atas meja....... dan aku....... ah, mungkin aku sudah gila....... aku teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu....... dan mungkin aku menangis sambil menciumi saputangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."

Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya....... asmara yang menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai dan berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemm, saudara Kwa, silahkan duduk."

"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon pertolonganmu agar supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas daripada bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."


Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong miringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,

"Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"

Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata! Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau memperdulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.

Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi tawanan? Baiklah kita ikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan lebih dulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman.

Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching). Biarpun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dahulu ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik dan ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang ia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil telah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari ia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena amatlah berbahaya melakukan perampokan di kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan, malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia setahun kurang lebih, ia membawa atau menculik bayi ini pula!

Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis, yaitu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas). Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkannya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan sebaliknya, biarpun Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya daripada hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa. Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila kepadanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!

Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang bercacat (baca Rajawali Emas) kemudian tewas di puncak Thai-san, Liu Bwee Lan menjadi pemilik Pula Ching-coa-to dan berganti nama Ching toanio. Hubungannya dengan Giam Kin itu menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu. Sudah tentu saja orang berwatak seperti Ching-toanio ini, kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang. Adapun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat ia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.

Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini. Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang telah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada keesokan harinya di waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus sepprti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali!

Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu tanpa perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh kalau Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik. Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu tidak banyak selisihnya dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang ia temukan di antara kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas. Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah di waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.

Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni Ching-coa-to, yaitu Ching-toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya,

Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang ketika ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor. Padahal tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu telah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan tempat yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil daripada pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio dan dibantu oleh orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan lain-lain.

Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang cepat ke bawah. Ia berusaha mempergunakan ginkangnya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang dan ia terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!

"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya. Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih pening karena kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andaikata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung semenjak kecil. Ayahnya tinggal di pantai dan laut merupakan tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut dan hidungnya, kesadaran kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu.

Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat enam orang laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya!

Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya kaget dan heran sekali betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki. Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ,

"Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu....... lucu....... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"

Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka kurang ajar, agaknya perintah itu amat menyenangkan hati mereka dan sctelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperte orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.

"Heiii, tunggu, aku akan tolong padamu, Nona manis!" teriak seorang laki-laki yang berenang cepat.

"Sam-ko, biarkan aku yang pondong ia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.

"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dulu dialah yang berhak mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.

Akan tetapi sama sekali tak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini mereka benar-benar akan menghadapi seorang "iblis air". Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap gadis yang "tenggelam" tadi, di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat. Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang amat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul kembali ke permukaan air menjauhi bahaya ketika "ikan besar" itu menyerang mereka. Kalau saja kejadian itu berada di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat. Dan tak lama kemudian, tampaklah enam orang pembantunya tersembul ke luar kepala mereka, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri.

Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!

1   ...   10   11   12   13   14   15   16   17   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət