Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə22/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   18   19   20   21   22   23   24   25   ...   60

Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan perhubungan dengan bekas anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan. Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan dua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok tentang mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.


Mendengar permintaan Tan Hok supaya mereka menanti di situ, Koai To-jin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata.

"Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai sekenyangnya, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tidak akan sempat main catur lagi!" Dalam sekejap mata saja papan catur sudah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini.

Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu cepat-cepat mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba dan membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, sebagian lagi duduk bercakap-cakap.

Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san pai. Tiba-tiba dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap mengancam. Dia tersenyum dan menegur,

"Sahabat-sahabat di depan bukankah para eng-hiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"

"Tentu saja kami adalah anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.

Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar amat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Namun menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.

"Ah, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian......"

"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!" Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka.

Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru, "Saudara-saudara, jangan serang aku......!

Beritahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh.......!" Akan tetapi mana mungkin dia menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang dan terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya. Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, namun ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apalagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah. Dia mengamuk. Sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan....... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.

Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.

"Salah mengerti....... aku....... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai......." kata Tan Hok yang roboh dengan tubuh lemas. Teman-temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam. Tanpa banyak cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu!

Hiruk-pikuk suara senjata beradu, berdencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan terlatih kuat. Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apalagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan. Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.

Keadaan Koai To-jin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan mainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat daripada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai To-jin ini. Akan tetapi pada saat itu dia pun repot menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua! Namun, Koai To-jin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyoknya mendesak terlampau dekat.

Betapapun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, namun fihak pengeroyok ternyata lebih kuat.

Apalagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau-balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu-ragu dan bingung mengapa orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk.

Kakek ini tidak menggunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah. Tan Hok kaget sekali, berusaha menangkis dah berseru penuh keheranan dan kemarahan,

"Song-bun-kwi.......!" Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!

Kacau-balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai To-jin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tidak enak bagi fihak mereka. Lawan terlampau kuat, apalagi dibantu kakek luar biasa itu. Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.

"Saudara-saudara, mundur.......! Lari turun gunung.......!" Seng TekCu berseru keras. Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, melainkan mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apalagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini. Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung.

Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan masih bernyawa, membuat mereka berkeras kepala tidak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang Houw, dua harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.

"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!" Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok mundur dan berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini amat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.

"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"

Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya, ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat seperti ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tak dapat dicabut kembali. Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan....... dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok, akan tetapi dengan nekat mereka menerjang lagi dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras.

Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.

"Krekki! Krek!!" Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.

"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.

Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.

"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi......!!" bentak Kam Bok yang sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi biarpun juga seorang tinggi besar namun bukan seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.

"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai takkan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"

Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi? Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan!

Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apalagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang tak diketahui jelas bentuknya dalam keadaan remang-remang itu, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu dan terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput.


******

Berpekan-pekan lamanya Beng San dan isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lalu benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya melakukan pemeriksaan dan alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.

"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya kepada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.

"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengar sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."

Sejak hari itu Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Selalu anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu harus berada di dekatnya, tak boleh berpisah sebentar pun.

Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya.

"Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"

Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau Cui Sian kelak akan mengalami nasib seperti cicinya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.

"Suamiku, kiranya kau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya kalau aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini........ Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."

"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."

"Memang demikian, hatiku tidak enak saja......."

Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan. Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tak mungkin rasanya di malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.

Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tiada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.

"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan? dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepala di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.

Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cicimu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.

"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan......." Cui Sian merengek. Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi.

Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang. Jelas sekali, diudara sebelah barat, meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tak salah lagi, itulah panah api yang dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang daripada tadi.

"Bawa dia masuk......." kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.

Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.

"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang. Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang dan para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Ia melihat suaminya berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.

"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.

Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia......."

Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami istcri itu menegang.

"Li Cu, aku harus turun dari sini melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh." Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.

"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."

"Jangan.......!" pinta Li Cu.

Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,

"Li Cu.......! Jangan bilang bahwa kau....... takut?"

Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah........ aku....... tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."

Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa dapat mengganggu Cui Sian kalau kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tak sembarangan orang dapat melewati jalan rahasia kita."

"Tidak, suamiku....... sekali ini saja....... kau bersamaku menjaga Cui Sian."

Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu.telah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!

"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan keren. "Baiknya hanya batu ini yang mendengar ucapanmu tadi. Karena dia sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai bicara seperti itu? Kau tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin Thai-san-pai kedatangan musuh,ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"

Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku....... kau pergilah, kau benar. Tapi....... hatiku tidak enak....... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita......."

"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.

"Srattt!" Kembali sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!

"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"

Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan lari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung. di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan malah terdengar suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah fihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, malah masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara. Matanya menyapu cepat melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua.

Adapun di sebelah barat dengan kaget dia kenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

"Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!!"

1   ...   18   19   20   21   22   23   24   25   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət