Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə21/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   17   18   19   20   21   22   23   24   ...   60

Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan makin lemah, boleh dibilang segala keputusannya tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.

Sayang sekali bahwa pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang. dan pemuda yang mudah sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam. Hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.

Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andaikata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.

"Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.

"Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kemudian kaisar menyerahkan sebuah surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apabila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo di waktu keadaan memerlukannya."

Kun Hong sebetulnya tidak perduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.

"Kemudian bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang. "Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Karena tahu akan ancaman bahaya, surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di antaranya termasuk aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia dan tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang dan menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguhpun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."

"Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"

"Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga daripada nyawaku!"

Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.

"Paman Tan Hok, surat itu hanya surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau anggap lebih berharga daripada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"

Sejenak Tan Hok tidak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

"Hiante....... Hiante........ kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja, saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang tahu akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar terkejut. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kauanggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."

Tan Hok memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau seorang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan kepadamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!"

Kun Hong kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."

"Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintahan yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula kesejahteraan rakyat, kemajuan, kemakmuran, ketenteraman hidup, semua berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Biarpun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga kalau pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa memperdulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai sebrang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya."

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, maupun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot. Akan tetapi oleh karena dasar daripada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat daripada diri sendiri, yaitu sifat yang amat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat mcnerimanya.

"Terima kasih, Paman. Sekarang aku mengerti dan maafkan prasangkaku yang bukan-bukan atas usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, sekarang giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."

Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan perebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan dan mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.

Mendengar ini, Tan Hok menjadi girang. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andaikata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."

Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang amat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yahg paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai, apalagi Ka Chong Hoatsu, benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."

Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."

Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beritahukah kepadaku resep obat itu."

Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak hanyak macamnya dan yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.

Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu amat mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini kalau tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, maupun nyawa. Alangkah mulianya, alangkah besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu. Tapi dia seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?

Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau-balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing. Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Kalau para pembesar dan yang menyebut diri sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.

Semua renungan ini membuat Kun Hong. berduka karena dia tidak berdaya untuk ikut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Penting sekali surat itu, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa banyak terjadi pertumpahan darah. Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Inipun akan merupakan sebuah usaha perjuangan membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.

"Duhai Cui Bi......." keluhnya sedih, "...... ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak merugikan aku sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka......"

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san.

Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biarpun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kangouw tidak mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?

Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Adapun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek-kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan). Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sukar dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apalagi Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.

Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu amat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek-nya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.

Seperti telah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.

Beberapa bulan setelah menikah. Tan Sin Lee membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia memiliki sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati karena keramahan dan kedermawanan mereka, oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu.

Adapun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang amat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang aseli. Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabung ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat, di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.

Demikianlah, biarpun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai dan isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, telah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan (baca Rajawali Emas), membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.

Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu, Puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahirlah seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang. "Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh daripada mendiang cicinya, ha-ha!"

Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu dan dua titik air mata menghias bulu matanya. "Siapa....... siapa namanya.......?" tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata,

"Cui Sian namanya, ya....... dia Cui Sian......" Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata kedua orang suami isteri ini.

Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin pula melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya, malah nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.

Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi makin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, malah disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biarpun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Seringkali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.

Tiga tahun terlalu cepat Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa berkumpulan ini kelak akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tidak mengutamakan jumlah banyak, melainkan mengutamakan mutu. Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama makin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.

Pada hari itu menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,

"Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biarpun ketuanya adalah terhitung saudara angkat pernah muda, namun dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah fihak tuan rumah memperkenankan, barulah saudara-saudara naik."

Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggauta dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang-siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai. Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Tan Hok dan Pek-lian-pai. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan Ilmu Golok Kong-thong-to-hoat.

Adapun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai lo-cianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu. Orang ke dua adalah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat daripada bambu dengan ujung tali. Di punggungnya tergantung sebuah papan catur sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai To-jin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai To-jin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.

1   ...   17   18   19   20   21   22   23   24   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət