Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə15/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   11   12   13   14   15   16   17   18   ...   60

"Eh-eh-eh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini .......?"

"....... celaka....... anak iblis itu.... agaknya ia anak siluman telaga.... ikan-ikan mengeroyok kami..... waduh, celaka.......!" seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping.

Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka goblok, tolol, penakut dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di pinggir tepi muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu. Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!

Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, akan tetapi ia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada padanya. Sambil memeras pakaian dan rambutnya, ia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!

Hatinya girang bukan main karena sekarang ia telah sampai di tepi teiaga. Kalau ada perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Akan tetapi bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini karena desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya! Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tidak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh pohon-pohon buah. Girang hatinya melihat beberapa pohon penuh dcngan buah yang sudah matang.


Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi, tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka ini berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar berpakaian pendeta berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar, pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung banyak rahasia, sukar baginya untuk dapat mencari Kun Hong.

Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap. Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu tak boleh dipandang ringan, kemudian menyelinap di antara pepohonan mengikuti tiga orang itu dengan hati-hati. Karena ia tidak berani mengikuti sampai dekat, ia tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu.

Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu. Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai dan mendengarkan percakapan di dalam.

Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan yang berbentuk bundar, ruangan yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup yang sengaja ditanam di situ. Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar dan berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya.

Akan tetapi semua kemewahan itu tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal ayahnya tidak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.

Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan, tubuhnya kecil kurus seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu. Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang perawakannya ramping menarik, kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Dari senyum dan lirikan mata mereka menyambut kedatangan dua orang ini, dapat diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang "besar" dalam arti kata berpengaruh di dunia kangouw sehingga sikap mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.

Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat bangkit berdiri dan membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.

"Selamat datang....... selamat datang. Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Ia menjura dengan sikap menghormat.

"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.

Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil berkata, suaranya tenang sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."

Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri....... orang sendiri....... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan ......."

Akan tetapi hwesio tua segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidaksabaran hatinya.

"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut pinceng? Apa artinya penghormatan seperti ini?"

Jelas bahwa biarpun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, terang kepada Bouw Si Ma tidak juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Agaknya dia merasa kecewa sekali sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk membicarakan urusan rahasia yang amat besar, tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.

Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak Thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.

Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,

“Tai-su tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberitahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Tai-su? Hemm, dia itulah yang tak diundang, maka wajib disingkirkan."

Loan Ki kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan "tamu tak diundang" oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat hatinya berdebar dan matanya terbelalak heran.

Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, lalu terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela, Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula, akan tetapi sudah tak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!

"Omitohud.......! Bukankah itu yang disebut Hui-seng-kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?" Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang menjadi muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan hoat-sut (ilmu sihir), amat berbahaya dan kalau sudah tinggi tingkatnya, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa menggunakan pedang sekalipun. Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, benar-benar mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga diundang oleh Ching-toanio, "Aha, siapa kira orang-orang muda sekarang mendapat kemajuan begini hebat? pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tak sadar bahwa dunia ini makin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda..... ha-ha-ha-ha!"

Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum, "Benar pendapat Tai-su. Sam-wi li-hiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."

"Benarkah? Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan roboh."

Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Sekali waktu kami bertiga yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang telah merobohkan mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."

Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang dan mendengar semua ini dengan hati berdebar. Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian kepada enam orang itu yang mulai minum-minum dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa didalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin berkhawatirlah ia karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu meninggalkan pulau berbahaya ini.

Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak Thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Seperti juga Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka juga Bouw Si Ma ini menaruh dendam kepada Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak Thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula.

Bouw Si Ma sebagai saudara tingkat tua dalarn perguruan, tentu saja mengenal pula Ching-toanio dan seringkali mengunjungi pulau ini, apalagi sejak Giam Kin tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka seringkali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia.

Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek Hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-san. Kini tiga orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman akan tetapi selain ilmu kepandaian yang hebat mereka pelajari, juga seperti halnya Hek Hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun! Setelah merantau ke See-thian dan menjumpai guru mereka, seorang pendeta di Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek Hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian. Dengan amat cerdiknya Bouw Si Ma yang dalam hal mencari oraug pandai untuk sekutu mewakili Ching-toa-nio, segera menggandeng tiga orang enci adik ini, apalagi mengingat bahwa mereka juga mempunyai dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak seperguruan mereka. Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat, merupakan inti daripada Ilmu Pedang Hwa-seng-kiam-sut, yang sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan hoat-sut, hawa pukulan saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.

Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini, bernama Sublai dalam Bahasa Mongol dan dalam dunia kangouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Du Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya adalah tokoh Mongol nomor satu. Sebagai seorang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan Tiong-kok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai mainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.

Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, seorang pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah di Tibet pernah menerima hadiah tongkat kependetaannya. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha. Dahulu dia bercita-cita menjadi orang tertinggi kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan, sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia bercita-cita membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya.

Seringkali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri! Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi daripada tingkat si empat besar yang dahulu ditonjolkan di dunia kangouw yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek Hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat daripada baja pilihan di Himalaya, Juga amat berat dan kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!

Pokoknya enam orang yang berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu usaha membalas dendam kepada Thai-san-pai dan usaha membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.

Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menanti datangnya Ching-toanio yang sudah diberitahu oleh seorang pelayan, muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini cepat menjura dengan hormat sekali sambil berkata,

"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya telah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu merupakan mata-mata fihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."

Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis enam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan pandang mata penuh selidik.

"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.

"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.

Sebelum yang lain tahu apa yang mereka maksudkan, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.

"Brakkkkk!" Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau telah meloncat masuk kernbali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki! Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguhpun kedua matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela.

Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah dan tiba-tiba berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak namun gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap dan ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.

Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini, akan tetapi tidak memperlihatkan muka takut, malah ia tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.

"Bocah liar, siapa suruh kau memata-matai pulau kami?" Ching-toanio menghardik, suaranya penuh ancaman.

Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya maksud buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?" Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau gua naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.

"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa!" Ching-toanio membentak.

"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Adapun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"

Tiga orang laki-laki yang berada di situ tersenyum, malah Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini menyuramkan "sinar" mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.

"Budak! Kau berani kurang ajar di depan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?" teriak Ching-toanio dan bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki. Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri kalau ia tidak cepat-cepat mempergunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sukar dari ilmu silat keturunannya Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat bagaikan dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya. Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, namun angin pukulan yang dilontarkan nyanya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada di punggungnya. Terdengar suara "brett!" dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.

"Oho, bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?" terdengar suara parau dari Souw Bu Lai. Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali lihat dia telah mengenalnya, apalagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kangouw.

Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi, maka ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini berseru "Toanio, tahan dulu!" Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki,

"Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li-kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"

"Hemmm, bagus kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!" Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapapun juga ia takkan mampu melawan, baru nyanya galak itu saja sudah begitu hebat, apalagi yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Daripada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.

"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan ?"

Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada mengedikkan kepala dan meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata,

"Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"

Akan tetapi mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."

1   ...   11   12   13   14   15   16   17   18   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət