Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə16/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   12   13   14   15   16   17   18   19   ...   60

Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh berahi. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika ia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.

"Budak liar! Hayo katakan kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.

Biarpun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Ia seringkali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apalagi dari golongan hitam.

Setelah berpikir beberapa detik lamanya, ia lalu tertawa dengan nada sombong sekali.

"Hi-hi-hik, biarpun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!"

Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini.

"He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?" Tanya Ka Chong Hoatsu.

"Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan nonamu ini Tan Loan Ki adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa berani menentang ayahku?"

"Ha-ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui. Mereka menarik napas lega dan menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia. Pertama, ia tahu bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu.

Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki dan berkata,

"Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah segolongan, maka tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?"


Loan Ki tidak goblog untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Iapun tersenyum ramah dan berkata, "Wah, ayah tentu girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kangouw. Bagus, karena cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar ditambah sepuluh kali jumlah mereka takkan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to." Seperti lagak anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang tak pernah terjadi tentang pengeroyokan. Padahal kalau tidak ada Kun Hong, mana ia bisa mendapatkan mahkota itu?

"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi pinceng bolehkah melihat sebentar?" Tongkat hwesio itu menyelonong ke depan, Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!

"Ha-ha-ha, tenang, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini mahkota yang aseli." Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota, melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai daripadanya.

Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut.

"Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!"

Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak dan Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan gadis ini bulat-bulat. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.

"Kau mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.

Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih ! berkilat di balik kumis panjang, kumis model Mongol, "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku......."

"....... kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!" tukas Loan Ki galak.
Souw Bu Lai tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memamg, aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."

"Wah, sudahlah, aku tidak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, kembali ke darat."

"Kau datang tak diundang, pulang pun tak usah minta diantar," jawab Ching-toanio cemberut.

"Hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tidak boleh pinjam, curi pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu.

Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang amat cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu pun tiba-tiba berhenti, begitu tiba-tiba dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang pandai. Keduanya berpandangan dan tak terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji, "Aduh cantiknya......"

Orang itu bukanlain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi, wajahnya terawat baik dengan bantuan pelayan-pelayan ahli, pakaiannya selalu mentereng sehingga biarpun ia puteri seorang pemilik pulau, namun sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga kaisar di istana! Maka tidaklah heran apabila Loan Ki segera memujinya, sungguhpun ia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri takkan kalah baik bentuk wajah maupun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan Hui Siang, akan tetapi karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau dan kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih, kalah halus, dan pakaiannya juga kalah baik.

Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya amat galak dan sombong. Karena hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki,

"Budak hina! Apakah matamu buta? Eh, kau pelayan barukah? Belum pernah aku melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"

Loan Ki mendongkol sekali, ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata, "Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw telah membikin malu kita, kali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita diseret ke dalam lumpur!" Gadis ini mengerling ke kanan kiri seakan-akan tidak memperdulikan orang-orang yang berada di situ. Sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat sekali lagi ketika ia melihat Hui Siang.
"Hui Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?" Ching-toanio berkata, kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.

"Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya....... dia berpacaran dengan enci Hui Kauw!"

"Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!" ibunya membentak marah. Biarpun di dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel buta.

Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh ibunya yang biasanya memanjakan. "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan saputangan suteranya kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi saputangan itu. Aku marah dan menyerangnya, eh....... kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Lalu muncul enci Hui Kauw dan....... enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas .......?"

"Waaaaahhhhh, mata keranjang! Tidak punya mata tapi bisa mata keranjang, apa yang lebih aneh daripada ini? Dasar laki-laki!" Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang cepat melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi saputangan sutera? Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya.......

"Dasar tukang cium.......!" Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang mengkal.

Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya dan tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh laki-laki tinggi besar.

Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandangnya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar.

"Nona, kau tidak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat penting," katanya sambil mendekat.

Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah mau menyerangnya, akan tetapi ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di belakangnya. "Aku tidak sudi!" katanya setengah membentak. "Biarkan aku jalan sendiri!"

"Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan menghubungkan kami dengan ayahmu," kata pula Souw Bu Lai.

Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakangnya, cepat ia miringkan tubuh membalik. Kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu! Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan menangkapan ini benar-benar cepat dan hebat, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.

"Monyet-monyet tua muda, kalian mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu jurus!" ia memaki-maki.

"Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular kita, Ibu?" Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik. Bergidik juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok ratusan ular, ia benar-benar merasa ngeri dan kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut-takut kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!

"Ha-ha-ha, dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?" Ka Chong Hoatsu berkata. "Pinceng curiga terhadap sahabat yang buta itu, maka sementara ini pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke taman menemui orang buta itu."

Beramai mereka lari ke taman bunga mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat kedua tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam gadis ini harus mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri. Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki. Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi saputangan seorang gadis bernama Hui Kauw, ke dua kalinya karena ia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang ia menjadi seorang tawanan, dibelenggu seperti seekor domba! Awas kalian, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekaii ayahku kuberitahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini dibumi hanguskan, tak seorang pun manusia atau seekor pun mahluk diberi hidup! Akan tetapi, di balik ancamannya ini, ia sendiri ragu-ragu apakah ayahnya akan mampu menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama sekali hwesio tua itu.

Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tak dapat menahan mulutnya lagi berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong,

"Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!"

Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki ini. Ia tidak perdulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,

"Ki-moi! Kau selamat? Syukurlah!"

"Hong-ko, kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang, hampir mampus, menerima hinaan orang, tapi kau....... kau malah berpacaran dan enak-enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"

Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya. "Ki-moi, jangah kau percaya akan fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani menghinamu?"

Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka terdengar bentakan marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka dan memaksa mereka mengalihkan perhatian.Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh kemarahan,

"Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang balasanmu? Berjina dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!"

Terdengar oleh Kun Hong suara "plak-plak-plak!" tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Biarpun tak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa dara bersuara bidadari itu telah ditampar tiga kali mukanya oleh si ibu yang galak.

"Ibu....... maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan....... dan aku sama sekali tidak melakukan perbuatan tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini memasuki taman menemukan saputanganku yang tertinggal di sini. Harap ibu jangan mempercayai segala fitnah keji......."

"Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!"

"Srrrrrttt! Singgggg!" Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorang pun di antara para tamu berani mencampuri urusan antara ibu dan anak. Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang ditangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tidak bergerak seakan-akan sudah rela menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan memenggal lehernya dan maut yang akan merenggut nyawanya.

Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan berkelebat. "Criinggggg" Pedang di tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujungnya melayang ke atas entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang Ching-toanio, menggetar dan mengeluarkan bunyi! Ching-toanio berdiri seperti patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada di situ, kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.

"Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang gadis muka hitam!" Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.

Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak memperdulikan teriakan Loan Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya itu. "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak membunuhmu?" Ucapan ini selain mengandung perasaan kasihan, juga merupakan teguran. Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.

"Saudara Kwa, ia....... ia ibuku......." jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak tertahan. Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran mengapa ibunya seperti itu?

"Dia bukan ibumu!" Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.

"Heeeee? Saudara Kwa....... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini.......?"

"Dia tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun takkan mungkin membunuh anaknya, apalagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan ibumu!" suara Kun Hong lantang.

Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana kelihaian ilmu pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat di tandingi oleh kebanyakan ahli silat ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching-toanio, benar-benar membuat hwesio tua ini tidak mengerti. Padahal yang dipakai untuk menangkis hanya sebatang tongkat, dan gerakannya ketika menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak luar biasa.

Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. Dibuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini. Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk di akal. Ia tidak tahu bagaimana caranya pedangnya sampai patah tadi, akan tetapi ia tidak perduli dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat di luar pengetahuannya.

Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju, "Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri urusanku?"

Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi, malah kalau tidak keliru, menurut pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus,

"Harap Toanio dan Cuwi sekaiian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri? Toanio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tidak melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."

"Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biar kuwakili kau membereskannya!" bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena wanita bekas kekasih sutenya ini tadi mengalami penghinaan. Dia adalah seorang Mancu yang berangasan, dan dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi lebih tinggi daripada Ching-toanio, murid dari Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.

"Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, lancang memasuki tempat tinggal orang berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!"

Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa orang ini tentu lebih lihai daripada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.

"Bouw-enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap bertingkah atau menjuai lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik dan kalau kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan mencampuri urusan orang lain."

Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jerih dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia tertawa menyeringai dan membentak lagi,

"Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira di sini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu? Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!" Serta merta Bouw Si Ma menerjang, pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong.

Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jerih atau bingung. Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini telah terlibat dalam urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Ching-coa-to. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran.

Dengan hati sedih dia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin berat dan hebat. Namun, orang yang diserangnya bergerak aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.

1   ...   12   13   14   15   16   17   18   19   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət