Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə10/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   ...   60

"Adil matamu......!" nenek itu memaki.

"Adil mukamu....... yang jelita!" kakek itu pun memaki.

Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tapi Loan Ki benar-benar telah mengeluarkan janji yang tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri. Mana mungkin pencuri di "bayar" dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri di dapur rumahnya? Tak masuk di akal dan alasan anak-anak, maka dia pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata,

"Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini supaya mengemis makanan. Siapa kira dia tidak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."

Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki twa-nio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.

"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia dapat kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.

"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang gajal, kenapa kau sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, bisa kepala mereka menjadi makin besar dan kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini "merusak" suasana yang sudah begitu baik. Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan.

Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya. Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya. Ia menjejakkan kaki ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Di lain saat ia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.

Kun Hong tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Akan tetapi karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,

"Ki-moi, sesudah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Kalau kau melanggar aku tidak mau bicara lagi denganmu!"

Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau-balau dan dengan nekat dan ngawur ia menyerang membabi-buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.

"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada temannya.

Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina Hitam) tak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan ia berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu dan menusuk-nusuk tulang sumsum!

Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya. Angin menderu dan diam-diam Kun-Hong menjadi kaget dan khawatir, jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini memiliki tenaga dahsyat yang tak boleh dipandang ringan. Biarpun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat, tetap merupakan bahaya bagi Loan Ki.

"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru, tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan terbuka dan....... di lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau itu!

Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"

"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.

"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku!"

Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya.

Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada saat itu Loan Ki tertawa haha-hihi. Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"

"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."

"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari twa-nio dan siocia, tapi karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima hinaan orang!"

Kun Hong cepat menjura. "Marap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami orang-orang muda. Kalau perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf. Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."

Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,

"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap twa-nio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda, benar-benar lucu kalau ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak mcnghadap majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tapi agaknya kalian mengandalkan kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba dulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi? Awas serangan!" Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan....... sebelum Ban-gu-thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya telah pindah ke tangan orang buta itu! Dan tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong mengangsurkan golok kepada pemiliknya.

"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi di ikuti temannya. Loan Ki mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung mereka.

"Hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.
"Apanya yang lucu! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran, siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka itu tak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."

Loan Ki cemberut. "Tak sudi aku minta maaf! Apalagi kepada twa-nio dan siocia yang mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku memberi hajaran kepada mereka."

Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tak baik pula kita tinggal bersama-sama di sini, kalau mereka datang lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah melakukan perjalanan, lebih baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini lebih aman kalau berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-mudahan lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."

Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti orang kaget. Agaknya ia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu berdiri.

"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.

"Eh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."

"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."

"Heh?" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tak sudi ke sana, tak sudi minta maaf!"

"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu dipukuli kepalanya oleh twa-nio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"

Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan diajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat menghilangkan gadis kepala batu ini.


Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Hebatnya, perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang besar dan luas. Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.

Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu mengenal tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut "Daerah Ular Hijau" seakan-akan berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau. Orang mencari kayu kering sekali pun tidak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.

Para pedagang sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.

Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai "berlari di atas air" dan pandai "terbang"! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak seorang pun pernah menyaksikan dengan mata sendiri.

"Hong-ko, keadaan mereka amat aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyi bukan main."

"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"

"Aku tidak pergi kesana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, menotok roboh empat orang pelayan dan merampas makanan dan arak.”

"Kau memang nakal."

"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."

"Habis bagaimana?"

"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga. Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."

"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.

Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau akan tetapi juga tidak kelihatan ada manusia di sekitar telaga. Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya ia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di sebelah kiri jalan, lalu menyelinap di antara pohon-pohon.

"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu sebelum pemiliknya datang melihat kita."

"Huh, kau hendak mencuri lagi?"

"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Kau benar-benar terlalu suci hatimu, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hohg terpaksa tersenyum.

"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."

Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu kecil yang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga. Perahu itu kecil mungil, bentuknya ramping dan ujungnya meruncing, terikat kepada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf "Ching-coa" (Ular Hijau).

"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."

Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.

"Perahu kecil tapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ah....... nikmat benar berperahu seperti ini. Hemm....... sayang tidak ada arak ......."

Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang laki-laki duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."

"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"

"Tak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar malah di samudera besar bersama ayah."

Memang nyaman sekali hawanya di tengah telaga. Angin bertiup perlahan membawa keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran. Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai sebuah sajak yang segera disenandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.

"Biduk kecil meluncur laju, menentang hembusan angin lalu membawa harum seribu kembang tambah nyaman ayunan gelombang membikin si buta ingin bertembang wahai kasih aku di sini!!"

Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"
Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa dengan pamannya dan hidup bahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi."

Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya ia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.

"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya sedap didengar, dan suaramu empuk benar."

Kun Hong tertawa. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa aku membubung tinggi ke awang-awang oleh pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"

"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari depan? Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita."

Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tidak suka mengunjungi tempat orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."

"Hemm, agaknya kau sudah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini......."

"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat daripada tamu tak diundang?"

"Apa kau lupa bahwa kita telah, memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toa-nio atau siocia itu, baik si iblis betina tua maupun si iblis betina muda. Aku hanya ingin menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hik!"

"Kau memang nakal, Ki-moi..... heeeiii, bukan main harumnya .......!"

Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong dan terdengar gadis ini berseru lirih, "Aduuuuuhhh, hebat.......! Bukan main .....! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga.......!"

"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga dan hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.

"Taman indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah....... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko....... wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci....... monyet-monyet di pohon....... burung-burung beterbangan, merak........ aduh indahnya......."
Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya makin jelas tampak, senyumnya membayangkan kepahitan. Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengannya dan kini suaranya sudah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."

Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.

"Ada apa, Ki-moi?"

Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini." Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya.

Akhirnya dapat juga ia minggir. "Kita mendarat, Hong-ko." Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.

"Lho, di mana kita ini.......?" Tiba-tiba ia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.

"Ada apa lagi, Ki-moi?"

"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tidak mengerti. Ke mana lenyapnya taman surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"

"Barangkali hutan ini merupakan bagian daripada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang........ hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi."

"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?"

Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.

"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau....... amisnya ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar."

"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan berhati-hati dua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat seperti kilat menyambar. Loan Ki kaget dan menengok ke kiri dan...... ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuh mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan. Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali kepada pemuda buta ini. Bagaimana seorang buta malah lebih "awas" daripada ia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?

"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"

"Hijau......." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Ia maklum betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.

"Hemm, ching-coa (ular hijau)....... agaknya penghuni aseli pulau ini ....... Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh."

Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin, "Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat .......!"

1   ...   6   7   8   9   10   11   12   13   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət