Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə8/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   60

Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong seorang yang memiliki pribadi setinggi nyonya janda itu. Biarpun seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.

"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong "akan tetapi ingat, sekali lagi kau melakukan gangguan kepada orang-orang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!" Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya, Dia tidak tahu bahwa, semenjak saat itu dia takkan mampu lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah. Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka inipun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka takkan dapat menjadi tukang pukul lagi!

"Karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu takkan tertolong lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya. Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat lehernya.

"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," kata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan ia dengan selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan pamannya, baru dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang." Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang dia lakukan itu hanyalah totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.

"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar pakaianku."

Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil menggandeng tangan A Wan berlari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis ia menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.

"In-kong............. ah, In-kong........... kau telah menyelamatkan hidupku.......... menyelamatkan nama baikku.......... In-kong, budimu setinggi gunung...... dan.............. kau seorang buta ............! Ah, betapa inginku membalas budimu .......... In-kong, andaikata dapat, aku rela memberikan kedua mataku untukmu!"

Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!

"Twa-so, jangan..............!" Suara Kun Hong tersedak karena dia menahan perasaannya dan kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh. Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah belahan pelupuk membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak gemetar.

"In-kong...........!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi sepatu yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.

"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong............ apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku takkan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong, biarlah aku membalas budimu dengan menghambakan diri............. biarlah aku menjadi bujangmu. A Wan juga.............. biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu ............"

"Yo-twaso, diam..............!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan sekali tarik dia membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"

Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, In-kong. kalau tak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula.............. pergi meninggalkan kami berdua ..............." ia terisak lagi.

Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu, diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.

"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka. Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung, di belakang gerobak, Kun Hong berjalan sambil memegang tongkat, Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.

Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan tiba di jalan simpang empat, Kun Hong berkata,

"Lao tiu, berhenti dulu." Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, jaga ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."

"Nanti dulu ..........!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lari menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong........... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu? Biar kami ikut ke mana kau pergi............." Suaranya penuh permohonan.

"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis................"

"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku.......... aku sanggup bekerja untukmu........... andaikata mengemis sekalipun................ aku yang akan mengemis, In-kong ..........."

"Cukup semua ini! Twa-so, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan di Cin-an."

"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, sampai kini belum kuketahui namamu yang mulia,"

Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai sibuta......... dan eh, jangan lupa .........." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.

"...... si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!" Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan.............. melontarkannya ke depan.

Janda itu menjerit lirih, tubuhnya melayang dan............ jatuh dalam keadaan duduk di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya "terbang" tadi.

Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi dia benar-benar gelisah ketika menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.


"Berbahaya............ !" pikirnya, dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.

"Wahai kasih, aku di sini ..............! Menyongsong sinarmu yang hangat....."

Kata-kata dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya di saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai kasih, aku di sini............!"

Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyiannya, pikirannya selalu melayang dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu adalah pengganti diri Ciu Bi baginya! Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali, akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.

"Wahai kasih aku di sini.............! Dalam perjalanan nan sunyi...................."

Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas. Plok! Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya sebutir buah apel masak yang menyambarnya tadi, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.

"Perutku memang amat lapar dan bau buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.

"Hik, hik!" terdengar suara wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Lalu tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga. Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak dan harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyutn girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu. Dengan mulut penuh daging buah dia berkata. "Terima kasih...... terima kasih........." sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.

"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, si genit puteri Hui-hou-pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"

Kun Hong tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!


"Eh, kiranya kau........... Bi-yan-cu, Nona? Ah, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..............."

Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata, suaranya penuh kejengkelan.

"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"

Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tidak menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.

Kediaman kembali membangkitkan amarah gadis itu, terbukti dengan suara nya yang nyaring merdu penuh kejengkelan, "Ih, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"

"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam mulut.

"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."

"Jawaban apa?"

"Siapa yang kau rindukan sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw pangcu ataukah si janda muda?"

"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"

"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hik, semua ditinggalkan, lalu di jalan nyanyi-nyanyi seorang diri penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah. Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.

"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak mereka berdua."

"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini..............!"

Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, tahu segalanya. Masih begini muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, kenapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"

"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh lebih tua daripadamu."

"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"

"Ih, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah dua kali umurmu, tahu?"

Kun Hong tertawa. Biarpun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkannya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.

"Kau bocah nakal! Biarpun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"

"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata keranjang kau ........... eh, tak bermata? mana bisa mata keranjang? Kau.......... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lalu memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-hou-pangcu dan janda muda."

"Bohong! Fitnah belaka itu!"

"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, biar matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau........ sudahlah, kau menjemukan!"

Kun Hong makin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tapi malah mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.

"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"

"Kau bilang aku mengikutimu sejak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan dihati..................."

"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas kasihanmu itu dan ......."

"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan .............!"

Mendengar gadis itu mencak-mencak disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barangkali."

"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua daripadaku, bukankah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua? Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"

"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"

Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini. "Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"

"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biarpun sesungguhnya aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu tentang janda dan segala yang kualami itu?"

"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah........... mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki. Biarpun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu.

Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.

"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"

"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku mengejar mereka dan apa artinya mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan, malah ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itupun aku tidak akan kalah kalau saja............"

"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya. Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!

"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat? Ho-ho, kok aneh amat!"

"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka, membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik!"

Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak tidak tahu bahwa gadis itu memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,

"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"

"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya dapat merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm........... mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"

"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.

"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"

Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini? "Sudahlah, sekarang katakan, setelah kau berhasil merampas mahkota, kau lalu mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"

"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau telah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."

"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan semua itu."

"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main tidak sungguh-sungguh berkorban lalu melepaskan diri dengan mudah!"

Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu benar. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!

"Wah-wah, berat! Lalu hutang penyelesaian itu bagaimana?"

"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku, Ke dua kalinya, apa maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"

Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,

"Kujawab satu demi satu. Tiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapapun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biarpun ia secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa ia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andaikata bukan kau yang terancam bahaya, akupun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah.............. guruku. Nah puas?"

"Tidak puas................ tidak puas............. omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan "sratt" pedangnya sudah dicabutnya.

"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali. Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.


"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"

"Aku tidak puas karena kata-katamu tak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak bohong? Tapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"

Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,

"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang buta ditantang bertempur?"


"Kau benar buta, apa bedanya? Biarpun buta, kau lebih pandai daripada yang tidak buta, siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, akupun terluka di tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"

Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat, bahkan dahulu pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu? Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.

"Aku sudah siap."

Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, melainkan berkata dulu dengan nada suara angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"

Kun Hong tersenyum. Betapapun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat "satria" dalam hatinya. Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis, sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga. Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaiannya kepada kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat kalau dibandingkaa dengah Cui Bi, mendiang kekasihnya.

Akan tetapi tenaga Iweekangnya ternyata masih jauh daripada cukup. Dia melayani semua serangan gadis itu dengan tenang mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Gembira hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian-li-kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen. Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas, keindahannya dapat dia rasakan dari desiran anginnya, dan di dalam khayalnya Kun Hong seakan-akan melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang. Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, dan dia tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melukai tubuhnya, juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.

1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət