Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə9/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   ...   60

Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya ketika mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!
Dia pun cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.

"Nona, kau........... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah............"

"............ tidak kalah........... ! Memang tidak kalah........... hu-hu .......... tapi juga tidak menang....... u-hu-huu .......!"

Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia mengulur tangan hendak menghibur, tapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada. "Jangan........... jangan menangis, Nona........... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."

"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis aneh ia sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong. "Akan tetapi, siapa tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksa tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apalagi gurunya yang tidak buta. Ah, aku berdebat dengan ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku takkan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...........!" Dia menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.

"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau seharusnya bangga karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."

Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku rendah dan aku bukan bandingnya sama sekali. Hatinya emas tapi hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak perduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena........... lengan terkutuk ini ........... aduh."

Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat mainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Kini dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.

"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya. Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru, "Celaka.......! Mana mungkin? Ahh..........." dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.

"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang penuh kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."

"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan ..........."
"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.

"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin.......?" Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?

"Kenapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?" Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi ia segera menjerit perlahan, "........... aduuuhhh...........!"

"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan Iweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."

"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, tidak mau belajar mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."

"........... bagaimana mungkin..........?"

"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"

"Tentu saja bisa ..............."

"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"............. ya tapi .......... tapi .......... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan ..........."

"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"

"Tapi........... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di ......... ketiak ......."

"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu. kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.

Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?"

"........... bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi....."

"........... tapi apalagi?"

"Eh, maaf........... bagian yang diobati itu harus........... harus........... tidak tertutup ..........."

Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.

Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.

"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"

Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.

"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"

"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"

Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, siang dan malam sama gelapnya..........."

Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"

Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.

"....... aduh .......!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.

"Hemmm....... lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Iweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar." Kun Hong lalu membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.

"Wah....... gila......." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.

"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Iweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. Ketika dia menyalurkan tenaga Iweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga, akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.

Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,

"Kenapa, Nona ...........?"

"Aiiihhh....... hi-hik, geli amat....... jari-jarimu menggelitik ..........."

Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya. "Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona." Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disedarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.

Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau hebat!" Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,

"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"

"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah di sini ......." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti." Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya.

Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah-udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mang-kok terisi masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!

"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.

"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, supitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau memperoleh semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.

"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!" Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. Gembira sekali mereka, apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!

Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya "ingin menang sendiri". Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki pertimbangan yang adil.

Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.

"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?"

Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.

Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena salahku sendiri................"

"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!"

Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.

"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."

Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"

"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"

Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira. "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.

"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm........... untuk saat ini yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"

"Kwa Kun Hong........... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"

"Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, malah pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap, aku tahu bahwa ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu itu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?"

Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali Emas).
"Aku tahu....... aku hadir di sana......." Dia cepat menambah untuk menghilangkan. "Aku bersama ayah ibuku....." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.

"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat......."

Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu segera meloncat lagi ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san-ciang-bunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf....... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"

"Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."

"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong....... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong) saja. Bagus, kan?"

Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebutnya Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!

"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tapi kau sendiri belum memperkenalkan namamu."

Gadis itu tertawa riang. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka dipanggil Bi-yan-cu......." Nada suaranya manja.

Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"

"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kulitku amat bagus dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat kekurangan darah. Lihat lenganku ini....... eh, kau mana bisa lihat! Kenapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?" Biarpun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya dengan bibir yang mungil cemberut.

"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."

"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk, kan? Seperti nama laki-laki."

"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa kau memiliki gerakan yang lincah dan cepat seperti burung walet. Siauw-poi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"

Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh,

"Betina liar itu tentu takkan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.

"Hemm, kalau kutangkap ia, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas segera menghubungkan sebutan "betina liar" tadi dengan Loan Ki. "Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"

"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Kehilangan nasi dan masakan begitu saja mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor."

"Wah, jadi yang kita makan tadi ....." Kun Hong berseru kaget.

"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa menggoda.

"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"

Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, dua orang itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"

Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi......." dia berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan rak yang sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!"

Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan pendengarannya. Laki-laki itu sedikitnya berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda daripada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang mengandung tenaga Iweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar.

Akan tetapi Loan Ki yang melihat dua orang itu mendapat kesan yang lebih mengagetkannya. Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam dan disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang aneh bentuknya, bergagang dua dan ujungnya runcing. Kiranya itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang, tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar daripada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.

Adapun laki-laki itu yang juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning, matanya lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar dan mengkilap saking tajamnya seukuran golok tapi bentuknya persegi.

Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.

"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan membuka mulut menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"

Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab, saling pandang dan memandang ke arah mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,

"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Dihabiskannya semua, celaka. Twa-nio (nyonya) akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!" Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.

"Dan aku....... ah, aku yang kasihan....... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampus aku kalau sio-cia memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru...... celakanya, sio-cia takkan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."

Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki. "Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!"

"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.

Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak kalau kalian kelaparan dan kebetulan berada di rumahku kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji takkan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"

1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət