Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə7/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   60

Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song)

Seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.

Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang "berbudi" itu membuat surat perjanjian juai beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol. Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya "menyerahkan" isteri yang cantik manis itu menjadi "penghibur" tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.

Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah. Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya dan bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah.

Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga. Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok di masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan "pengadilan", bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wang-we dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan, isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia....... mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!

"Demikianlah, In-kong ............" Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya yang bercucuran. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja........... setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku menjadi........... isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada hartawan Song............."

Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar penuturan janda muda ini.

"........ tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan ........." janda itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong........... kalau saja aku tidak melihat A Wan......... ah ........... agaknya sudah lama aku menyusul suamiku ........"

Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

"Besarkan hatimu, Twa-so, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"

"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa ............"

Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tua penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung. "In-kong........... kau tidurlah ........."

"Biarlah, Twa-so, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."

"Aku hendak menyelesaikan ini dulu........" jawab janda muda itu. Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu. Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...........! Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta dengan hati penuh belas kasihan.

Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

"In-kong...............?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.

Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersamadhi dengan bebas.

Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak di saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur diranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?

Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.

Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!

"Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

"Celaka, In-kong............., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah........"

Benar-benar seorang ,berpribudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik bagi sijanda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

"Tenanglah, Twa-so............. tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."

"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu ............. kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu terdengar pula. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"

"Kreeeeettttt..............!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan mukanya pucat.

"Wah, tak tahu malu.............. tak tahu malu........... berjina dengan jembel buta............ kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!" Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu.

Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe ..........."

Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri. Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain seperti orang dikeroyok ribuan ekor semut. Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

"Aduh.......... a ......... a ............. aduhh........... lepaskan.........." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan. Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan. Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

"In-kong, jangan......... kasihan dia........" janda itu berseru penuh kengerian.

Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung. "Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau? Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"

"M......M... ampun.......... ampun........" dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.


Kun Hong menengok ke kanan kiri, bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton. "Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"

Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!" Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata,

"Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biar mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini jangan ikut aku ke rumah Song-wang-we. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!"

Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting. Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk , menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan "si janda Yo"!

Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat. Sambil mengomel panjang pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.

Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."

Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya.

Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya. Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”

Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

"Jangan serang................ uh-uhh....... jangan serang.............. goblok..............!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!

Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.

Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"

"Tidak............... ti........... tidak tahu........" suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja............ hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"

Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya. Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum.

Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah itu dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!

Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap, "............. ampunkan saya, Tai-hiap (pendekar besar), ampunkan saya............ saya berjanji......... tidak berani lagi..........."

Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, namun mereka tak berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itupun sekarang masih merintih-rintih tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.

"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?" Kun Hong membentak.

"Ampun............ ampun..........."

"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."

Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, ada yang iri hati kepada nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu kaget menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.

Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pcrnah!

"Twa-so, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.

"........... ah............. terlalu............. terlalu banyak untuk apa ......?" Janda itu berkata gagap.

Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"

Janda itu memandang ke kanan kiri, melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus dan pakaian mereka yang tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya lari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.

"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara penduduk dusun kita,"

Hampir saja semua orang tak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu mengulangi perkataannya, terdengar mereka bersorak sorai dan memuji-muji nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita lari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.

1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət