Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə59/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   52   53   54   55   56   57   58   59   60

Kun Hong tidak membuang kesempatan ini. Dia segera menarik tangan Hui Kauw pergi dari situ. "Mari kita pergi......" bisiknya perlahan.

Akan tetapi, di antara orang-orang yang mengurungnya, ada dua orang yang tidak ikut melangkah mundur. Mereka ini adalah Lui-kong Thian Te Cu dan Bhewakala si tokoh Nepal. Yang pertama karena sakit hatinya melihat suhengnya, Hek Lojin kalah sehingga kata-kata itu tidak mempengaruhi hatinya, adapun yang ke dua, Bhewakala, adalah seorang tokoh barat yang sudah kenyang akan ilmu-ilmu sihir. Maka begitu merasakan getaran aneh keluar dari ucapan Kun Hong disertai pandang mata Hui Kauw yang tajam mengikat semangat dan kemauan, dia terkejut dan cepat dia membaca mentera sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh yang keluar dari pandang mata Hui Kauw dan suara Kun Hong itu. Dua orang inilah yang mengejar ketika Kun Hong lari sambil menarik tangan Hui Kauw.

Akan tetapi agaknya Thian melindungi Kun Hong yang terancam bahaya. Mendadak langit yang sudah sejak tadi gelap oleh mendung tebal, kini menyiram permukaan bumi dengan air hujan disertai kilat dan angin ribut. Mempergunakan kesempatan ini, Kun Hong dan Hui Kauw mempercepat larinya, sedangkan Thian Te Cu dan Bhewakala yang maklum akan kelihaian Kun Hong, menjadi ragu-ragu untuk mengejar terus karena yang lain-lain tidak turut mengejar.

"Eh, cu-wi sekalian ini bagaimanakah? Kenapa tidak mengejar pemberontak itu?" Lui-kong Thian Te Cu bertanya dengan nada penasaran.

Setelah Kun Hong dan Hui Kauw lenyap dari pandangan mata dan hujan yang dingin menimpa kepala tubuh mereka, barulah orang-orang itu seakan-akan sadar daripada mimpi. Diam-diam. mereka merasa menyesal juga mengapa tadi mereka mendiamkan saja Kun Hong lari.
"Mereka tidak akan lari jauh," kata Kui Ciauw, orang tertua dari Ang-hwa Sam-ci-moi, "sekeliling lembah ini kalau turun hujan amat berbahaya, banyak timbul rawa berlumpur. Juga sampai beberapa li jauhnya telah terjaga oleh anak buah kami. Kalau kita kejar sekarang masih belum terlambat."

"Ha-ha-ha, sekian banyaknya orang menghadapi seorang bocah buta saja sudah kewalahan, bagaimana kalau menghadapi pasukan musuh yang kuat? Bhok Hwesio, bagaimana pendapatmu? Apakah kita tidak terlalu banyak menimbulkan heboh hanya untuk menangkap seorang bocah buta?"

Mendengar ucapan Ka Chong Hoatsu ini, Bhok Hwesio tertawa juga. "Omitohud, omongan Hoatsu memang tidak keliru. Marilah kita mengejar dengan cara masing-masing dan kita berlomba, siapa yang lebih dulu membekuk bocah itu, dialah yang terhitung jago."

"Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Bhok Hwesio tokoh dari Siauw-lim-si. Mari!" Ka Chong Hoatsu menggerakkan tongkat pendeta di tangannya, sambil tertawa-tawa dia berkelebat lenyap dari situ. Ketika orang-orang menengok ke arah Bhok Hwesio, ternyata hwesio ini pun sudah lenyap dari situ. Agaknya dua orang ini dengan hati panas hendak menguji kepandaian masing-masing dengan cara aneh, yaitu berlomba mengejar dan menangkap Kun Hong!

Melihat dua orang tokoh itu sudah pergi yang lain lalu beramai-ramai melakukan pengejaran pula, mengambil cara dan jalan masing-masing. Terjadilah perlombaan mengejar di dalam hujan ribut itu. Para anggauta pasukan dan anggauta Ngo-lian-kauw juga sibuk sendiri, ada yang berlindung dari air hujan yang turun seperti ditumpahkan dari langit, ada yang ikut-ikut mengejar pula. Keadaan menjadi ramai seperti para pemburu mengejar seekor harimau di dalam hutan.

Memang betul apa yang diucapkan oleh orang tertua dari Ang-hwa Sam-ci-moi tadi. Kun Hong dan Hui Kauw menemui kesukaran dalam usaha mereka melarikan diri. Air hujan secara mendadak mengubah tempat sekeliling lembah itu menjadi rawa-rawa yang berbahaya. Hampir saja Hui Kauw terjerumus ketika kakinya menginjak air yang dangkal itu, kiranya di bawahnya mengandung lumpur yang mempunyai daya menghisap sehingga kakinya seakan-akan tersedot ke bawah. Baiknya Kun Hong cepat menariknya ketika gadis ini menjerit.

Mereka kini berdiri di pinggir rawa, terengah-engah dan sukar bernapas karena serangan air hujan pada muka mereka. Air hujan itu turun dengan derasnya sehingga titik-titik air itu seperti batu-batu kecil menghantam muka.

"Kun Hong....... kenapa kita harus lari? Perlu apa takut.......? Bukankah kalau tewaspun kita berdua?"

"Hui Kauw, siapa ingin mati? Aku tidak takut, akan tetapi, kalau ada kesempatan menyelamatkan diri, apa perlunya mengadu nyawa? Hui Kauw, masa depan menanti untuk kita." Suara Kun Hong terdengar nyaring penuh harapan dan kebahagiaan, jauh bedanya dengan dahulu. Agaknya pemuda ini sekarang merasa amat berbahagia dapat hidup berdua dengan Hui Kauw. Gadis ini dapat merasa hal ini dan dengan terharu ia mencengkeram tangan Kun Hong.

"Sesukamulah....... Kun Hong, aku menurut saja......."' katanya lirih. "Akan tetapi, ke mana kita akan lari?"

Pada saat itu, di antara suara angin dan hujan, terdengarlah suara mereka yang mengejar. "Wah, mereka mengejar dan sudah dekat!" Kun Hong berkata dan sambil menarik tangan Hui Kauw untuk lari lagi. Hui Kauw menjadi penunjuk jalan, akan tetapi ia setengah diangkat oleh Kun Hong yang mempergunakan ilmu lari cepat.

Lebih lima li mereka lari meninggalkan tempat pertempuran tadi. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan dan selalu teralang oleh rawa, mereka hanya berputaran saja di sekitar lembah tanpa mereka sadari. Mendadak Hui Kauw berkata,

"Kun Hong, di sana ada sebuah pondok kecil menyendiri. Mari kita berlindung ke sana." Suara Hui Kauw hampir tidak dapat terdengar karena terbawa angin yang makin keras bertiup dan air hujan makin deras menyiram tubuh mereka.

Dengan susah payah akhirnya sampai juga mereka di pondok kecil yang sudah tua dan berdiri miring di luar hutan lebat. Mereka cepat memasuki pondok yang ternyata kosong. Agak lega hati mereka karena tidak diserang hujan dan angin.

"Kita berada di mana?" tanya Kun Hong.
Hui Kauw memandang ke luar, bergidik melihat hutan yang tampak amat menyeramkan karena pohon-pohonnya bergoyang-goyang seperti mengamuk diserang angin ribut. Amat berbahaya memasuki hutan di waktu demikian itu. Sewaktu-waktu akan ada pohon yang tumbang. Saking kerasnya angin, banyak pohon kelihatan gundul karena daun-daunnya rontok oleh tiupan angin.

"Di luar sebuah hutan lebat. Kurasa untuk sementara kita bersembunyi di sini, menanti sampai hujan dan angin berhenti," katanya sambil mengusap air dari mukanya.

"Hui Kauw......." tiba-tiba Kun Hong memeluk mesra dan mendekap kepala gadis itu di dadanya. Gadis itupun balas memeluk dan sampai beberapa lama mereka berdiam diri. Tiba-tiba Kun Hong mendorong tubuh Hui Kauw perlahan ke belakang sambil berkata, "....... kau larilah. Kau masuklah hutan itu, larilah ke utara dan carilah perlindungan di sana. Carilah Sin Lee dan Hui Cu, atau menggabunglah pada pasukan dari utara. Kau akan selamat. Aku akan menanti mereka di sini!"

"Tidak! Sekali lagi, tidak!" Hui Kauw berkata nyaring. "Aku mau pergi dan lari kalau bersama kau!"

"Jangan Hui Kauw. Percuma kita lari, pasti akan tersusul mereka. Di antara mereka banyak orang sakti. Kalau kau lari sendiri, aku dapat menghalangi mereka di sini dan mencegah mereka mengejarmu. Bukan kau yang mereka kehendaki, melainkan aku. Kau harus selamat."

"Tidak mau! Kun Hong, tidak tahukah kau bahwa mati hidup aku harus bersamamu? Lebih baik mati di sampingmu daripada hidup jauh daripadamu. Aku....... aku isterimu, bukan? Seorang isteri harus menyertai suaminya, di manapun suaminya berada."

Kun Hong terharu, membalikkan tubuh membelakangi Hui Kauw, "Hui Kauw, jangan hancurkan kebahagiaanku. Aku merasa bahagia sekali bahwa pada saat terakhir aku masih sempat melindungimu, membelamu. Akan sia-sia pengorbananku, kalau kau akan tewas juga. Pergilah "Tidak, Kun Hong. Aku tidak mau. Kau....... kau sudah terluka! Aku tahu....... sebaiknya kau sajalah yang bersembunyi di hutan itu, biar aku yang menghadang mereka!" Suaranya tinggi dan bernada gagah. Kun Hong makin terharu dan kembali mereka berpelukan.

Tiba-tiba Kun Hong melepaskan pelukannya. "Trang-trang.......!" Dua batang pedang terlempar, tongkat itu terus bergerak dan....... dua orang anggauta pasukan istana jatuh tersungkur, tak bernapas lagi. Kiranya dua orang ini telah dapat mengejar ke dalam pondok dan langsung menyerang, akan tetapi hal ini hanya menyebabkan mereka mati konyol.

Karena larinya terhalang rawa-rawa dan hanya berputaran saja, maka dua orang sakti seperti Bhok Hwesio dan Ka Chong Hoatsu malah tidak dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw. Dua orang ini malah lewat jauh dan mencari-cari di dalam hutan itu. Sebaliknya, dua orang anggauta pasukan yang merasa payah dan melihat pondok itu, hendak mengaso, akan tetapi malah mereka yang dapat menemukan Kun Hong dan Hui Kauw tanpa mereka sengaja dan mengakibatkan kematian mereka.

Kun Hong siap dengan tongkatnya. Hui Kauw memungut sebatang pedang yang tadi terpental jatuh. Mereka kini memasuki pondok dan Hui Kauw mengintai ke luar dari jendela yang tidak berdaun lagi. Keduanya menanti dengan tegang. Hujan muiai berhenti, angin sudah tidak mengamuk lagi dan lapat-lapat terdengarlah suara mereka yang mengejar, makin lama makin dekat.

"Ada dua orang yang menuju ke sini....." bisik Hui Kauw kepada Kun Hong, suaranya agak gemetar karena tegang, "mereka itu adalah It-to-kiam Gui Hwa dan yang seorang Bhewakala."

Kun Hong mengangguk. "Kau berdiam saja di sini, jangan bantu kalau tidak amat perlu. Biar aku menyergap mereka di depan."

Memang betul, It-to-kiam Gui Hwa yang mengejar berbareng dengan Bhewakala, berlari-lari menuju ke pondok itu. Bhewakala yang mengajak tokoh Kun-lun itu, mengatakan bahwa pondok itu mungkin sekali dipergunakan untuk tempat sembunyi.

"Mereka melarikan diri, mana bisa berhenti di tempat itu?" bantah Gui Hwa.

"Siapa tahu? Semua orang sudah mengejar ke hutan, tidak seorang pun ingat untuk menengok pondok itu. Biar kita menengok sebentar," kata Bhewakala dan demikianlah, dengan ilmu lari cepat mereka, kedua orang tokoh ini menuju ke pondok.

"Awas.......!" Bhewakala berseru sambil menuding ke arah dua mayat yang menggeletak depan pondok itu.

"Ah, mereka tentu di sini!" seru It-to-kiam Gui Hwa sambil mencabut pedangnya.

"Memang aku berada di sini!" Dua orang itu terkejut dan cepat menengok. Eh, tahu-tahu Kun Hong sudah berdiri di belakang mereka dengan tongkat melintang di depan dada! Sejenak Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa meremang bulu tengkuknya. Bhewakala pernah merasai, kelihaian Pendekar Buta itu, benar-benar amat sakti, maka kini ketika secara tiba-tiba orang yang dikejarnya itu berada di depan mereka, mereka menjadi terkejut setengah mati. Akan tetapi, sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, hanya sebentar saja mereka terkejut. Bhewakala sudah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sebuah cambuk hitam yang kecil dan sekali cambuk itu digerakkan, sudah terulur panjang sampai tiga meter. Dahulu pernah di kota raja dia kehilangan cambuknya karena hancur bertemu dengan pedang Kun Hong. Sekarang dia telah mengeluarkan cambuk simpanannya, terbuat daripada bulu binatang aneh di Pegunungan Himalaya.

"Pemberontak muda, lebih baik kau menyerah. Kau tidak akan dapat melarikan diri!" Gui Hwa mencoba untuk membujuk karena betapapun juga dia merasa jerih juga.

"It-to-kiam, hayo kita tangkap dia!" Bhewakala yang pernah dikalahkan oleh Kun Hong, sebaliknya menjadi penasaran dan marah. Ingin dia membalas kekalahannya dengan bantuan It-to-kiam Gui Hwa. Sambil berkata demikian, cambuknya sudah dia putar-putar di atas kepala sehingga mengeluarkan bunyi mengaung-aung seperti sirene. Melihat temannya sudah mendesak maju, apa boleh buat It-to-kiam Gui Kwa juga menerjang dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilat.

Kun Hong sudah siap. Dia maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat. Pernah dia menghadapi Bhewakala dan karenanya dia maklum bahwa orang Nepal ini benar-benar memiliki ilmu yang luar biasa. Kalau dulu itu dalam beberapa gebrakan saja dia mampu mengalahkan Bhewakala, adalah karena orang Nepal ini tadinya memandang rendah kepadanya. Sekarang, setelah pernah dikalahkan, tentu dia akan berlaku hati-hati dan tidak begitu mudah dikalahkan. Apalagi di samping orang Nepal ini terdapat seorang ahli pedang seperti It-to-kiam Gui Hwa yang dia tahu memiliki Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang cukup tinggi. Dia harus hati-hati, maka begitu melihat mereka menerjang maju, dia segera memainkan ilmu silat ciptaannya, tongkatnya berkelebat dan bergulung-gulung sinarnya diseling pukulan-pukulan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih!

Baik Bhewakala maupun It-to-kiam Gui Hwa mau tidak mau amat kagum dan diam-diam memuji kehebatan ilmu silat Pendekar Buta ini karena mereka berdua sama sekali tidak mampu mendekatinya. Jangankan sampai terbentur tongkat yang mengeluarkan sinar merah, baru terkena angin pukulannya saja mereka merasa betapa tenaga yang hebat mendorong senjata mereka ke belakang. Belum lagi pukulan tangan kiri itu yang mendatangkan hawa pukulan ganas dan mujijat membuat mereka sama sekali tidak berani menangkisnya.

Sebaliknya, Kun Hong diam-diam juga terkejut. Dia sudah terluka karena mengadu tenaga dengan Hek Lojin yang sakti, biarpun luka itu tidak membahayakan keselamatannya, akan tetapi setidaknya banyak membutuhkan pengerahan hawa sakti di tubuhnya untuk melawannya. Hal ini mengurangi kekuatannya dan kini menghadapi dua orang yang tak boleh dipandang ringan ini, tenaganya hanya dapat menandingi dengan berimbang saja. Baiknya ilmu silatnya memang amat aneh dan tinggi sehingga dua orang itu sendiri tidak dapat menyelami intinya dan menjadi bingung oleh sambaran tongkat dan dorongan tangan kirinya. Yang paling diperhatikan oleh Kun Hong adalah cambuk panjang di tangan Bhewakala. Cambuk itu benar-benar lihai dan sukar diduga gerakannya, bergerak laksana seekor binatang hidup yang kadang-kadang meremang panjang, kadang-kadang melingkar-lingkar. Hebatnya, cambuk hitam yang sekarang dimainkan oleh Bhewakala ini amat ampuh dan kuat, beberapa kali dihantam oleh tongkat Kun Hong, hanya mental kembali tapi tidak putus.

Tiba-tiba Bhewakala mengeluarkan suara pekik rendah menggetarkan jantung, lalu berkata-kata seperti orang membaca doa dalam bahasa asing. Memang orang Nepal ini sedang bicara seorang diri dengan keras, dan sebetulnya dia memuji-muji kepandaian Kun Hong dan juga menyatakan penasarannya. Akan tetapi gerakan cambuknya kini berubah, sama sekali tidak lagi menyerang tubuh Kun Hong, melainkan mengejar dan memapaki tongkat Pendekar Buta itu dengan cambuknya. Cambuk yang panjang itu seperti seekor ular kecil panjang segera melibat dengan kecepatan yang tak terduga oleh Kun Hong. Pendekar Buta ini cepat menggentakkan tongkatnya dengan tenaga sakti untuk membikin senjata lawan itu terputus, akan tetapi hebat sekali, cambuk itu bukannya putus karena dapat mulur seperti karet, malah terus bergerak melibat-libat seluruh tongkat, tangan dan lengan kanan Kun Hong, masih terus melibat pundak, leher dan lengan kiri. Dalam sekejap mata tampaknya Kun Hong telah kena terbelenggu oleh cambuk mujijat itu! Dan pada saat itu juga, It-to-kiam Gui Hwa mempergunakan kesempatan itu menubruk maju dan mengirim pukulan maut ke arah ulu hati Kun Hong dengan gerakan cepat karena dia melakukan jurus Tit-ci-coan-sin (Tudingkan Jari Tusuk Hati) dari ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang paling ampuh.

"It-to-kiam, jangan bunuh dia, sayang kepandaiannya!" seru Bhewakala dengan suara keras untuk mencegah, namun dia tidak berdaya untuk menolong karena dia pun sedang mengerahkan tenaga untuk melibat tubuh Kun Hong dengan cambuknya itu.

'"sruuuuuttttt! Cringggg....... krakkk!" Apa yang terjadi sedetik ini benar-benar hebat dan sekaligus membuktikan bahwa Si Pendekar Buta benar-benar telah memiliki kesaktian yang jarang bandingannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu dia masih dapat menyelamatkan diri, malah kelihatan It-to-kiam Gui Hwa sudah roboh tak berkutik karena dadanya tertembus, oleh tongkat Kun Hong, sedangkan cambuk hitam yang tadi melibat-libat tubuh Kun Hong itu kini berantakan dan putus-putus! Kiranya dengan tenaga saktinya, ketika menghadapi bahaya maut tadi, Kun Hong masih sempat menggerakkan kaki melakukan langkah ajaib sehingga dia terhindar daripada tusukan maut It-to-kiam, kemudian sekali mengerahkan tenaga terdengar suara keras dan cambuk hitam itu hancur berantakan, kemudian sinar merah berkelebat dan tahu-tahu tubuh It-to-kiam telah roboh binasa. Saking cepatnya tongkat bergerak, sampai tidak kelihatan bagaimana senjata ini tadi menembus tubuh It-to-kiam!

Bhewakala terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya berdiri. Selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan hal seperti ini. Mana mungkin tubuh seorang manusia dapat membikin cambuk hitamnya yang terbuat daripada bulu binatang sakti di Pegunungan Himalaya itu hancur berantakan? Dia cepat menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang amat kuat. Akan tetapi kali ini Kun Hong sudah siap, tubuhnya tiba-tiba bergerak miring, pukulan itu luput dan tahu-tahu Bhewakala roboh karena kaki Kun Hong sudah menyerampangnya dan menyentuh jalan darah dekat lutut. Bhewakala makin kaget dan maklum bahwa sekali tongkat yang ampuh itu bergerak, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi aneh, tongkat itu tidak bergerak, malah Kun Hong hanya berdiri tegak sambil berkata,

"Bhewakala, tadi kau menyayangkan nyawaku, aku pun tidak tega membunuhmu. Memang di antara kita tidak ada permusuhan. Pergilah, atau....... biarkanlah aku pergi dengan aman."

Bhewakala bangkit, memandang dengan matanya yang agak kebiruan itu, kemudian mengangguk-angguk. "Kau hebat. Tidak perlu lagi aku di sini, aku harus pulang dan belajar sepuluh tahun lagi." Setelah berkata demikian, dengan langkah panjang dia lari pergi dari tempat itu.

"Kun Hong, tolong.......!"

Jeritan Hui Kauw ini seperti menyendal semangat Kun Hong. Kaget dan khawatir sekali hatinya. Seperti kilat cepatnya tubuhnya melompat ke arah suara dan ternyata di sebelah kanan pondok itu telah berdiri Ang-hwa Sam-ci-moi dengan pedang di tangan. Kui Siauw, orang termuda dari Ang-hwa Sam-ci-moi memegang lengan Hui Kauw yang tidak berdaya lagi karena sudah ditotok jalan darahnya.

"Hui Kauw, kau di mana? Apa yang terjadi......??" Kun Hong berteriak dan berdiri bingung. "Kun Hong, aku....... tertawan Ang-hwa Sam-ci-moi......." kata Hui Kauw lemah.

Kun Hong menggerakkan tongkatnya mengancam, "Lepaskan dia!" suaranya mengguntur.

Kui Ciauw dan Kui Biauw tertawa mengejek, kemudian Kui Ciauw berkata, "Pemberontak buta. Lebih baik kau menyerahkan diri saja sebelum kekasihmu ini kami bunuh!"

Kun Hong ragu-ragu. Dia maklum bahwa kalau dia bergerak, biarpun akhirnya dia akan menang, Hui Kauw tentu akan terbunuh lebih dulu.

"Kun Hong, serang mereka. Jangan perdulikan aku!" ucapan Hui Kauw ini membangkitkan semangat Kun Hong, akan tetapi cepat Kui Ciauw berseru,

"Kau benar-benar ingin dia mampus?"

''Lepaskan dia!!" Kun Hong melompat dan tongkatnya menerjang Kui Siauw karena dari suara Hui Kauw dia tahu siapa yang harus dia serang lebih dulu untuk menolong kekasihnya.

"Plak-plak-plak!" Kun Hong terhuyung mundur. Tongkatnya sampai tiga kali bertemu dengan senjata lunak namun kuat bukan main, disertai tenaga sakti yang mampu melawan tenaga dan tongkatnya.

"Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong. Lebih baik kau menyerah kalau kau menghendaki nona itu dan kau sendiri selamat."

"Bhok Hwesio!!" Kun Hong berteriak marah. "Kalau kalian memusuhi aku, itu sudah sepatutnya karena kau dan teman-temanmu adalah anjing-anjing penjaga istana yang menganggap aku telah memberontak. Akan tetapi apa salahnya Hui Kauw? Kau lepaskan dia dan mari kita bertanding seribu jurus sebagai laki-laki!"

"Hemm, bocah buta yang sombong. Apa kau kira pinceng takut kepadamu? Soal nona itu, tidak usah dibicarakan lagi, tentang kepandaian, kalau memang kau merasa jagoan, majulah biar pinceng layani."

Kun Hong sudah marah sekali, tongkat di tangannya tergetar. Akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, terdengar suara halus di belakangnya.

"Omitohud, semoga Tuhan mengampuni kesalahan hambaNya......."

Suara itu sedemikian halusnya, namun pengaruhnya membuat Kun Hong seketika lemas dan lenyap kemarahannya. Dia terheran-heran dan menanti dengan telinga dibuka lebar-lebar untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang memiliki suara demikian berpengaruh. Adapun Hui Kauw yang berada dalam tawanan Kui Siauw juga memandang penuh perhatian. Tadinya ia terbelalak penuh kekhawatiran terhadap diri Kun Hong ketika di situ tiba-tiba muncul Bhok Hwesio. Tadinya ia menonton perlawanan Kun Hong terhadap Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa dari samping pondok. Tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat tiga bayangan yang cepat sekali gerakannya. Hui Kauw hendak melawan, namun ia kalah jauh oleh Ang-hwa Sam ci-moi sehingga dalam beberapa jurus saja ia telah tertotok dan tertawan. Ia tidak takut mati, juga tidak takut melihat Kun Hong menghadapi Ang-hwa Sam-ci-moi karena ia memang sudah nekat untuk mati bersama. Akan tetapi tidak tega juga hatinya melihat kekasihnya yang buta itu akan dikeroyok oleh orang-orang sakti, maka munculnya Bhok Hwesio yang amat sakti itu menggelisahkan hatinya. Kini ia terbelalak memandang tiga orang yang datang dengan langkah lambat dan ringan. Mereka ini adalah tiga orang hwesio tua yang jalan berjajar. Yang kanan dan kiri serupa benar bentuk badan dan muka, seperti hwesio tua yang kembar, bertubuh kurus pendek. Yang berada di tengah adalah seorang hwesio tinggi kurus berusia sedikitnya delapan puluh tahun dan hwesio inilah tadi yang mengeluarkan kata-kata.
Besar keheranan hati Hui Kauw ketika melihat betapa Bhok Hwesio menjadi berubah mukanya, malah dengan sikap menghormat Bhok Hwesio kini melangkah maju dan menjura sampai badannya yang tinggi besar itu. hampir berlipat menjadi dua, mulutnya berkata,

"Thian Ki suheng, ji-suheng dan sam-suheng, siauwte menghaturkan hormat."

Kedua hwesio kembar itu hanya mengangguk, dan hwesio di tengah yang disebut Thian Ki suheng oleh Bhok Hwesio itu, memandang sejenak, kemudian mulutnya bergerak mengeluarkan ucapan yang halus tapi penuh teguran, "Bhok-sute, sejak kapankah murid Siauw-lim-pai mencampuri urusan kerajaan? Sejak kapan murid Siauw-lim-pai tamak akan harta benda atau kemuliaan duniawi?"

Suaranya penuh wibawa dan sampai lama Bhok Hwesio tidak dapat menjawab. Adapun Kun Hong dan Hui Kauw yang pernah mendengar nama Thian Ki Losu pendeta Siauw-lim-pai yang amat terkenal kesaktiannya itu, menjadi terkejut. Thian Ki Losu terkenal sebagai seorang di antara para tokoh tua Siauw-lim-pai yang tidak pernah muncul, akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa. Oleh karena itu, Kun Hong diam saja, hanya mendengarkan penuh perhatian dan menanti perkembangannya lebih jauh sambil bersiap siaga.

Akan tetapi, Ang-hwa Sam-ci-moi yang sejak mudanya merantau ke dunia barat, tidak mengenal nama Thian Ki Losu, maka mereka tidak perduli sama sekali. Apalagi ketika Kui Siauw melihat betapa sinar mata dan muka Hui Kauw berseri-seri seakan-akan mengharapkan bantuan, ia menjadi marah dan berkata,

"Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas berlutut dan menyerah, sekarang juga aku membunuh kekasihmu!"

Hui Kauw benar-benar tidak berdaya. Kui Siauw yang galak itu sudah mencengkeram batang lehernya dan sekali menggerakkan tangan, tentu jalan darah yang menuju ke otak akan dihancurkan dan ia akan tewas dalam sekejap mata. Kun Hong sudah menggigil kedua kakinya, siap melompati penawan Hui Kauw itu dan kalau perlu mengadu nyawa.

"Omitohud, sesama manusia mana berhak saling bunuh? Ada pinceng di sini, tidak boleh orang berlaku keji!" Inilah suara Thian Ki Losu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang seperti kapas tertiup angin ke arah Kui Siauw. Orang termuda dari Ang-hwa Sam-ci-moi ini marah dan membentak,

"Hwesio tua, kau mau apa?" Berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kirinya tetap mencengkeram tengkuk Hui Kauw.

"Omitohud, keji sekali......." Thian Ki Losu berseru, lengan bajunya dikebutkan berkibar-kibar menerima pukulan sedangkan lengan baju yang lain juga bergerak ke arah Hui Kauw. Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Kui Siauw seperti dilemparkan tenaga raksasa, melayang sampai lima meter lebih jauhnya dan cengkeramannya pada tengkuk Hui Kauw tadi seketika terlepas. Lebih hebat lagi, tanpa kelihatan kapan bergeraknya, tubuh Hui Kauw sudah terbebas daripada totokan dan gadis itu cepat berlari ke arah Kun Hong, berdiri di samping Kun Hong, sedangkan Thian Ki Losu sudah kembali berdiri di antara kedua orang adik seperguruannya seperti tidak pernah terjadi sesuatu!

1   ...   52   53   54   55   56   57   58   59   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət