Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə54/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   50   51   52   53   54   55   56   57   ...   60

"Ha-ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala ayat daripada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayat tetap suci, pelaku-pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"

Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasa melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Akan tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apalagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan,

"Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana mengenal diri sendiri barulah waspada. Mengalahkan orang lain memang kuat badannya mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya."

"Heh-heh-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tik-keng. Tetapi hanya mulut....... mulut.......!

Lidah tidak bertulang, orang tampak manis pada mulutnya, gigi tampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor........ kotor....... palsu! Ha-ha-ha-heh-heh-heh, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati seperti bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"

Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tidak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya. Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) maupun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, biarpun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya. Celakanya agaknya orang itu melangkahkan kaki menuju ke tempat dia dan isterinya mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh daripada itu. Dia seorang pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang asuhan kakek iblis Song-bun-kwi. Akan tetapi pada saat itu dia lalu membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring, matanya mengintai dari balik bulu mata.

Orang ini herhenti dekat tempat suami isteri itu tidur. Dengan kaget Kong Bu melihat seorang kakek tua yang berpakaian serba kuning, seorang kakek yang kepalanya gundul dan kulitnya hitam seluruhnya ! Sambil menyeret sebatang tongkat panjang berwarna hitam pula, kakek itu tadi melangkah datang dengan langkah lebar dengan kakinya yang telanjang dan hitam sampai ke telapak-telapaknya, sejenak kakek itu berdiri termangu, memandang suami isteri yang masih tidur pulas. Lama dia menatap wajah Li Eng yang cantik jelita dan tampak manis dalam tidurnya. Kemudian dia tertawa berkakakan.
"Ha-ha-ha-he-he-heh! Wah, aku benar-benar sudah tua bangka, sudah hampir mati nafsu-nafsu badan yang reyot ini. Kalau dulu, dua puluh tahun yang lalu, tentu takkan kulewatkan saja mereka ini. Yang jantan kubikin mampus, yang betina kuambil. Ha-ha-ha!" Dia mengamat-amati lagi sambil tertawa ha-ha-he-he, amat menyeramkan.

"Wah-wah, bawa-bawa pedang segala. Jangan-jangan anggauta pemberontak? Hee, bocah, enak saja tidur bermesra-mesraan, mabuk yang-yangan (bercintaan), hayo bangun!" ujung kakinya bergerak mencongkel tanah dan bukan main kagetnya hati Kong Bu ketika segumpal tanah melayang dengan kekuatan dahsyat ke arah kepalanya! Tentu saja dia tidak mau dilukai, tidak sudi dihina seperti itu. Tubuhnya bergerak melenjit dan tahu-tahu dia sudah berdiri dengan tegak dan gagah, gumpalan tanah itu sama sekali tidak menyentuhnya.

"Ha-ha-he-heh, benar juga! Kiranya memiliki sedikit kepandaian yang jantan ini. Entah bagaimana yang betina!" Kembali ibu jari kaki kanannya mencokel tanah dan segumpal tanah melayang ke arah muka Li Eng. Kong Bu marah sekali, tubuhnya terayun dan dia hendak menyambar tanah yang mengancam muka isterinya itu. Akan tetapi tiba-tiba Li Eng sudah pula mengulur tangan, tanpa membuka matanya ia telah dapat menangkap gumpalan tanah itu dengan tangan kanannya, kemudian seperti tidak sengaja tangannya bergerak dan....... gumpalan tanah itu melayang cepat ke arah muka kakek itu, senjata makan tuan!

"Ah, lihai.......!" Kakek itu berseru, kaget juga menyaksikan demonstrasi kepandaian wanita muda itu dan cepat dia menundukkan muka untuk membiarkan tanah itu lewat di atas kepalanya. Tentu saja kakek ini kaget dan heran karena dia tidak tahu bahwa Kui Li Eng adalah puteri tunggal Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang tokoh Hoa-san-pai yang sudah mewarisi ilmu kepandaian aseli dari Hoa-san termasuk ilmu mempergunakan senjata rahasia !

Li Eng memang sudah sadar ketika mendengar suara kakek itu tadi, akan tetapi ia pura-pura masih tidur. Sekarang ia melompat bangun dan berdiri di samping suaminya, matanya yang jeli dan tajam menatap kakek itu, menaksir-naksir dan mengingat-ingat. Akan tetapi, seperti juga suaminya, belum pernah ia bertemu atau mendengar akan adanya seorang tokoh kang-ouw seperti kakek ini. Ia juga tidak berani memandang rendah karena tenaga cokelan ibu jari kaki kakek itu saja tadi telah menggetarkan tangannya yang menerima tanah, tanda bahwa kakek ini memiliki Iweekang yang tinggi tingkatnya.

"Locianpwe ini siapakah dan mengapa mengganggu kami berdua suami isteri yang sedang beristirahat?" kata Kong Bu sambil menjura. Sikapnya cukup sopan akan tetapi tidak terlalu merendah.

Kakek itu tidak menjawab, malah matanya tidak berkedip memandang kepada Li Eng bukan memandang wajahnya, melainkan memandang ke arah....... perutnya! Tentu saja Li Eng merasa mendongkol bukan main berbareng juga ngeri. Mata dengan manik mata kelihatan terlalu putih di balik wajah hitam itu seakan-akan menelanjanginya dengan pandangannya itu.

"He, Kakek! Kau melihat apa?" bentaknya marah.

"Heh-heh-heh, melihat perutmu. Ha-ha-ha, suami isteri yang aneh! Isteri mengandung maiah diajak berkeliaran di hutan liar, apakah mengidam binatang hutan?"

"Kakek tua bangka, sudah tua makin kurang ajar! Tutup mulutmu yang kotor itu!" Li Eng makin marah, memaki-maki.

"Heh-heh-heh, memang begitulah. Kalau belum sebulan, hawanya ingin marah saja, tanda anak perempuan! Ha-ha-ha !"

Li Eng sudah bergerak hendak menyerang kakek ini, akan tetapi Kong Bu memegang lengannya. Diam-diam ada perasaan aneh menyelinap di hati Kong Bu. Memang sikap Li Eng aneh, aneh bukan main. Tadi pun ia sudah terheran-heran menyaksikan perubahan pada sikap isterinya. Jadi inilah rahasianya? Benar-benarkah isterinya mengidam, mulai mengandung? Wah, kalau betul begitu, jangankan harus memarahi kakek itu, malah mau rasanya dia merangkul dan mencium muka tua yang hitam itu! Perasaan girang luar biasa menyelubungi hati Kong Bu, tanpa terasa lagi dia telah melingkarkan lengan kirinya pada pinggang isterinya dengan mesra, kemudian bertanya

"Locianpwe, siapakah nama Locianpwe yang mulia? Dan ada keperluan apakah Locianpwe dengan kami suami isteri?"

"Kau beruntung, orang muda. Isterimu Cantik jelita, kepandaiannya lumayan, lincah gembira dan sekarang sudah dapat diharapkan akan menghadiahimu seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha, kau mau tahu siapa aku? Tua bangka, ini orang tidak terkenal, disebut Hek Lojin dari Go-bi,"

Kong Bu belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi dia cepat menjura dengan hormat lalu memperkenalkan diri. "Saya bernama Tan Kong Bu dan ini isteri saya. Tidak tahu ada keperluan apakah Locianpwe menemui kami ?"

"Tidak ada apa-apa....... kebetulan saja....... ah, barangkali kau tadi melihat adanya seorang pemberontak muda yang matanya buta. Aku sedang mencari-cari dia itu. Apakah kalian melihatnya?"

Diam-diam Kong Bu dan juga Li Eng terkejut. Tidak salah lagi, tentu Kun Hong yang dimaksudkan. Tetapi mengapa pemberontak? Ah, jangan-jangan orang lain, di dunia ini banyak orang muda yang buta. Dengan menekan debaran jantungnya, Kong Bu bertanya,

"Kami tidak melihatnya. Siapakah dia itu, Locianpwe ? Mana ada orang muda buta bisa jadi pemberontak ?"

Kakek itu terkekeh-kekeh, "Ha-ha-ha, memang lucu. Ini tanda bahwa mereka di kota raja tidak becus apa-apa.

Katanya pemberontak buta itu mengacau kota raja, hampir tertawan lalu dapat lolos ditolong seekor burung rajawali emas. Dasar goblok semua yang di kota raja. Termasuk hwesio gundul Siauw-lim itu hanya lagaknya saja besar. Buktinya dengan mengeroyok pun tidak dapat menangkap seorang muda buta. Padahal...... heh-heh-heh, ketika bertemu dengan aku, pemuda buta dan burungnya itu....... ha-ha-heh-he-heh, dia berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali, di depanku, malah kulangkahi kepalanya dengan sebelah kakiku. Hah, sayang sekali, kalau aku tahu dia itu seorang pemberontak, sudah tentu tidak akan dapat kulepas dan kuampuni begitu saja!"

Sekarang yakinlah hati Kong Bu dan Li Eng bahwa yang dimaksudkan oleh kakek aneh ini tentulah Kun Hong. Di dunia ini siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang biarpun matanya buta dapat mengacau kota raja ? Siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang ditolong oleh rajawali emas? Hati Li Eng sudah panas bukan main, namun ia masih menekan suaranya ketika berkata,

"Kau mencari dia mau apakah, Kakek?" Tidak bisa ia harus mencontoh suaminya yang menyebut Locianpwe kepada kakek hitam yang dianggapnya kurang ajar ini.

"Ha-ha-ha-heh-heh, mau apa tanyamu? Matanya sudah buta, tinggal telinganya yang harus dibikin tuli, hidungnya kuhancurkan, mulutnya kurobek, benci aku kepada pemberontak, benci......."

"Keparat jahanam!" Li Eng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan sekali bergerak, pedangnya sudah berada di tangan. "Enak saja mulutmu yang busuk itu mengoceh. Bukankah kau maksudkan orang itu bernama Kwa Kun Hong ?"

"Heh, benar....... kau tahu........?"

"Tentu saja kakek jahanam! Dia adalah pamanku dan tidak usah kau mencari dia, pedang di tanganku sudah sanggup mengirim kau pulang ke neraka jahanam!" Li Eng tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menerjang dengan pedangnya. Sinar putih bergulung-gulung melayang ke arah kakek itu.

"Ayaaaaaaa, kiranya kalian juga pemberontak-pemberontak, ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu cepat mengelak dan diam-diam dia terkesiap juga menyaksikan kilatan sinar pedang yang demikian hebatnya.

"Benar, isteriku, kakek iblis ini harus dibasmi!" bentak pula Kong Bu dan kembali sinar pedang yang panjang menyambar. Kakek ini makin kaget dan tahulah dia bahwa dua orang ini biarpun masih muda-muda, namun ternyata telah memiliki ilmu pedang yang jempolan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Kakek ini memang Hek Lojin adanya, orang tua lihai dari Go-bi, guru The-kongcu atau The Sun. Sudah kita ketahui bahwa kakek ini pernah bertemu dengan Kun Hong dan rajawali emas, dan hampir terjadi peristiwa kalau saja Kun Hong tidak bersabar dan mengalah. Ketika Hek Lojin ini memasuki kota raja, dia disambut dengan segala kehormatan oleh The Sun. Akan tetapi ketika kakek aneh ini mendengar tentang Kun Hong dan rajawali emas, dia mengejek dan menceritakan pengalamannya menghina pemuda buta itu kepada The Sun dan para jagoan istana yang ikut menyambutnya.

"Heh-heh-heh, A Sun, muridku, kenapa kalian begitu goblok? Menangkap pemberontak buta seperti dia saja tidak becus, padahal di kota raja ini terdapat banyak orang? Heh-heh, percuma saja kalau begitu. Habis, Thian Te Cu ini apa saja kerjanya?" Dia menuding adik seperguruannya yang hadir pula di situ, dan mengerling kepada semua yang hadir.

"Suheng, biarpun dia masih muda, si buta itu benar-benar lihai sekali," bantah Thian Te Cu dengan muka merah karena ditegur dan diketawai suhengnya di depan banyak orang.

"Uuaaah, lihai apanya? Kalau dia lihai kenapa mau berlutut dan mengangguk tujuh kali di depan kakiku, kepalanya kulangkahi kaki dia tidak berani apa-apa. Dasar kalian yang tiada gunanya. Uhh!" Kakek hitam ini memang sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di dalam hutan di atas gunung sehingga wataknya sudah berubah seperti orang hutan saja. Dia tidak perduli lagi akan sopan santun dunia ramai, bicara asal membuka mulut saja, tidak perduli apakah kata-katanya menyinggung orang ataukah tidak. Karena terlalu tua, agaknya dia sudah pikun atau sudah lupa akan tata susila atau tata cara pergaulan. Bhok Hwesio sebaliknya adalah seorang hwesio yang menjaga keras peraturan, seperti biasanya hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai. Sejak tadi dia sudah mendelik-mendelik memandang kepada kakek hitam itu. Akan tetapi karena dia tersinggung tidak secara langsung dan kakek hitam itu hanya menegur sutenya sendiri, dia pun menahan kesabaran dengan muka merah. Sekarang, mendengar betapa kakek hitam itu berkali-kali menyebut "kalian" goblok, tiada gunanya dan lain-lain, dia menjadi marah sekali. Terdengar dia mendengus satu kali dan tiba-tiba meja di depannya amblas ke bawah sampai dua puluh senti lebih. Empat kaki meja itu amblas menembus lantai yang keras dari ruangan itu, amblas tanpa mengeluarkan bunyi seakan-akan empat kaki meja itu menembus agar-agar saja. Dalam kemarahannya, hwesio Siauw-lim ini ternyata telah menggunakan Iweekangnya yang memang amat mengagumkan dan sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Semua orang kaget dan diam-diam merasa tidak enak, maklum bahwa hwesio ini marah kepada kakek hitam itu.

"Hemmm, sudah pernah pinceng mendengar nama besar Hek Lojin dari Go-bi yang tinggi menyundul langit. Dengan adanya Hek Lojin di sini orang-orang macam pinceng ini apa gunanya lagi? Lebih baik pergi dan membaca doa di kelenteng! Tapi, biasanya kalau geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat."
Hek Lojin pelototkan matanya. Tentu saja dia maklum apa artinya ucapan "geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat" itu yang boleh diartikan, bicara besar, belum tentu kepandaiannya tinggi. Melihat hwesio Siauw-lim itu sudah bangkit dari tempat duduknya, dia pun berdiri dan berkata, "He-heh-heh, hwesio tukang berdoa. Boleh kita coba-coba!"

"Omitohud, pinceng ingin sekali menerima petunjuk!"

The Sun menjadi sibuk. Cepat-cepat dia bangkit dan berdiri di antara kedua jago tua yang sudah hendak saling terjang ini. "Suhu........ Losuhu....... harap ji-wi sudi duduk kembali. Harap suka melihat muka teecu....... yang dalam hal ini mewakili kaisar. Ji-wi dipersilahkan datang untuk menghadapi para pemberontak, bukan untuk saling bermusuhan. Harap suka ingat bahwa para pemberontak belum tertumpas."

Bhok Hwesio menarik napas panjang dan duduk kembali. "Maaf, pinceng sampai lupa diri, omitohud......."

Hek Lojin nampak uring-uringan. "Apa sih hebatnya si pemberontak buta? Kalian semua lihat saja, aku akan pergi menangkapnya dan menyeretnya ke hadapan kalian!" Setelah berkata demikian, kakek hitam ini melesat lenyap dari situ tanpa dapat dicegah lagi.

Demikianlah, dengan hati marah.Hek Lojin keluar dari kota raja untuk mengejar Kun Hong. Dia hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh burung rajawali dan lebih mudah lagi menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu. Karena mendongkol kepada sutenya yang menjadi tosu, mendongkol pula kepada Bhok Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha sambil mengejek dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.

Suami isteri muda itu menjadi marah sekali setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Setelah mereka berdua serentak maju menyerang menggunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang burung garuda sakti. Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia terheran dan kagum. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Kalau tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitam yang panjang itu, sekaligus menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sekali bertemu senjata, baik Li Eng maupun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apabila pertempuran diandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh.

Di laln fihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini setingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia mengira bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu.

Pertempuran itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepataan, suami isteri itu memang sengaja mengerahkan ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira, kakek hitam itu pun ternyata seorang ahli ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata. Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu dimainkan oleh mendiang Lian Bu Tojin tokoh Hoa-san-pai yang mengasingkan diri.

Ia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang telah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.

"Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?" Kakek itu sempat menegur dengan gembira. "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!" tegurnya kepada Kong Bu.
Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Adapun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab, "Kakekku Song-bun-kwi yang mengajar kepadaku!"

"Wuuuuuttttt...tranggggg....... !" Tidak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan Iweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.

"Ha-ha-ha-heh-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dulu belum sanggup mengalahkan aku, apalagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"

"Sombong!!" Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng. Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapapun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut.

Akan tetapi sekarang kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu terputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, melainkan seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat !

Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana ke mari agar jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang!

Tiba-tiba, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, mengira bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan kini hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan-serangan maut yang amat berbahaya.

Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga. Terdengar suara "trang-trang!" keras sekali dan tidak dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!

"Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?" Kakek itu mengejek dan kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biarpun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka.

Biarpun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara bayangan tongkat, ginkang mereka amat hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.

"Bagus, bagus....... ! Orang-orang muda cukup mengagumkan....... ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!" Kakek itu menerjang terus, kini dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang hebat ilmu tongkat kakek ini. Tongkat yang diputar oleh kedua tangannya itu, kadang-kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya.

Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tidak sanggup melawan lagi, akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga Iweekang.

Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak tongkat dan terdorong angin pukulan lawan, Kong Bu kaget, cepat dia menghadang desakan kakek itu. Dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri. "Krakkk" lengannya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal! Kong Bu marah bukan main, dengan nekat dia, menggunakan tangan kanannya menerjang, tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendarong dengan kedua tangannya dari samping.

Kepalanya pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu. Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri dua orang itu sambil menyeret tongkatnya.

Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.

Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh, itu si tua bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang sekalian kubereskan!"

Bayangan putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa kedua suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya memuncak. Dengan sepasang mata seperti berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,

1   ...   50   51   52   53   54   55   56   57   ...   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət