Ana səhifə

Pendekar Buta Kho Ping Hoo


Yüklə 1.46 Mb.
səhifə57/60
tarix24.06.2016
ölçüsü1.46 Mb.
1   ...   52   53   54   55   56   57   58   59   60

"Iiihhh, kenapa yang seorang tidak roboh?" Hek Lojin berseru kaget dan heran sambil melompat mundur.

Kun Hong maklum bahwa tempat sembunyinya tidak dapat dirahasiakan lagi. Dia menyesal bukan main betapa tadi karena tidak menyangka-nyangka, dia tidak sempat menolong tiga orang anggauta Hwa I Kaipang itu sehingga mereka tewas oleh tongkat Hek Lojin yang lihai dan ganas. Dengan cepat dia lalu merenggut lepas pakaian pengawal yang tadi dirampas dan dipakai di luar bajunya sendiri, kemudian sekali dorong dia telah mendobrak pintu dan melangkah masuk dengan sikap tenang.

Semua mata di dalam ruangan itu kini ditujukan kepadanya. Beberapa orang di antara mereka yang telah merasai kelihaian Si Pendekar Buta ini berdebar hatinya karena gentar. Apalagi sikap Kun Hong yang amat tenang dengan langkah-langkah lambat itu benar-benar amat mengecutkan hati, seakan-akan membawa ancaman maut yang hebat.

"Kun Hong.......!" Hui Kauw berseru kaget dan heran bercampur khawatir ketika ia melihat munculnya orang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu. Tentu saja di tempat dan pada saat lain ia akan merasa bahagia dan gembira sekali ber jumpa dengan orang yang dikasihi ini, akan tetapi saat itu dan tempat itu sama sekali tidak tepat untuk mereka saling bertemu.

"Kun Hong, kenapa kau ke sini.......??" Hui Kauw merangkul dan bertanya dengan suara penuh kegelisahan, sama sekali tidak merahasiakan perasaannya lagi. Betapa jauh bedanya sikap gadis ini tadi dengan sekarang. Tadi, biarpun ia maklum bahwa ia menghadapi bahaya maut, ia tetap tenang dan tabah, malah sikapnya menantang. Sekarang, begitu Kun Hong muncul, segera ia menjadi ketakutan, suaranya menggetar penuh kegelisahan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari telinga Kun Hong yang tajam dan dia merasa tenggorokannya seperti tersumbat. Alangkah besarnya cinta kasih gadis ini terhadapnya! Dia melepaskan rangkulan Hui Kauw dan menggandeng tangan gadis itu sambil berkata lirih,

"Hui Kauw, biarlah kita mati bersama....."

Butiran-butiran air mata bening menetes turun dari kedua mata gadis itu, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum, dan jari-jari tangannya saling remas dengan jari-jari tangan Kun Hong. Dalam saat menghadapi ancaman maut itu, dua orang muda ini benar-benar merasa betapa teguhnya jalinan cinta kasih murni mengikat hati masing-masing. Mereka rela berkorban, rela mati bersama.

"Kun Hong, kita melawan. Melawan mati-matian. Mari kita mati bersama, akan tetapi mati sebagai sepasang harimau, bukan sebagai sepasang kelinci......" bisik Hui Kauw. Ucapun ini seketika menggugah semangat Kun Hong, tongkat di tangannya mulai menggigil.

"..... jangan khawatir..... aku akan melindungimu, Hui Kauw. Mereka itu tidak akan mampu mengganggu selembar rambutmu tanpa melalui mayatku."
Hek Lojin tertawa nyaring. "Ha-ha-ha-heh-heh-heh! Betapa romantisnya! Ha-ha-ha, pasangan yang cocok. He, orang buta, namamu Kwa Kun Hong? Ha-ha-ha, inikah yang membikin kecut hati para jagoan? Alangkah lucunya, benar-benar memalukan sekali. He, orang buta, hayo kau berlutut lagi dan mengangguk-angguk tujuh kali di depan kakiku seperti dalam hutan itu. Baru aku mau ampuni kau!"
Panas rasanya telinga Kun Hong. Dengan tangan kirinya dia menarik Hui Kauw di belakangnya untuk melindunginya, kemudian dia berdiri tegak dengan tongkat di tangan kanan, siap menghadapi kakek lihai ini.

"Hek Lojin, kau amat sombong, tidak tahu orang mengalah karena mengingat usiamu yang sudah lanjut. Kiranya kau hanya seorang kakek yang sudah pikun dan yang tidak patut dihormati oleh orang muda. Tanpa alasan tidak sudi aku berlutut dan minta ampun kepadamu atau kepada siapa pun juga."

"Hua-ha-ha-heh-heh-heh! Benar-benar tabah anak ini. Pantas bikin heboh! The Sun, apakah di antara jagoan-jagoanrnu tidak ada yang berani menangkap dia ?"

The Sun dan teman-temannya tidak menjawab, Bhok Hwesio marah sekali, akan tetapi dia tidak begitu bodoh untuk dapat diadu oleh kakek yang tidak disukainya itu, maka dia pun diam saja. Akhirnya The Sun berkata, "Suhu, lebih baik kita segera turun tangan membunuhnya sebelum dia membikin kacau pertemuan ini."

"Wah-wah-wah, jadi tidak ada yang berani? Nah, bagaimana dengan tokoh-tokoh yang katanya hendak membantu pemerintah? tentu ada yang berani menawan bocah buta ini. Ataukah juga tidak ada yang berani?" Pandang matanya menyapu Ching-toanio dan teman-temannya, Ka Chong Hoatsu dan Ang-hwa Sam-ci-moi maklum akan kelihaian Kun Hong, akan tetapi mereka tidak takut karena memang belum pernah mengukur tenaga secara sungguh-sungguh.

Mendengar semua itu, otak Kun Hong yang cerdik segera mendapatkan akal. Terang bahwa kakek yang bernama Hek Lojin ini biarpun sombong dan aneh, ternyata mempunyai sikap yang cukup gagah, yaitu agaknya enggan untuk mengeroyok lawan. Oleh karena itu, cepat dia berkata,

"Hek Lojin, untuk apa banyak pidato? Terang bahwa semua temanmu tidak ada yang berani maju satu lawan satu. Daripada capek mulutmu, lebih baik kalian semua maju mengeroyokku. Ha-ha-ha, tokoh-tokoh dunia kang-ouw sekarang memang hanya namanya saja yang besar, menghadapi seorang muda buta saja beraninya hanya main keroyokan!"

"Tentu saja, Kun Hong. Siapa di antara mereka ini berani menghadapimu satu lawan satu ? Aku berani bertaruh potong kepalaku kalau di antara mereka ada yang dapat menangkan kau!" Hui Kauw menambahi "api" yang dinyalakan Kun Hong.

Akal ini berhasil membikin panas hati para tokoh itu, terutama sekali The Sun, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu dan Ang-hwa Sam-ci-moi. Yang lain-lain biarpun panas namun diam-diam mengaku bahwa mereka tidak akan dapat menangkan Kun Hong kalau seorang lawan seorang.

Hek Lojin paling panas perutnya "Heh, memalukan sekali ! Kita adalah orang-orang yang mengaku gagah. Masa keroyokan? Apa sih kepandaian bocah buta ini? Kita harus bersikap gagah dan tegas. Tadipun tiga orang pengawal, biar mereka itu anak buah muridku, sekali turun tangan kubunuh karena mereka mengintai. Yang tidak dapat berlaku tegas dan gagah, percuma saja mengaku orang gagah hendak membantu kaisar."

"Ha-ha-ha, Hek Lojin, percuma saja kau mendongkol dan uring-uringan seperti ini! Orang-orang dari Ching-toa-to mana ada yang patut disebut orang gagah? Mereka itu adalah pengecut-pengecut tidak tahu malu, apalagi Ching-toanio yang diam-diam mengajak kawan-kawannya menyerbu Thai-san-pai. Tanpa keroyokan, mana mereka berani berkelahi? Ha-ha, marilah Hui Kauw, kita keluar saja dari ruangan ini. Terlalu banyak kutu busuk di sini, baunya tidak tertahan, Hek Lojin, aku menanti di luar, di tempat lega kita boleh bertempur sampai mati!"
Sambil menggandeng tangan Hui Kauw, Kun Hong mengajak nona itu keluar dari ruangan. Hui Kauw maklum bahwa Pendekar Buta ini menghendaki tempat yang lega sehingga leluasa bergerak kalau terjadi pertempuran yang tidak dapat disangsikan lagi tentulah menjadi pengeroyokan. Hati nona ini menjadi besar. Kalau tadi ia tidak takut mati, sekarang ia malah bergembira karena berada di samping orang yang dikasihinya. Mati atau hidup, bersama Kun Hong ia rela. Maka dialah yang kini menarik tangan Kun Hong diajak ke luar melalui pintu. Biarpun ia tidak memegang senjata, Hui Kauw siap untuk bertempur dengan tangan kosong, melawan mati-matian.

Ching-toanio marah bukan main mendengar ucapan Kun Hong yang amat menghinanya tadi. Apalagi melihat Hui Kauw menuntun Kun Hong ke luar dengan sikap begitu mesra, hatinya seperti dibakar. Ingin sekali bacok ia membikin mampus dua orang yang amat dibencinya itu. Betapapun juga, ia adalah majikan Pulau Ching-coa-to yang sudah terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan ia adalah bekas kekasih Siauw-coa-ong Giam Kim! Mana ia sudi dihina begitu saja? Ia berkedip memberi isyarat kepada Bouw Si Ma sambil melompat ke luar dan berseru,

"Iblis buta, jangan sombong! Hui Kauw perempuan hina, tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu!"

Sambil tertawa-tawa Hek Lojin juga melangkah ke luar menyeret tongkat hitamnya, dikuti semua yang hadir dalam ruangan itu. Ternyata Kun Hong sudah berdiri di luar bangunan, di tempat yang lega. Akan tetapi pagi hari itu matahari tidak muncul karena tertutup mendung-mendung tebal yang agaknya memberi tanda bahwa pada hari itu akan terjadi pertempuran hebat dan mandi darah manusia. Para anggauta Ngo-lian-kauw dan para anggauta pasukan istana tertarik oleh keadaan kacau ini dan berdatangan. Kun Hong dan Hui Kauw tetap tenang walaupun maklum bahwa mereka telah terkurung banyak orang lawan.

"Siapa berani maju?" Kun Hong bertanya, suaranya tetap ramah tetapi mengandung ejekan. "Satu-satu ataukah keroyokan? Terserah kepada kalian! Asal kalian ingat bahwa aku Kwa Kun Hong tidak pernah mencari permusuhan dengan kalian, melainkan kalianlah yang memusuhi aku dan Hui Kauw. Kalau kalian tidak mengganggu kami, kami pun akan pergi baik-baik tanpa mengganggu kalian. Akan tetapi kalau kalian menyerang, sudah barang tentu kami akan membela diri."

"Kun Hong, enak saja kau bicara. Sudah jelas kau pengkhianat, kau pemberontak hendak melawan pemerintah yang sah dan perempuan ini adalah pembantumu, kau masih pandai pura-pura suci!" The Sun berkata lantang.

Kening Kun Hong berkerut mendengar suara The Sun. Dia benci orang ini dan biarpun dia bukan seorang yang suka membunuh, rasanya dia akan suka membunuh pemuda ini mengingat akan perbuatannya yang biadab terhadap mendiang janda Yo. Akan tetapi dia menahan kemarahannya. Urusan pribadi tidak akan dicampur adukkan dengan urusan sekarang ini.

"The Sun, kau ular belang! Kau tahu dengan baik bahwa aku bukanlah seorang yang mencampuri urusan negara. Memang aku mempertahankan mahkota kuno dan rahasianya karena aku hendak membantu usaha mendiang paman Tan Hok, menyelesaikan tugasnya menyampaikan mahkota kuno dan rahasianya kepada yang berhak. Sayang, paman Tan Hok yang gagah perkasa itu pun tewas oleh kecurangan orang-orangnya Ching-toanio. Memang pengecut dan curang sekali nenek Pulau Ching-coa-to itu!"

Ching-toanio menjerit marah. Dalam kemarahannya mengingat sikap wanita itu kepada Hui Kauw, Kun Hong telah menggunakan makian yang benar-benar menusuk perasaan dan keangkuhan Ching-toanio. Andaikata ia dimaki iblis wanita sekalipun, kiranya Ching-toanio tidak akan semarah kalau dimaki nenek! Ia memang sudah tua, namun hatinya melebihi gadis remaja mudanya!

"Kwa Kun Hong pengemis buta. Kau berani menghina nyonya besarmu?" sambil berteriak demikian Ching-toanio sudah melompat maju dengan pedang terhunus. Gerakannya ini diikuti oleh Bouw Si Ma yang juga sudah mencabut pedang yang hitam dan ampuh.

"Kwa Kun Hong, aku pun harus menagih hutang nyawa guruku, Pak-thian Locu, kepadamu!" kata tokoh Mancu ini dengan suara berat.

Kun Hong terkejut. Kiranya Bouw Si Ma si orang Mancu yang pandai memainkan pedang dan memiliki tenaga Iweekang yang lihai ini adalah murid Pak-thian Locu. Agaknya baru sekarang dia ini tahu bahwa gurunya dahulu tewas dalam pertandingan menghadapinya.

Namun dia tidak menjadi gentar karena pernah dia mengukur kepandaian orang Mancu ini, juga pernah dahulu bergebrak dengan Ching-toanio. Tadi Hui Kauw sudah membisikinya bahwa dia harus berhati-hati menghadapi beberapa orang yang berada di situ, terutama sekali Bhok Hwesio, Ka Chong Hoatsu, dan ketiga Ang-hwa Sam-ci-moi. Lima orang itulah yang merupakan lawan berat, sekarang ditambah lagi dengan Hek Lojin yang kiranya tidak kalah lihainya, dibandingkan dengan yang lima orang itu.

"Kalian maju berdua hendak mengeroyokku ? Silakan!" tantang Kun Hong yang mendengar gerakan Ching-toanio dan Bouw Si Ma.

Tiba-tiba Hui Kauw berseru, "Ching-toania, mengingat bahwa kau pernah menjadi ibu angkatku, lebih baik kau jangan melawan Kun Hong dan pulanglah saja ke Ching-coa-to dengan aman. Kau tidak akan menang dan aku tidak ingin melihat kau tewas di tangan Kun Hong."

Ucapan Hui Kauw ini keluar dari hati sejujurnya. Biarpun ibu angkat ini kerap kali bersikap sewenang-wenang dan tidak baik kepadanya, namun ia masih ingat bahwa ketika kecil ia dirawat dan dididik nyonya galak ini. Akan tetapi dasar watak Ching-toanio memang sombong dan galak, ucapan ini diterimanya salah dan ia malah menjadi marah sekali.

"Hui Kauw perempuan rendah! Tidak usah banyak cerewet, lihat pedangku akan menembus jantungmu!" Ucapan ini ia tutup dengan sambaran sepasang pedangnya ke arah Hui Kauw dalam penyerangan maut karena sekaligus sepasang pedang itu menabas leher dan menusuk dada. Tentu saja Hui Kauw yang sudah mengenal watak ibu angkatnya ini sejak tadi sudah bersiaga, maka melihat berkelebatnya sepasang pedang itu, cepat ia mengelak dan melompat ke belakang. Sebelum Ching-toanio sempat menyerang lagi, Kun Hong sudah menghadangnya sambil tersenyum.

"Siapapun juga tidak boleh mengganggu Hui Kauw. Akulah lawanmu!"

"Bangsat buta, apamukah dia itu?" bentak Ching-toanio, suaranya menggetar penuh kemarahan.

"Dia....... isteriku! Hemmm, kau sendiri yang mengawinkan kami, Ching-toanio. Lupakah kau?"

Ching-toanio mengeluarkan seruan keras dan sepasang pedangnya berkelebat menyambar, dibarengi oleh pedang hitam di tangan Bouw Si Ma yang juga sudah menerjang maju. Pendekar Buta ini menyontekkan tongkatnya dua kali dan dua orang itu tergetar mundur karena pedang pedang mereka sekaligus sudah kena ditangkis dengan tepat. Namun mereka cepat menyerang lagi dan terjadilah pertempuran mati-matian.

Girang hati Kun Hong ketika ternyata olehnya betapa mudah dan ringannya menghadapi dua orang ini setelah dia memainkan ilmu silat gabungan Kim-tiauw-kun dan Im-yang-kim-hoat yang dia ciptakan di bawah petunjuk Sin-eng-cu Lui Bok. Ketika bertempur di Ching-coa-to dahulu, biarpun dia dapat juga mengatasi dua orang ini, namun dia masih merasa agak berat. Sebaliknya, sekarang telinganya dapat menangkap semua gerakan itu seperti menangkap gerakan yang tidak asing karena ilmu silatnya sendiri dapat memecahkan setiap daya serangan lawan. Dengan ilmu silatnya yang baru dia merasa seakan-akan dirinya terlindung benteng baja daripada serangan dari luar kilat sinar pedang dalam tongkatnya cukup untuk menendang pergi semua ancaman pedang lawan dan dia masih mempunyai waktu dan kesempatan banyak sekali untuk membobolkan pertahanan kedua lawannya dengan jurus-jurus aneh dari tongkatnya ditambah hawa pukulan yang keluar dari tangan kirinya.

Kun Hong menguatkan hatinya, menyingkirkan perasaan yang biasanya pantang membunuh dengan pikiran bahwa dua orang ini adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya disingkirkan dari dunia karena kalau mereka ini dibiarkan hidup, tentu kelak akan menimbulkan banyak malapetaka, terutama sekali terhadap Hui Kauw. Di samping ini, dia harus pula berusaha mengurangi tenaga para musuhnya yang begitu banyak dan yang tentu harus dia hadapi semua dalam pertempuran-pertempuran berikutnya. Karena pikiran inilah, tanpa banyak sungkan lagi tongkatnya bergerak, menyambar-nyambar secara aneh sekali, dibarengi gerakan tangan kiri yang terbuka jari-jarinya melakukan pukulan-pukulan yang mengundang hawa kadang-kadang panas kadang-kadang dingin. Tangan kirinya ini hebat sekali karena mulai kelihatan uap putih keluar dari sela-sela jari tangannya.

Ching-toanio sesungguhnya seorang ahli pedang yang tidak boleh dipandang ringan. Gerakannya lincah dan pedangnya memiliki gerakan seperti ular. Memang sesungguhnya ia telah mewarisi Ilmu Pedang Ular dari mendiang Siauw-coa-ong Giam Kin si Raja Ular. Selain sepasang pedangnya itu ujungnya mengandung racun ular yang amat berbahaya, juga nyonya galak ini selalu siap mencari kesempatan untuk menyerang lawannya secara menggelap, menggunakan jarum-jarum beracun yang juga telah direndam racun ular yang sekali mengenai sasaran sukar diharapkan korban itu akan dapat tertolong.

Adapun Bouw Si Ma si tokoh Mancu adalah murid tunggai Pak-thian Locu, jadi dia masih terhitung kakak seperguruan dari Giam Kin karena guru Giam Kin, mendiang Siauw-ong-kwi adalah adik seperguruan Pak-thian Locu. Memang harus diakui bahwa tingkat kepandaian Pak-thian Locu masih lebih tinggi daripada tingkat Siauw-ong-kwi namun tidak dapat dikatakan bahwa Bouw Si Ma lebih lihai daripada Giam Kin. Dalam hal ilmu silat, mereka berdua ini memiliki keistimewaan masing-masing dan boleh dikata mereka setingkat, sungguhpun Bouw Si Ma mungkin lebih unggul dalam hal tenaga dalam, karena Gim Kin menghambur-hamburkan tenaganya dalam mengumbar hawa nafsu. Akan tetapi Giam Kin jauh lebih berbahaya karena orang ini merupakan iblis muda yang amat ganas dan keji, penuh akal dan tipu muslihat. Sebaliknya, Bouw Si Ma tidak selicin Giam Kin dan orang Mancu ini dalam setiap pertempuran sepenuhnya mengandalkan kepandaian silatnya yang sudah cukup tinggi. Betapapun juga, tingkatnya masih melebihi tingkat Ching-toanio dan pedang hitam di tangannya merupakan pedang yang ampuh karena terbuat daripada baja hitam yang hanya terdapat di dekat kutub utara.

Akan tetapi kali ini kepandaian dua orang itu tidak banyak artinya ketika mereka mengeroyok Kun Hong. Dua macam ilmu silat yang digabung menjadi satu itu seakan-akan hilang keampuhannya, lenyap keganasannya seperti arus sungai banjir memasuki lautan. Perlu diketahui bahwa ilmu kepandaian yang kini dimiliki Kun Hong adalah ilmu sakti yang bersumber pada Ilmu Im-yang-bu-tek-cin-keng, peninggalan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su. Ilmu silat ini berdasarkan Im dan Yang, sepasang tenaga berlawanan atau bertentangan yang menggerakkan seluruh kehidupan di dunia ini. Ilmu kesaktian ini sudah mencakup seluruh inti silat yang mana pun juga, maka tidaklah mengherankan apabila kedua orang itu seakan-akan merasa bahwa mereka menghadapi lawan yang memiliki tenaga mujijat dan ilmu silat ajaib. Pedang mereka seperti mental sendiri sebelum terbentur tongkat dan serangan-serangan mereka telah gagal dan buyar sebelum dilancarkan sepenuhnya, seakan-akan tertahan atau terhalang di tengah jalan!

Baru beberapa jurus saja, baik Ching-toanio maupun Bouw Si Ma sudah terdesak hebat. Pedang mereka tidak mampu lagi melakukan serangan karena harus diputar untuk melindungi tubuh daripada sambaran sinar kemerahan yang keluar dari tangan kanan Kun Hong. Demikian cepat gerakan tiga orang ini sehingga tubuh mereka tidak tampak lagi oleh mata biasa, tertutup oleh sinar pedang yang berkelebatan dan bergulung-gulung. Amatlah indah tampaknya bagi mata orang biasa kalau menyaksikan pertempuran itu. Tiga sinar pedang saling membelit, kemudian sinar pedang merah bergulung-gulung makin lebar dan akhirnya mengurung sinar pedang hitam dan cahaya sinar pedang putih. Sinar pedang hitam adalah senjata Bouw Si Ma, sedangkan sepasang yang putih adalah pedang-pedang Ching-toanio. Dua macam sinar pedang ini terkurung sinar merah, makin lama makin ciut karena pergerakan senjata mereka amat terbatas.

Mendadak Ching-toanio berseru keras dan pedangnya yang berada di tangan yang kanan ia sambitkan ke depan. Pedang itu meluncur cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, menyambar ke arah tenggorokan Kun Hong.

"Singgg!!" pedang itu berdesing lewat di atas kepala Pendekar Buta itu ketika dia mengelak dengan merendahkan tubuh.

"Weerrrr" Serangkum angin halus bertiup menyambar tiga bagian tubuh yang mematikan, yaitu leher, dada, dan lambung. Kun Hong kaget sekali, begitu halus suara dan angin itu sehingga hampir saja dia celaka. Namun pendengaran dan perasaan Pendekar Buta ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak lumrah, maka suara sehalus itu dapat juga ditangkapnya. Dia marah sekali karena dapat menduga bahwa itu tentulah senjata rahasia halus yang amat berbahaya. Memang tidak salah dugaannya karena Ching-toanio tadi setelah menyambitkan pedangnya, terus saja mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan jarum-jarum halusnya yang beracun. Sebetulnya, ilmu inilah yang membuat Ching-toanio disegani dan ditakuti. Jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri menghadapi penyerangan hebat ini. Sambitan pedangnya amat kuat dan cepat. Andaikata lawan dapat mengelak atau menangkis daripada ancaman pedang terbang itu, agaknya akan sulit sekali dapat menyelamatkan diri kalau dalam posisi berikutnya diancam jarum-jarum beracun yang malah lebih cepat dan lebih berbahaya datangnya daripada pedang tadi. Jarum-jarum ini amat kecil dan halus, baru ketahuan datangnya kalau sudah amat dekat sehingga sukar untuk dapat dielakkan.

Keadaan Kun Hong lebih sulit lagi pada saat itu. Baru saja dia mengelak dari sambaran pedang terbang, tubuhnya masih merendah dan pada detik itu pedang hitam Bouw Si Ma membabat ke arah kaki. Terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Dalam posisi merendahkan tubuh dan menangkis inilah datangnya sambaran jarum-jarum halus yang hendak merenggut nyawanya itu!

"Keji.......!" Kun Hong berseru keras, tangan kirinya dikibaskan dengan pengerahan tenaga mujijat dan hampir pada detik itu juga, tongkatnya yang tadi menangkis pedang hitam Bouw Si Ma telah berkelebat ke arah dada tokoh Mancu itu.

Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ching-toanio terjengkang ke belakang berbareng dengan robohnya Bouw Si Ma. Ternyata tokoh Mancu ini tidak dapat mengeiak lagi karena sambaran tongkat Kun Hong luar biasa cepatnya, tahu-tahu sudah menusuk dada dan tepat menembus jantung sehingga tokoh Mancu ini memekik, pedang hitamnya terlepas dan dia roboh tidak bernyawa lagi. Adapun Ching-toanio sama sekali tidak pernah menyangka bahwa penyerangannya yang amat curang tadi berakibat celakanya diri sendiri. Uang putih menyambar dari tangan kiri Kun Hong dan tenaga yang amat dahsyat seakan-akan meniup jarum-jarum halus yang menyambar balik ke arah Ching-toanio sendiri. Wanita ini sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat terjadi hal seperti itu, maka ia tidak sempat menyelamatkan dirinya. Jarum-jarum itu menembus pakaian, kulit dan langsung memasuki dada dan lambungnya. Kali ini karena jarum-jarum itu digerakkan oleh tenaga dahsyat yang menyambar dari tangan kiri Kun Hong, bukan main pesatnya sehingga jarum-jarum itu amblas dan lenyap ke dalam tubuh Ching-toanio! Jarum-jarum beracun itu baru melukai kulit saja sudah dapat merenggut nyawa, apalagi sekarang menembus kulit mengeram ke dalam daging. Seketika itu juga Ching-toanio terjengkang dan pada detik berikutnya ia telah tewas dengan mata mendelik dan muka membiru!

"Ohhh.......!" Hui Kauw terisak dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Betapapun juga, hatinya ngeri dan sedih melihat kematian Ching-toanio. Sudah terlalu lama ia menganggap wanita itu sebagai ibunya dahulu di waktu ia masih kecil. Baru ia sadar dan menurunkan kedua tangannya lagi ketika ia merasa betapa Kun Hong memegangnya sambil berkata,

"Hui Kauw, jangan lengah. Kau pergunakan pedang ini......."

Kiranya Kun Hong sudah mengambil pedang hitam milik Bouw Si Ma dan menyerahkannya kepada Hui Kauw. Pendekar Buta ini amat khawatir akan keselamatan Hui Kauw. Biarpun dia berada di situ dan siap membela Hui Kauw dengan seluruh jiwa raganya, namun berhadapan dengan begitu banyak orang pandai, masih saja keselamatan Hui Kauw tidak dapat terjamin. Maka lebih baik gadis itu memegang senjata dan membantunya sehingga kedudukan mereka menjadi lebih kuat. Setelah Hui Kauw menerima pedang hitam, Kun Hong sengaja berseru, suaranya menantang dan keras,

"Hayo, siapa lagi yang hendak merintangi aku bersama nona ini pergi dengan aman? Kalian adalah jago-jago dan tokoh-tokoh terkemuka, terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti. Kalau sudah begitu tidak tahu malu, boleh maju semua mengeroyok kami berdua. Hayo, majulah!" Dengan tongkat melintang di depan dada, Kun Hong sengaja membakar hati mereka dengan maksud menyinggung kehormatan mereka agar mereka merasa segan untuk melakukan pengeroyokan. Biarlah mereka maju seorang demi seorang, pikirnya, dan dia merasa sanggup untuk mengalahkan mereka.

Ka Chong Hoatsu kaget sekali melihat tewasnya Ching-toanio dan Bouw Si Ma. Juga dia merasa menyesal sekali atas kelancangan dua orang itu. Dia sudah cukup dapat menduga bahwa orang muda buta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kini dua orang kawan yang dapat diandalkan tewas begitu saja. Melihat The Sun berbisik-bisik dengan kawan-kawannya, Ka Chong Hoatsu segera berkata lantang,

"Para sahabat dari kota raja! Penjahat buta ini adalah seorang pemberontak, demikian pula si nona hitam. Kenapa tidak segera turun tangan membasminya sebelum dia menimbulkan lebih banyak kekacauan? Kalau perlu, kami pun sanggup membantu."

1   ...   52   53   54   55   56   57   58   59   60


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət