Ana səhifə

Teknik dekontaminasi mikotoksin oleh : Drh. Imbang Dwi Rahayu, Mkes


Yüklə 33.5 Kb.
tarix18.07.2016
ölçüsü33.5 Kb.

TEKNIK DEKONTAMINASI MIKOTOKSIN

Oleh :

Drh. Imbang Dwi Rahayu, Mkes.

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian-Peternakan

Universitas Muhammadiyah Malang


             Mikotoksin berarti toksin yang dihasilkan oleh jamur. Mikotoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh jamur yang termakan bersama-sama bahan pakan yang tercemar jamur. 

            Perhatian dunia secara intensif terhadap mikotoksin cukup besar sejak peristiwa yang mematikan lebih dari 100.000 ekor kalkun di Inggris sekitar tahun 1960. Wabah tersebut terkenal dengan sebutan “penyakit kalkun X” ( “Turkeys-X diseases”). Penyakit ini terjadi pada kalkun yang diberi pakanberupa kacang tanah asal Brasilia yang dicemari oleh fungi, yang menurut hasil identifikasi fungi tersebut adalah Aspergillus flavus.  Zat toksik yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus disebut aflatoksin. Istilah aflatoksin diambil dari singkatan kata Aspergillus flavus toksin.

            Selain aflatoksin terdapat beberapa mikotoksin yang juga bersifat toksik, antara lain  okhratoksin, trichotesen, sitrinin dan zearalenon. Tidak kurang dari 100.000 spesies fungi penghasil mikotoksin, tetapi baru sekitar 150 jenis mikotoksin yang telah diketahui.

            Bahan pangan manusia maupun bahan pakan ternak merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan fungi apabila keadaan lingkungan sangat memungkinkan. Metabolit yang dikeluarkan oleh fungi selama pertumbuhan yang berupa mikotoksin sangat dimungkinkan terkandung dalam bahan pangan maupun bahan pakan yang tercemar. 

            Berkaitan dengan pengaruh toksik dari mikotoksin khususnya aflatoksin yang terkenal berbahaya, maka sangat perlu untuk mengetahui macam dan sifat-sifat aflatoksin dalam usaha untuk mencegah pertumbuhan fungi penghasil, yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dalam bahan pakan ternak.  

Aflatoksin      


   Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang cukup berbahaya, karena bisa mengakibatkan antara lain  hepatotoksik, mutagenik, karsinogeniok dan immuno-supressif. Aflatoksin bisa mencemari bahan pakan, seperti jagung, tepung biji kapas, kacang, tepung kacang, beras, kedelai, gandum dan biji sorgum. Penyerangan jamur pada umumnya saat pemanenan dan penyimpanan dalam kondisi lembab. Aflatoksin bisa dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Kedua jamur tersebut dapat menghasilkan bermacam-macam aflatoksin, antara lain  B1, B2, G1, M1 dan M2. Diantara aflatoksin tersebut yang paling berbahaya adalah B1.

Lingkungan Tumbuh Jamur   


                Aspergillus membutuhkan lingkungan tumbuh yang memenuhi persyaratan, antara lain  memiliki kelembaban relatif (Rh) minimum sebesar 80%. Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus membutuhkan suhu sebesar 25 – 40oC guna pembentukan aflatoksin. Derajat keasaman (pH) medium yang dibutuhkan untuk pembentukan aflatoksin adalah pH 5,5-7,0. Selain persyaratan lingkungan, maka pembentukan aflatoksin sangat ditentukan pula oleh faktor potensial genetik fungi dan lama kontak antara fungi dengan substrat. Potensial genetik fungi ditentukan oleh strain fungi, misalnya terdapat fungi yang khusus menghasilkan aflatoksin B1.

            Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus ditentukan oleh jenis dan kadar karbohidrat. Jenis karbohidrat yang paling baik untuk media fungi antara lain : glukosa, galaktosa dan sukrosa. Kemampuan tumbuh fungi pada media maltosa dan laktosa akan lebih rendah daripada glukosa, galaktosa dan sukrosa. Lebih-lebih pada media sorbitol dan mannitol, maka kemampuan tumbuh fungi akan lebih rendah lagi.

                Keberadaan garam NaCl antara 1 – 3% sangat mendukung pembentukan aflatoksin. Pada NaCl 8% dengan suhu 24°C pembentukan aflatoksin akan dihambat, sedangkan pada suhu 28oC dan 35oC tetap terjadi pembentukan aflatoksin. Pada NaCl berkadar 14% tidak terjadi pembentukan aflatoksin.

Efek Tosisitas Aflatoksin Pada Ternak


            Aflatoksin bersifat mutagenik (menimbulkan mutasi), toksikogenik ( menimbulkan keracunan), dan karsinogenik (menimbulkan kanker jaringan), terutama pada hati, ginjal dan usus. Kerugian lain dari aflatoksin adalah bersifat teratogenik (menyebabkan penghambatan pertumbuhan fetus) dan hepatotoksik (keracunan pada hati) serta immunosupressif (hambatan perkembangan kekebalan), yang berakibat meningkatkan kepekaan individu terhadap infeksi penyakit menular. Pengaruh aflatoksin bisa bersifat akut maupun kronis, hal ini tergantung kepada dosis dan frekuensi aflatoksin yang termakan.

            Jenis ternak unggas yang sensitif terhadap aflatoksin antara lain : itik, kalkun, angsa, ayam dan puyuh. Pada mamalia secara urut dari yang peka sampai yang resisten, adalah  anak babi, babi betina bunting, anak sapi, babi gemuk, sapi dewasa dan domba. Toksisitas aflatoksin semakin meningkat pada hewan muda dan jantan daripada dewasa dan betina.

                Diantara semua aflatoksin, maka aflatoksin B1 adalah yang paling berbahaya dan banyak terdapat di alam. LD50 aflatoksin B1 untuk bebek tua adalah 0,36 mg/kg, pada M1 sebesar 0,33 mg/kg, pada G1 sebesar 0,78 mg/kg, pada B2 sebesar 1,7 mg/kg dan pada G2 sebesar 3,5 mg/kg. Aflatoksin B1 peka dalam mempengaruhi proses biologis, termasuk mengikat RNA.

Teknik Dekontaminasi

            Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat, kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2. Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan. 

            Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%. Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal (100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen, zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg.

            Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora A. flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-zat gizi dalam bahan pakan.

            Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah.   



            Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara lain  activated charcoal, yeast produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain  zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2..  Penambahan zeolit 2%  sebanyak 1mg/kg  bahan pakan terkontamina aflatoksin B1  akan menurunkan kadar aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.

            Upaya menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. flavus maupun A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan kering,  kira-kira kadar air 10-12% terhadap bahan pakan sangat dianjurkan.



            Pemilihan bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi bagi pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang optimum untuk pertumbuhan A. flavus.        

Tags: mikotoksikosis, mikotoksin, teknik dekontaminasi


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət