Ana səhifə

Bab I pendahuluan latar Belakang Masalah


Yüklə 127 Kb.
tarix26.06.2016
ölçüsü127 Kb.
BAB I

PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam menjalani kehidupan di dunia bersama keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar mendambakan kecukupan baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu setiap manusia membutuhkan kedamaian dan kemakmuran, namun seringkali yang diperoleh sebaliknya yaitu peperangan/kekerasan, kekurangan dan kemiskinan. Hal ini merupakan masalah fundamental yang dihadapi oleh tiap-tiap negara, khususnya negara miskin dan sedang berkembang yang tinggal di sebagian belahan bumi selatan.

Terjadi ketidak-seimbangan antara negara maju dan kaya yang tinggal di belahan bumi bagian utara dengan negara miskin dan sedang berkembangnya atau yang tinggal di belahan bumi bagian selatan menimbulkan titik kecemburuan. Negara-negara yang tinggal di wilayah belahan bumi bagian selatan yang mayoritas adalah negara miskin, terbelakang dan sedang berkembang sering menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dari negara-negara maju dan kaya. Adanya arus globalisasi dan pasar bebas adalah contoh tidak imbangnya sebuah persaingan. Ketidakseimbangan inilah yang melahirkan kekecewaan, yang akhirnya mencapai puncak tingkatan yang paling ekstrim dan radikal1.

Ekstrimisme atau radikalisme yang dilakukan oleh kelompok kelas menengah ke bawah, didorong oleh faktor ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosio ekonomi dan politis yang sifatnya diskualifikatif, dislokatif dan deprivatif. Diskualifikatif di identifikasikan dengan sulitnya mendapatkan akses ke dunia kerja akibat ketidakmampuan bersaing karena rendahnya ketrampilan dan pendidikan. Proses dislokasi sosio ekonomis dapat dijumpai dalam bentuk penyingkiran kaum miskin dari sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan kultural.

Sedangkan proses deprivasi sosio politis dapat berupa proses pemis- kinan masyarakat kelas bawah akibat dominasi kekuatan-kekuatan bisnis yang lebih besar melalui lembaga-lembaga ekonomi yang sifatnya mono- polistik, adanya konglomerasi dan masuknya kapital asing berkolusi dengan elit penguasa lokal atas penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politis.

Semua itu berujung pada radikalisasi individual maupun kelompok atas nama “ideologi perubahan atau keyakinan teokratis” dengan “tafsir sempit, miopik dan sepihak”’ yang secara radikal dan brutal justru disalah gunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan radikal dan ekstrim2.

Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhir-akhir ini dinamakan teror/terorisme.Gejolak terorisme semakin berlanjut akibat tatanan dunia yang unipolar pasca perang dingin. Dunia hanya berpusat pada satu sumbu dominasi Amerika Serikat (AS). Kebijakan ekonomi global yang diintroduksi oleh lembaga-lembaga multilateral seperti organisasi WTO, IMF, Bank Dunia dan institusi-institusi lain dengan sponsor negara-negara maju (AS) justru semakin memperburuk kondisi negara berkembang menjadi semakin miskin dan terbelakang.

Langkanya praktek-praktek ekonomi yang adil dan lebih dominannya praktek ekonomi yang eksploitatif (kapitalisme) dalam sebuah negara dan dalam struktur ekonomi kawasan dan global, memiliki hubungan positif dengan semakin rentannya sebuah negara, kawasan dan dunia dari munculnya gerakan dan aksi-ksi terorisme3. Contoh kasus yang baik yaitu kawasan Amerika Latin dan Asia yang diwarnai kesenjangan sosial yang tinggi sebagai warisan ekonomi kolonial dan dampak perkembangan ekonomi kapitalisme yang kuat.

Sementara itu, perasaan termarginalkan secara lebih hebat lagi akibat sistem ekonomi dunia yang semakin tidak jelas, telah menyediakan tempat yang subur bagi munculnya kelompok-kelompok radikal dan ekstrim di kawasan Asia. Sasaran antara mereka adalah untuk mengacaukan keamanan internasional.

Keamanan internasional yang dikomandoi negara Amerika Serikat menjadi sasaran dari gerakan dan aksi-aksi terorisme internasional disebabkan oleh karena tata dunia yang ada, dinilai berada dalam pengaruh kekuasaan yang dominan dari satu negara yaitu Amerika Serikat (AS), yang muncul sebagai negara adidaya tunggal (the sole superpower) dalam periode pasca perang dingin. Pemahaman yang ada pada kelompok radikal tersebut adalah, jika sebuah kekuatan atau kelompok ingin menggugat dan menggantinya dengan alternatif yang ideal sesuai dengan pandangan kekuatan atau kelompok yang melakukan penolakan atau resistensi tersebut maka aksi-aksi terorisme berskala internasional harus dilakukan.

Padahal, alternatif yang dilakukan selama ini dengan jalan-jalan kompromis seperti negosiasi dan diplomasi ataupun kerja sama, tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Lebih jauh lagi, oleh kekeuatan atau kelompok yang melakukan resistensi, mekanisme atau jalur-jalur reguler yang ditempuh selama ini, dinilai telah memberikan hasil yang sangat tidak memuaskan, karena terlalu banyak toleransi dan kompromistik, yang justru sangat merugikan mereka4.

Teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun peristiwa 11 September 2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Peristiwa yang sampai disiarkan langsung oleh stasiun Metro TV, merelay siaran langsung dari CNN itu sangat mencengangkan. Gambar yang muncul di televisi begitu dramatis, Gedung WTC (World Trade Centre) yang begitu perkasa, runtuh perlahan, hancur lebur menjadi debu. Kepanikan dan ketakutan mewarnai Amerika Serikat. Presiden George W. Bush segera mengumumkan kepada dunia, bahwa Amerika diserang teroris biadab.

Teroris tersebut adalah Osama bin Laden dan jaringannnya, Al Qaeda.Teroris itu adalah Islam, Arab5. Sejak itu, kata “terorisme” menjadi kata yang paling populer dan tidak ada habis-habisnya disebut masyarakat dalam obrolan sehari-hari.Osama bin Laden, dengan Al Qaeda-nya dikejar-kejar, karena dianggap sebagai biang peledakan. Tidak hanya Osama tetapi Afghanistan yang saat itu diperintah rezim Thaliban-pun harus dibombardir Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden, Thalibanpun hancur.

Rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut pautnya dengan peledakan WTC mulai terhentak atas pernyataan Menteri Senior Singapura yang dikutip The Straits Times yang lancang menyatakan bahwa Singapura tidak akan pernah aman bertetangga dengan Indonesia yang menjadi sarang teroris. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, bahwa di Indonesia ada jaringan teroris. Nampaknya hal tersebut terkait dengan pernyataan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang menyatakan bahwa Poso sebagai tempat latihan orang-orang yang terkait dengan jaringan Al Qaeda dan Afghanistan. Kata “Terorisme” pun semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia, dan seolah menjadi bahan perbincangan yang “paling mengasyikkan”.

Kejadian pemboman Paddy’s Pub dan Sari Club di Legian, Kuta Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 persis satu tahun setelah Tragedi WTC–semakin mengejutkan bangsa Indonesia, hal itu disebabkan jumlah korban yang begitu besar dan bersifat massal, bahkan mereka (korban) adalah orang-orang yang tidak tahu menahu dan tidak ambil peduli terhadap kebijakan politik negara yang menjadi sasaran utama para teroris. Para korban hanya diposisikan sebagai sasaran antara dari tujuan utama yang hendak dicapai para teroris.

Korban yang bersifat massal dan acak inilah yang mengancam keamanan dan perdamaian umat manusia (human security). Keamanan seolah menjadi barang mahal yang sangat sulit diperoleh. Akhir-akhir ini ancaman terhadap human security semakin meningkat. Senjata-senjata yang dipergunakan para teroris adalah senjata pemusnah dan perusak massal (weapon of massive destruction), bahkan teroris senantiasa melakukan gerakan terorisme internasional dengan modus operandi baru, seperti penggunaan bom surat, dirty bomb, gas sianida dan apa yang diidentifikasi sebagai bom beracun yang mengandung zat radioaktif.

Korban yang bersifat massal ditambah dengan modus operandi yang melampaui dari kejahatan-kejahatan konvensional ini, kemudian orang mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai “extra ordinary crime”. Dan terorisme dianggap sebagai “ hostes humanis generis” musuh umat manusia6, sehingga diperlukan tindakan / langkah yang bersifat luar biasa juga (extra ordinary measures).

Aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 juga telah mengejutkan pemerintah tidak hanya masyarakat Indonesia, lebih-lebih kala itu Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur pem- berantasan tindak pidana terorisme. Namun sejak peristiwa tersebut, pada tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah serta merta mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu ini sekarang telah ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, dan untuk selanjutnya disebut Undang-undang Terorisme). Perpu Nomor 1 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pember- lakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 20027.

Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga kelahiran Undang-undang terorisme ini tidak lepas dari munculnya pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi karena adanya perbedaan titik tolak dalam memandang Terorisme dengan dike- luarkannya Undang-undang Terorisme. Di satu sisi kelompok kontra didasarkan pandangan pada perlindungan Hak Asasi Manusia pelaku (offender oriented), sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro dida- sarkan pada pendekatan perlindungan Hak Asasi Manusia korban (victim oriented).

Alasan yang disampaikan oleh kelompok kontra dengan dikeluarkannya Undang-undang Terorisme antara lain :


  1. Undang-undang Terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena dapat berlaku surut (retro aktif), sedangkan pemberlakuan surutnya sampai kapan tidak dirumuskan secara tegas8

  2. Undang-undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan, sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu, bukan kehendak dan kebutuhan murni masyarakat.

  3. Undang-undang Terorisme merupakan “reinkarnasi” dari Undang-undang Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kekhawatiran ini didasarkan pada adanya kewenangan yang luar biasa kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai bukti permulaan yang cukup). Meskipun ada lembaga “hearing” untuk dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun hal ini masih meragukan, karena laporan intelijen adalah sedemikian rumit mungkin saja tidak mampu dipahami seorang Ketua Pengadilan Negeri.

  4. Aksi terorisme sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan menggunakan hukum pidana umum (KUHP), misalnya masalah pembunuhan, pembakaran, peledakan bom dan sebagainya.

Bagi kelompok yang pro terhadap dikeluarkannya Undang-undang Terorisme, berdasar pada argumentasi bahwa peraturan perundang-undangan yang telah ada (terutama KUHP) tidak dapat diterapkan kepada actor intelectualis dari pelaku teroro ini, dalam arti bahwa dipidana lebih berat dari actor physicus nya. Hal ini karena justru actor intelectualis dalam aksi terorisme mempunyai peran sangat penting dibanding dengan actor physicusr nya. Di samping itu, penanganan terorisme harus segera mungkin, dan hal ini tidak bisa terlaksana apabila diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena itu perlu pengaturan khusus, termasuk hukum acaranya.

Kelompok pro memang didasarkan pada perlindungan korban (memandang dari sisi korabn terorisme), di mana teror merupakan ancaman bagi hak-hak individu seperti hak untuk hidup (right to life), bebas dari rasa takut (freedom from fear), maupun hak-hak kolektif seperti rasa takut yang bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan demokrasi, integritas teritorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan sosial ekonomi, ketentraman masyarakat madani yang pluralistic, harmoni dalam perdamaian inetrnasional dan sebagainya 9 .

Teror biasanya dilakukan secara acak (random) dan tidak terseleksi (indiscriminate) sehingga sering mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah termasuk wanita dan anak-anak dan sering dilakukan secara terorganisisr dan bersifat transnasional (transnational organized crime). Alasan-alasan tersebut semakin mendasari kebutuhan akan adanya pengaturan terorisme secara tersendiri dan khusus.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat tanggal 29 November 2005 telah mengajukan RUU Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris dan merujuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR prioritas 2006 tentang Konvensi Pemberantasan Pendanaan Teroris. Yang menarik perhatian adalah pidana mati yang telah dijatuhkan pengadilan kepada beberapa pelaku tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia

Panduan ini untuk melindungi terpidana dari penerapan pidana mati karena retroaktif (to protect persons from retrospective applications) dan kemungkinan diterapkan tindak pidana yang lebih ringan. Pedoman ini juga mengatur jaminan-jaminan untuk naik banding dan mendapatkan grasi serta jika ada perubahan dalam pemidanaan, menjamin tidak ada eksekusi hukuman mati dilakukan sampai semua prosedur telah dilakukan secara sempurna. Apabila pidana mati dijatuhkan, harus dilaksanakan dengan kebijakan penderitaan paling minimum. Meringankan, tentang asas Non-Retroactive Enforcement sebagai mana diatur dalam Article 6 (2) ICCPR, the United Nations Safeguard Nomor 2 menentukan apabila setelah terjadinya kejahatan, terjadi peru- bahan yang memperingan suatu pemidanaan, terhadap pelaku harus diterapkan pidana yang menguntungkan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 (2) mencantumkan hal ini, yaitu apabila terjadi perubahan perundang-undangan setelah terjadinya kejahatan itu, yang diambil adalah yang paling menguntungkan. Misalnya rumusan kejahatan terhadap negara dan ketertiban umum, yaitu berbagai tindak pidana politik, makar, perbuatan kontra revolusi, sabotase, terorisme, tindak pidana militer dan lain-lain.

Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan pidana mati.

Seiring waktu yang terus berjalan, di berbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Di mana sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun kejahatan-kejahatan lain. Dan masa sekarang pidana mati diharapkan mampu sebagai obat mujarab untuk membasmi kejahatan.

Bangsa Indonesia saat ini sedang melakukan pembaharuan di bidang hukum pidana, salah satunya pidana mati. Pihak pendukung dan penentang pidana mati mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, hasil pikiran bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Masalah pemidanaan sangat berkaitan dengan kehidupan seseorang di masyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.

Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana kadang kala dihadapkan dan mempertimbangkan suatu pendapat yang dipaparkan oleh Hazewinkel-Suringa, yaitu “pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati.

Tapi kadang–kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pihak lain, pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana mati yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus. Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.

Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendak didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa meghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada10.

Menurut Muladi, dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal yaitu pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku; kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.

Dalam RUU KUHP 2006 dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai berikut :


  1. sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan purposive system dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan;

  2. “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub sistem) dari keselu- ruhan sistem pemidanaan di samping sub sistem lainnya, yaitu sub sistem tindak pidana “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)” dan “pidana”;

  3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai pengendali/kontrol/ pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis, rasiona- litas, motivasi dan justifikasi pemidanaan;

  4. dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif),

tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif)11.

Tujuan pemidanaan (The Aim of Punishment) yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system atau teleological system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka RUU KUHP 2006 merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok yaitu “perlindungan masyarakat” (general prevention) dan perlindungan /pembinaan individu (special prevention). Di samping itu tujuan pemidanaan adalah penyelesaian konflik, konsep keadilan restoratif yang juga mementingkan kepentingan korban kejahatan (victim of crime) dan memperlakukan lebih manusiawi pelaku kejahatan12

Menurut RUU KUHP 2006 Jenis Pidana diatur dalam pasal 65 – 68. Pasal 65 memuat tentang : (1) Pidana pokok terdiri atas pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Pidana mati diatur dalam pasal 66, dalam RUU KUHP 2006 dinyatakan bahwa Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 67 memuat tentang Pidana tambahan terdiri atas; pencabutan hak tertentu; perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; pengumuman putusan hakim; pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Sedangkan Pasal 68 berbunyi ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimak sud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur undang undang tersendiri.

Penjelasan RUU KUHP 2006 Pasal 66 adalah :

“Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun”.


Pidana mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam terulang lagi. Pidana mati sebaiknya hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang jelas membahayakan masyarakat, diterapkan secara selektif dan bukan sebagai “legalisasi” atas pembalasan dendam13.

Dalam praktiknya, ancaman pidana mati menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat, khususnya pemerhati dan lembaga hak asasi manusia yang menentang diberlakukannya hukuman mati terhadap pelaku terorisme sebagai tindak pidana. Mereka yang menentang penerapan hukuman mati berpendapat bahwa cara pemidanaan seperti itu melanggar hak asasi manusia (HAM), mereka beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan UU No. 39 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia serta instrumen internasional hak asasi manusia yang sudah diratifikasi Indonesia.

Menurut Andi Hamzah, juga menyatakan bahwa sebagaimana pidana mati, pidana penjara juga menuai kelompok pro dan kontra, terutama berkaitan dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara merupakan salah satu bentuk nestapa berupa penghilangan kemerdekaan. Apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, maka pidana penjara seumur hidup tidak lagi sesuai dan dapat diterima14.

Apapun alasannya, tindakan teror, merusak dan membunuh / melukai adalah perbuatan jahat yang patut dicela. Namun demikian, pengaturan / penanggulangan suatu tindak pidana tidak seharusnya dilaku- kan dengan sembarangan dan tergesa-gesa. Perlu adanya kajian mendalam tindak pidana terorisme di Indonesia dalam perspektif Hukum Islam. Apalagi motif yang melandasi dilakukannya tindak pidana terorisme di Indonesia sangat berbeda dengan motif tindak pidana konvensional lainnya.

Untuk itulah, kajian tentang putusan pengadilan terhadap pelaku terorisme di Indonesia dan pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana terorisme di Indonesia menarik perhatian penulis.


  1. RUMUSAN MASALAH

Bertumpu dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap pelaku Terorisme di Indonesia?

  2. Bagaimana pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia ?

Untuk menfokuskan arah penelitian, diperlukan adanya perincian yang bersifat membatasi permasalahan tersebut, yaitu :

  1. Untuk permasalahan pertama, penelitian difokuskan pada putusan pengadilan terhadap pelaku Terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, uraian terhadap pelaku kasus-kasus Terorisme di Indonesia dan undang undang yang mengatur terorisme, merupakan suatu keniscayaan guna mempertajam pembahasan.

  2. Permasalahan kedua, difokuskan pada pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia




  1. TUJUAN PENELITIAN

      1. Untuk mengetahui putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia.

      2. Untuk memahami pandangan islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia.

  2. KERANGKA TEORITIS

1. Tindak Pidana dalam Hukum Adat

Penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana, masing-masing daerah dan atau suku di Indonesia memiliki cara-cara tersendiri misalnya dengan Pidana mati. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur di bawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.

Di Aceh, seorang istri yang berzina dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar denda dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik atau perampok wanita, baik penduduk asli atau bukan yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.

Di Sulawesi Tengah, seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati.

Di Pulau Bone dan Terate, pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias, bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan.

Di Pulau Timor, tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik slah putih (zina antara bapak dan ibu dengan anaknya atau mertua dengan menantunya dsb) dan berzina dengan istri orang lain15.


2. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Indonesia

Roeslan Saleh dalam Andi Hamzah menyatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkingan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan yang berat itu adalah :



  1. Pasal 104 yaitu makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

  2. Pasal 111 ayat 2 yaitu membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang

  3. Pasal 124 ayat 3 yaitu membantu musuh waktu perang

  4. Pasal 140 ayat 3 yaitu makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut

  5. Pasal 340 yaitu pembunuhan berencana

  6. Pasal 365 ayat 4 yaitu pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati

  7. Pasal 368 ayat 2 yaitu pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati

  8. Pasal 444 yaitu pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian

Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya, antara lain:

  1. Undang-undang No. 4 tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

  2. Pasal 59 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika

  3. Pasal 36 ayat 4 Sub b Undang-undang No. 9 tahun 1976 Tentang Narkotika, j.o UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

  4. Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3) Undang-undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

  5. Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme16.

Tindak Pidana Terorisme merupakan salah satu tindak kriminal. Sudarto mendefinisikan kriminal dalam tiga arti. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; sedang dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat17.

Secara singkat beliau memberikan definisi kebijakan kriminal (politik kriminil) adalah suatu usaha yang rasionil dari masyarakat dalam menanggulangi kajahatan18. Senada dengan Sudarto, G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime19.

Hoefnagels menyatakan bahwa criminal policy as science of policy is part of larger policy: the law enforcement policy. Jadi kebijakan kriminal bukanlah sebuah kebijakan yang berdiri sendiri, terlepas dengan kebijakan-kebijakan lain, tetapi ia harus dilihat pula dalam hubungannya dengan keseluruhan kebiajkan sosial. Sebagai suatu kebijakan penegakan hukum, upaya ini termasuk di dalam bidang kebijakan sosial. Oleh karena itu, kebijakan kriminal adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial.

Kebijakan-kebijakan tersebut bertumpu pada tujuan yang hendak dicapai oleh hukum pidana, yaitu adanya kepentingan–kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni, sebagaimana dikutip Barda Nawawi adalah:



    1. pemeliharaan tertib masyarakat;

    2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

    3. memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

    4. memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu20.

Kebijakan kriminal ini dapat diaplikasikan melalui dua jalur penal dan non penal21. Sementara kebijakan penal (kebijakan hukum pidana) dioperasionalkan melalui tiga tahap yaitu :

  1. Tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang;

  2. Tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan; dan

  3. Tahap kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana / eksekusi pidana.

Adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor Undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan22.

Apabila dilihat dari keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting atau tahap peling strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasi-onalisasikan sanksi pidana23.

Hal ini karena, pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di dalam penegakan hukum24, sekaligus merupakan lanndasan dan pondasi bagi dua tahap berikutnya. Suatu perumusan hukum pidana yang kurang baik, akan berdampak pada kurang baiknya dua tahap berikutnya.

Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum Pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan: perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar25.

Jadi, dalam kebijakan kriminal dengan jalur penal (penal policy), orang akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang ling- kup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun tindakan.

Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai justru menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimun remedium (ultima ratio principle), dan menjadi boomerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) yang justru mengurangi wibawa hukum26.

Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai kriteria suatu perbuatan dapat diberi ancaman pidana atau tidak. Hal-hal tersebut adalah 27:


    1. Penggunaan hukum pidana harus berusaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum Pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan sekaligus sebagai pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri.

    2. Perbuatan yang hendak ditanggulangi adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kerugian baik bagi masyarakat maupun bagi diri sendiri pelakunya.

    3. Usaha mencegah suatu perbuatan dengan mempergunakan sarana hukum pidana, perlu disertai dengan perhitungan akan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost and benefit principle).

    4. Pembuatan peraturan hukum pidana perlu memperhatikan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (dalam arti luas). Perlu dijaga, jangan sampai ada kelampauan beban tugas , yang justru akan mengakibatkan efek dari suatu peraturan itu menjadi berkurang.

Dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan terorisme dengan hukum pidana, pembuat undang-undang harus menjaga keseimbangan antara empat kepentingan yaitu perlindungan korban, keamanan nasional, “due process of law”, dan “ international peace and security”28.

Terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999) sebagaimana dikutip Muladi merupakan tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara merdeka29.

Terorisme merupakan kejahatan transnasional / internasional yang terorganisir (transnasional organized crime). Oleh karena itu dalam penanggulangannya membutuhkan kerjasama internasional. Menurut Konvensi Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai transnasional organized crime, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :


    1. dilakukan di lebih dari satu negara;

    2. dilakukan di satu negara, tetapi persiapan, perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain;

    3. dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara; atau

    4. dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai ke negara lain30.

Terorisme dewasa ini dikategorikan sebagai transnasional organized crime dan sekaligus hostes humanis generis, oleh karena itu, masyarakat internasionalpun telah mulai bereaksi dengan menyelenggarakan berbagai konferensi dengan hasil berbagai konvensi yang berkaitan dengan terorisme.

Konvensi-konvensi tersebut antara lain : States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism, The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998), Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of independent States in Combating Terorism (1999), Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999), dan lain-lain.

Konvensi-konvensi Internasional di atas menegaskan bahwa tindak pidana terorisme ini tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik. Oleh karena bahwa perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan hak sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme.

Mengenai kualifikasi tindak pidana terorisme, umumnya konvensi-konvensi tersebut, di samping menegaskan secara tersendiri mengenai terorisme, juga menunjuk tindak pidana lain yang terdapat dalam konvensi internasional sebelumnya, sebagai tindak pidana terorisme. Konvensi internasional yang ditunjuk antara lain :



  1. Konvensi tentang kejahatan dan tindakan lain yang dilakukan di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 1963);

  2. Konvensi tentang pembasmian perampasan pesawat terbang yang menyalahi hukum (The Hague, 1970);

  3. Konvensi tentang pembasmian tindakan menyalahi hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil (Montreal, 1971) beserta protokolnya (Montreal, 1984);

  4. Konvensi tentang pencegahan dan hukuman tindak kejahatan terhadap orang-orang yang memiliki imunitas internasional termasuk agen diplomatik (New York, 1973);

  5. Konvensi internasional terhadap penyanderaan (New York, 1979);

  6. Konvensi hukum laut PBB dan pasal-pasalnya yang berkaitan dengan pembajakan di laut;

  7. Konvensi tentang perlindungan fisik bahan nuklir (Vienna, 1979);

  8. Protokol untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum terhadap keselamatan platform tetap tentang dasar kontinental (Roma, 1988);

  9. Konvensi untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum terhadap keselamatan navigasi maritim (Roma, 1987);

  10. Konvensi tentang plastic exsplosive untuk tujuan deteksi (Montreal, 1991);

Dengan mengacu dan melakukan studi komparasi baik pada konvensi-konvensi internasional maupun aturan antiterorisme di negara lain, akan lebih memperkaya studi tentang tindak pidana terorisme di Indonesia baik dari sisi ius constitutum maupun ius constituendumnya.


  1. METODE PENELITIAN

      1. Spesifikasi Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji tindak pidana Terorisme di Indonesia dalam persepektif hukum Islam, menggambarkan secara rinci tindak pidana terorisme yang ada di Indonesia dan tinjauan dari perspektif hukum Islam.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk melukiskan atau memberikan gambaran tentang sesuatu31. Menurut Mohammad Nazir penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki32.

Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu33.


      1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu digunakan untuk mengkaji/menganalisis data yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan primer dan bahan-bahan sekunder34.

      1. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka35. Sedangkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan data primer dan sekunder, sehingga diperoleh data yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsung yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan bahan hukum sekunder yaitu berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, hasil penelitian dank kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukumdan ensiklopedia36. Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan:

a. Studi Kepustakaan dan Dokumen

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder di bidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi37 :

1) Bahan Hukum Primer, yang meliputi :

a) Norma dasar pancasila;

b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945;

c) Peraturan Perundang-undangan;

d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;

e) Yurisprudensi; putusan hakim yang memutus pidana terorisme di Indonesia ;

f) Traktat.

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi :

a) Rancangan peraturan perundang-undangan;

b) Hasil karya ilmiah para sarjana;

c) Hasil-hasil penelitian

Dari sekian banyak data sekunder di bidang hukum, yang digunakan dalam penelitian ini adalah norma dasar Pancasila, Peraturan Perundang-undangan yang terkait, Traktat, Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian. Di samping itu juga digunakan dokumen-dokumen dan artikel media massa, serta data lapangan putusan hakim.


    1. Observasi

Observasi dilakukan untuk menemukan kasus yang telah diputus akibat tindak pidana Terorisme di Indonesia oleh Hakim dilihat dalam perspektif hukum Islam guna mengetahui dan menggali pidana mati terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia.

4. Penyajian dan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, analogi/interpretasi, komparasi dan sejenis itu. Metode berfikir dipergunakan adalah metode induktif, yaitu dari data/fakta menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, termasuk juga melakukan sintesis dan mengembangkan teori (bila diperlukan dan datanya menunjang)38.

Sedangkan analisis data merupakan proses yang tidak pernah selesai. Proses analisis data sebaiknya dilakukan segera setelah peneliti meninggalkan lapangan sebagai proses untuk menemukan tema-tema dengan cara menggabungkan sumber-sumber data yang ada39. Dari penyajian dan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.


  1. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan ini tersusun secara sistematis dengan diawali Bab I yang mengetengahkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori dan metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan

Bab II berisi Tinjauan Pustaka, yang diarahkan pada hal-hal yang relevan dengan judul, yaitu pembahasan mengenai gambaran umum tindak pidana terorisme yang meliputi pengertian dan ruang lingkup terorisme, sejarah asal usul terorisme, tipologi terorisme dan motif dilakukannya terorisme di Indonesia. Di samping itu kajian mengenai putusan-putusan pengadilan tindak pidana Terorisme di Indonesia, dan pandangan Islam mengenai Pidana Mati.

Bab III berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan penelitian yang meliputi: Pertama : putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tindak pidana Terorisme yang ada di Indonesia; termasuk yang dipidana mati. Kedua : pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia.

Bab IV penutup, berisi kesimpulan dan saran berdasarkan permasalahan yang dibahas, disimpulkan berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta saran yang ditarik dari kesimpulan.




1 Ali Masyhar, 2003, Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Tesis, hal. 2

22 Herdi Sahrasad, Teror Bom, Ketidakadilan dan Kekerasan, Republika, 5 Oktober 2002, h. 5.

33 Poltak Partogi Nainggolan (ed), Terorisme dan tata Dunia Baru, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2002, h.15

4 4 Ibid., h.7

5 5 Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers, 2001, h..ix

66 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Azasi Manusia, Makalah disampaikan pada kuliah Umum S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

7. Ibid.


7


8 Pasal 46 UU No.15 Tahun 2003 “ Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hokum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

9 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Azasi Manusia, op.cit., h. 1-2.

10 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia,USU Digital Library, h.2

11 Barda Nawawi Arief, 2007, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, h.36-37

12 Muladi, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Materiil, Makalah dalam Seminar dan Kongres ASPEHUPIKI tanggal 16 – 18 Maret 2008, Bandung, h. 10-11


13 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, h. 9

14 14 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia: dari retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, h.28.


15 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, USU Digital Library.



16 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas penggunaan Pidana mati di Indonesia, www.docu-track.com.


17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 113-114.

18 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 38. lihat pula Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat: kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung. 1983, h. 26

19 G. Peter Hoefnagels, The Other Side Of Criminology, Kluwer-Deventer Hollan, 1969, h.57.

20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 35 – 36.

21 Dalam konteks membahas tentang kriminologi, G.P. Hoefnagels menegaskan criminal policy terdiri dari : (1) influencing views of society on crime and punishment, (2) criminal law application dan (3) prevention without punishment.

22 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajawali, Jakarta, h. 5.

23 Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, op.cit., h. 75.

24 Penegakan hukum tidak hanya menyangkut pelaksanaan hukum (law enforcement), tetapi juga meliputi langkah preventif dalam arti pembuatan undang-undang, lihat Nyoman Serikat Putrajaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 49.

25 Barda Nawawi Arief, op.cit., h. 29.

26 Muladi, Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime, Makalah pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan dalam Bidang Telematika, diselenggarakan oleh Universitas Semarang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang, 23 Juli 2002. h. 1.

27 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit., h. 144 - 148

28 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Aasasi Manusia,Op.cit., h. 6.

29 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, h. 173.

30 Ibid., h. 168 - 169

31 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, h. 10

32 Mohamamad Nazir, 1983, Metode Penelitian, Darussalam: Ghalia Indonesia, h.63.

33 Burhan Bungin, 2002, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University, h.48.

34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang: Ghalia Indonesia, h. 11-12.

35 Lexy J. Moleong, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, h.6.

36 Ronny Hanitijo Soemitri, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang, Ghalia Indonesia, h. 11-12.

37  Ibid, h.13

38 Sanapiah Faisal, 1990, PenelitianKualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang, h. 39.

39 Burhan Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, h. 66.





Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət