Ana səhifə

Sebab-Sebab Perpecahan Umat dan Cara Penanggulangannya


Yüklə 1.9 Mb.
səhifə3/4
tarix26.06.2016
ölçüsü1.9 Mb.
1   2   3   4

3.      Perpecahan Hanya Terjadi Dalam Masalah Prinsipil

Kebodohan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya perepecahan. Kebodohan merupakan penyakit akut yang sangat sulit disembuhkan, yang pada waktu bersamaan menciptakan atmosfir-atmosfir perpecahan. Kebodohan yang dimaksud adalah kebodohan dalam bidang agama, baik kebodohan dalam aspek aqidah maupun aspek syari'at. Jahil terhadap sunnah serta kaidah-kaidah dan metodologinya. Bukan hanya buta tentang beberapa disiplin ilmu saja, sebab seperangkat ilmu yang menjadi pelindung diri dan pedoman operasional agama sudah cukup bagi mereka untuk disebut alim terhadap masalah agama sekalipun tidak menguasai seluruh disiplin ilmu. Akan tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki maklumat yang lumayan banyak, namun jahil tentang kaidah-kaidah dasar agama. Ia tidak mengerti kaidah-kaidah dasar aqidah, etika-etika dalam berbeda pendapat, kaidah-kiadah dalam menghadapi perpecahan dan menyikapinya serta etika-etika mu'amalah dengan orang lain. Ini sungguh musibah yang sangat besar yang sangat banyak menimpa umat manusia sekarang ini.

Misalnya seseorang yang memiliki sejumlah maklumat agama atau seorang yang banyak menimba ilmu dari berbagai sumber, namun ternyata ia jahil tentang masalah aqidah dan fiqih. Tidak mengerti etika bermu'amalah, prosedur memvonis orang lain. Tidak memahami kaidah-kaidah dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar, sehingga tanpa disadari ia telah berbuat kerusakan. Jelaslah, kejahilan merupakan musibah dan penyebab utama terjadinya sebuah perpecahan, orang-orang jahil merupakan aktor utama sekaligus pemicu terjadinya perpecahan.

4.      Perselisihan Kadang Kala Timbul Karena Perbedaan Ijtihad Tidak Demikian Halnya Perpecahan.

Kerancuan dalam metodologi memahami agama. Berapa banyak kita temukan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan banyak menelaah buku-buku, namun menempuh metodologi memahami agama yang rancu. Sebab memahami agama memiliki metode tersendiri yang sudah diwarisi sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, tabi'in serta generasi Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga hari ini.

Metodologi tersebut ialah menuntut ilmu, mengamalkan, ihtida' (mengikuti petunjuk), iqtida' (meneladani kaum salaf), suluk (adab dan akhlak) dan mu'amalah. Yaitu menguasai kaidah-kaidah dasar syari'at lebih banyak daripada mengenal hukum-hukum furu' dan sejumlah nash-nash tertentu saja. Dengan begitu kita dapat memahami agama secara sempurna dari para pemimpin teladan, yaitu para imam-imam dan para penuntut ilmu yang terpercaya dan mapan ilmunya. Yaitu menuntut ilmu sesuai dengan tahapan-tahapannya, baik secara kuantitas maupun jenis, sesuai dengan perkembangan dan kesiapan. Ilmu yang menghasilkan pemahaman agama yang baik ialah ilmu syar'i yang ditimba dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta atsar-atsar para imam yang shahih. Buku-buku tsaqafah (pengetahuan umum), pemikiran, sastra, sejarah dan sejenisnya tidaklah dapat menghasilkan pemahaman agama. Hanyalah sebagai ilmu sampingan dan alat bantu bagi yang dapat memetik faidah darinya.

Fenomena Kerancuan Dalam Metodologi Memahami Agama

 

Beberapa Fenomena Kerancuan Dalam Metodologi Memahami Agama Yang Dimaksud Adalah.



1.      Mengambil ilmu tidak dari ahlinya.

    Maksudnya ialah sebagian orang mengambil ilmu dari setiap orang yang mengajak mereka belajar. Dan dari setiap orang yang mengibarkan bendera dakwah serta mengaku: "Aku adalah seorang juru dakwah". Akhirnya mereka jadikan juru dakwah itu sebagai imam panutan dalam masalah agama. Mereka-pun menimba ilmu darinya, padahal juru dakwah itu tidak paham Islam sama sekali. Oleh sebab itu, kita temui sekarang ini slogan-slogan mentereng yang dikibarkan panji-panjinya oleh sekumpulan umat manusia, terutama para pemuda.

Kita dapati pemimpin dan ketuanya jahil tentang dasar-dasar agama. Lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.

Sebabnya ialah juru-juru dakwah tersebut melihat dirinya banyak diikuti orang yang mengambil ilmu agama darinya tanpa hati-hati dan mencari kejelasan serta tanpa metodologi yang benar. Mereka tidak melihat apakah pemimpinnya itu layak diambil ilmunya ataukah tidak !?

Pada umumnya mereka lebih terbawa perasaan daripada dituntun oleh ilmu. Ini jelas sebuah kesalahan fatal, artinya setiap muncul juru dakwah yang kondang dan kharismatik mereka langsung menjadikannya sebagai imam dalam agama. Meskipun juru dakwah tersebut tidak punya ilmu pengetahuan tentang sunnah nabi dan fiqih sedikitpun. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mencabut suatu ilmu secara sekaligus setelah dianugrahkan kepadamu. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencabutnya dari manusia dengan mewafatkan para ulama berserta ilmunya. Maka yang tersisa hanyalah orang-orang jahil. Apabila mereka dimintai fatwa maka mereka memberi fatwa menurut pendapat mereka sendiri. Maka mereka sesat dan menyesatkan" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Al-I'tisham bil Kitab was Sunnah 8/282. Hadits ini diriwayatkan juga dengan lafal yang berbeda oleh Imam Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Daud]

Dakwah kepada agama Allah dan amar ma'ruf nahi mungkar hanya pantas dicetuskan oleh para ulama yang mulia lagi paham tentang masalah agama dan menimba ilmunya dari sumber yang asli dengan berlandaskan metode yang benar. Jika demikian, tidak semua orang yang akalnya dipenuhi pengetahuan, wawasan dan pemikiran-pemikiran boleh dijadikan imam dalam agama. Sebab banyak sekali dijumpai orang fasik bahkan orang kafir yang mengetahui banyak persoalan agama Islam, dan banyak pula dijumpai dari kalangan orientalis yang menghafal sejumlah buku-buku induk dalam ilmu fiqih. Bahkan mereka hafal Al-Qur'an, Shahih Bukhari, kitab-kitab Sunan dan lain-lainnya. Orang-orang seperti itu hanyalah hafal ilmu namun tidak memahami agama sama sekali. Begitu pula banyak orang yang mengaku dirinya muslim, dan memiliki sejumlah maklumat, namun tidak memahami metodologi memahami agama, tidak memahami kaidah-kaidah amal, mu'amalah dam iltizam (komitmen) terhadap As-Sunnah. Tidak mengambil dienul Islam dengan metodologi yang benar. Tidak mengambilnya dari ulama rabbani, sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu, mengarahkan dan mengumpulkan orang tanpa dasar ilmu dan aqidah yang benar.

2.      Salah satu fenomena kerancuan dalam metodologi memahami agama yang merupakan sebab perpecahan umat ialah memisahkan diri dari para ulama.

    Yaitu sebagian penuntut ilmu, juru dakwah dan pemuda memisahkan diri dari ulama. Mereka merasa cukup menimba ilmu agama melalui buku, kaset, majalah dan media-media lainnya. Mereka enggan menuntut ilmu dari para ulama. Hal ini jelas merupakan gejala yang berbahaya bahkan merupakan benih perpecahan umat. Jika kita kembali melihat sejarah awal perpecahan umat Islam, seperti menyempalnya kelompok Khawarij dan Rafidhah, niscaya kita dapati bahwa diantara faktor utama terjadinya bencana perpecahan di kalangan orang-orang yang mengaku Islam -selain orang-orang munafik dan zindiq- adalah memisahkan diri dari sahabat. Melecehkan sahabat dan menolak mengambil ilmu dari sahabat. Orang-orang itu lebih memilih menimba ilmu secara otodidak atau dari rekannya. Mereka berkata : "Kami sudah menguasai Al-Qur'an, kami sudah memahami As-Sunnah, kami tidak butuh bimbingan orang lain, maksud mereka, tidak butuh bimbingan para sahabat dan ulama dari kalangan tabi'in. Dari situlah mereka menyempal dan keluar dari metodologi memahami agama yang benar. Menyimpang dari jalan orang-orang yang beriman (para sahabat), jalan (metode) yang diambil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan metode yang diambil para tabi'in dari para sahabat, kemudian diambil oleh generasi salaf dari para imam-imam terpercaya generasi demi generasi. Dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Ilmu ini akan diambil oleh para imam yang adil dari setiap generasi" [Hadits Riwayat Al-Khatib Al-Baghdadi dalam buku Syarah Ashhabul Hadits hal. 28-29, Ibnu Adi dalam buku Al-Kamil I/152-153 dan III/902 dan dinyatakan hasan oleh beliau. Dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam buku Bughyatul Multamis hal. 34-35]

Para imam yang adil adalah para penghafal hadits yang tsiqah (kuat hafalannya), yaitu yang mengambil ajaran agama ini dari para ulama lalu mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Memisahkan diri dari ulama merupakan bahaya yang sangat besar. Sebab ilmu hanya akan membuahkan berkah bila diambil secara benar dari alim ulama. Dan eksistensi ulama tidak akan pernah terputus sampai akhir zaman.

Propaganda segelintir orang bahwa ulama juga punya kekurangan dan kekeliruan adalah propaganda yang menyesatkan. Memang benar, ulama juga manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan dan kekeliruan, namun jangan lupa, secara umum mereka merupakan teladan dan panutan. Mereka adalah hujjah, melalui merekalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menyalurkan agama ini. Merekalah ahli dzikir dan rasikhun (dalam ilmunya). Merekalah para imam yang mendapat petunjuk dan siapa saja yang menyimpang dari jalan mereka pasti binasa. Merekalah jama'ah, siapa saja yang keluar darinya pasti sesat. Menimba ilmu dari selain ahlinya (ulama) merupakan tindakan yang sangat berbahaya, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.

3.      Di antara gejala salah kaprah dalam memahami agama adalah pelecehan kepada ulama yang dilakukan oleh sebagian orang yang sok tahu dan sejumlah oknum juru dakwah.

    Sangat disayangkan, gejala tidak sehat ini kita lihat mulai merebak. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan. Kita wajib saling menasihati guna mencegahnya. Sebab setiap perkara yang tidak segera ditanggulangi para penuntut ilmu dan alim ulama bisa menjadi bahaya besar.

4.      Sebagian pemuda yang berguru kepada sesama mereka, atau kepada pelajar-pelajar yang tidak lebih pandai daripada mereka.

     Yaitu belajar secara penuh serta meninggalkan ulama-ulama besar dan memutuskan hubungan dengan mereka. Bukan maksudnya tidak boleh belajar dari para penuntut ilmu, bahkan siapa saja yang menguasai salah satu disiplin ilmu syari'at, di samping itu ia juga seorang yang shalih, tentu boleh saja menimba ilmu darinya. Namun juga bukan berarti meninggalkan orang yang lebih alim daripadanya. Atau merasa cukup dengan penuntut ilmu itu serta memutuskan hubungan dengan para ulama besar. Sebab bisa jadi hal itu menjadi salah satu faktor munculnya perpecahan. Yaitu bilamana para pemuda tersebut sudah merasa cukup mengambil ilmu, teladan, panutan, etika dan petunjuk dari sebagian penuntut ilmu serta meninggalkan para ulama yang lebih alim, lebih terhormat dan lebih senior.

Sudah barang tentu hal ini sangat berbahaya. Dan lebih bahaya lagi bila sebagian pemuda tersebut dianggap syaikh dalam hal ilmu oleh sebagian yang lain.

Namun hal itu jangan disalah tafsirkan sebagai larangan menyelenggarakan majelis ilmu (selain majles ulama), bergaul dan bekerja sama dalam dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Bahkan majelis-majelis dan kerja sama dalam hal itu sangat dianjurkan. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah menimba ilmu dengan metode yang keliru, yaitu menolak mengambil ilmu dari para ulama. Sikap seperti itu merupakan ciri ahli bid'ah dan ahwa', sikap yang sangat berbahaya dan merupakan faktor utama meletusnya perpecahan. Sebab metode seperti itu akan membatasi pengambilan ilmu dari orang-orang tertentu saja. Hal itu bisa menggiring kepada hizbiyyah (bergolong-golongan) dan ashabiyah (fanatik golongan). Apalagi karakter ulama tidak tampak pada diri pemuda-pemuda itu. Dari sinilah bibit perepecahan akan tumbuh.

5.      Perpecahan Mesti Diiringi Dengan Ancaman, Berbeda Halnya Perselisihan

Di antara sebab-sebab perpecahan adalah asumsi yang berkembang bahwa mengikuti para imam-imam yang berada di atas hidayah dan ilmu sebagai sikap taqlid (membebek) yang dilarang. Kerancuan seperti ini sering kita dengar dari sebagian orang yang sok tahu. Mereka berkata :

"Mengikuti syaikh-syaikh adalah taqlid". Sementara taqlid tidak dibolehkan dalam agama, mereka manusia dan kita juga manusia, kita berijtihad sebagaimana mereka berijtihad, kita memiliki sarana berupa buku-buku, zaman sekarang sarana ilmu tersedia lengkap, mengapa kita harus mengambil ilmu dari ulama ? Bahkan mengambil ilmu dari ulama termasuk taqlid, sementara taqlid itu sendiri adalah batil!

Kita jawab : 'Benar, taqlid memang batil, namun apa pengertian taqlid itu? Ada beberapa perbedaan mencolok antara taqlid dengan mengikuti petunjuk para imam. Secara syar'i, mengikuti para imam hukumnya wajib. Sementara mayoritas kaum muslimin, bahkan banyak dari kalangan penuntut ilmu, tidak mampu berijtihad dengan benar dan tidak mampu mengambil dasar-dasar ilmu dengan cara yang benar. Lalu dari mana mereka mengambil ilmu? Dan bagaimana mereka mempelajari metodologi memahami agama dengan benar, kaidah-kaidah sunnah nabi dan pedoman-pedoman Salafus Shalih dan para imam ?

Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti alim ulama. Jelaslah hal itu bukan taqlid. Bila tidak demikian, maka setiap orang akan menjadi imam bagi dirinya sendiri dan setiap orang akan memecah menjadi kelompok tersendiri. Konsekwensinya, kelompok-kelompok tersebut akan berpecah sebanyak jumlah manusia. Hal itu tentu saja batil. Jadi jelaslah bahwa mengikuti para imam yang berada di atas petunjuk dan ilmu bukanlah termasuk taqlid. Hanya mengikuti secara membabi buta sajalah yang layak dikatakan taqlid!

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui" [Al-Anbiya' : 7]

Salah satu gejala yang berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana ilmu (seperti buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup mengambil ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri dari ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap Islam yang menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari ulama, ia berkata : 'Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan lain-lain'. Kemudian ia bekata lagi : 'Saya mampu belajar melalui sarana-sarana ini!'.



Jawaban kami : 'Tentu saja, sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata dua. Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar'i melalui sarana-sarana itu merupakan kekeliruan dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal itu akan mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan memunculkan sosok ahli ilmu yang tidak baik, karena mereka mengambil ilmu tidak sebagaimana mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan alim ulama. Mereka mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan dan perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya.

Namun, para pemuda bersama para ulama harus bahu-membahu menanggulangi persoalan ilmiah atau problematika umat. Jika para pemuda itu tidak melakukan hal itu, mereka akan binasa dan membinasakan orang lain.

Bahkan sarana-sarana tersebut memberikan gambaran sosok orang-orang yang disebut para intelektual kepada kita. Mereka mengetahui sejumlah maklumat yang membuat orang-orang takjub. Namun mereka tidak mengerti kaidah-kaidah dasar agama, tidak mengerti pedoman Salafus Shalih, mereka dapati orang-orang mengikuti mereka tanpa ilmu. Fenomena seperti ini banyak kita dapati sekarang ini dalam beragam bentuk dan modelnya. Bahkan ada juga di antara orang-orang model begitu yang menjadi juru dakwah dan pembina para pemuda hanya karena memiliki maklumat dan pengetahuan umum yang membuat orang-orang awam tercengang.

Kadangkala mereka juga mengetahui sejumlah masalah-masalah syari'at, namun tidak menguasai kaidah-kaidahnya, tidak mengerti tata cara memahaminya, tidak mengerti cara penerapan dan operasionalnya serta tidak mengerti metode ahli ilmu dalam mengupas persoalan-persoalan ilmiah berikut penerapannya di lapangan.



6.      Kurang Memahami Kaidah-Kaidah Berselisih Pendapat

Di antara sebab-sebab perpecahan adalah kurang memahami kaidah-kaidah berselisih pendapat. Yang saya maksud di sini adalah mengenal hukum-hukum berbeda pendapat antara dua orang muslim dan efek yang timbul di balik itu. Mana saja yang boleh diperselisihkan dan mana yang tidak. Jika ada seseorang menyelisihi, bilakah penyelisihannya itu dapat ditolerir ? Bilakah kita boleh memvonisnya kafir atau fasik ? Apakah vonis seperti itu boleh dijatuhkan oleh siapa saja ?

Banyak sekali orang yang tidak mengetahui perincian masalah tersebut. Terkadang dari sinilah muncul perpecahan yang seharusnya tidak terjadi ! Demikian pula dangkalnya pemahaman tentang kaidah-kaidah ijma' dan jama'ah. Memahami kaidah-kaidah tersebut sangat penting sekali yang dewasa ini banyak diabaikan oleh mayoritas penuntut ilmu syar'i. Di samping mereka juga tidak memahami tujuan dan makna persatuan umat, kaidah-kaidah jama'ah, bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengerti titik-titik rawan perpecahan dan sebab terjadinya, titik rawan fitnah dan sebab pecahnya fitnah. Mereka tidak memahami mana saja hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang tetap dan yang dapat berubah-ubah.

Ciri mereka adalah jahil terhadap kaidah-kaidah umum syari'at dan hikmah-hikmah umum syari'at, seperti kaidah-kaidah yang berkaitan 'mengambil maslahat dan menolak mafsadah', kaidah 'kesulitan mendatangkan kemudahan', kaidah penetapan bilakah seseorang mendapat dispensasi, bilakah kaidah 'darurat' dapat diterapkan, dan bagaimana caranya menerapkan seperangkat kaidah tentang 'darurat', hukum-hukum pada masa fitnah, perdamaian. Mereka juga tidak mengetahui kaidah dan etika bermu'amalah terhadap orang yang beselisih pendapat dengannya, etika terhadap ulama dan penguasa. Oleh karena itu kita dapati banyak di antara mereka yang tidak dapat membedakan antara kondisi gawat dan fitnah dengan kondisi aman dan damai, akibatnya keliru dalam berkomentar dan menetapkan hukum. Ini jelas merupakan kekeliruan besar dan salah satu sebab perpecahan.

Saya beri contoh tentang pertikaian yang terjadi antara saudara-saudara kita di Afghanistan. yaitu pertikaian yang terjadi di wilayah Kunar. Orang yang punya bashirah akan mengetahui bahwa pertikaian yang terjadi bukan antara haq dan batil secara mutlak. Atau bukanlah pertikaian dalam masalah aqidah secara mutlak. Tidak ada dalih qath'i yang menunjukkan bahwa kebenaran ada pada salah satu dari dua pihak yang bersengketa. Hanya saja menurut sebagian orang, kebenaran lebih condong pada salah satu dari dua pihak tersebut. Sementara menurut orang lain justru sebaliknya. Maka cara yang paling tepat adalah mencari kejelasan lalu berusaha menciptakan perdamaian dan memadamkan api pertikaian dan mengembalikan permasalahan kepada ahli ilmu[[1]]
Akan tetapi yang berkomentar tentang fitnah itu adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum seputar fitnah, dan kapan waktunya harus angkat bicara dan kapan waktunya harus diam. Kapan kita boleh mengomentari seseorang dan menjatuhkan vonis atasnya dan kapan hal itu tidak dibolehkan. Sementara ia tidak punya pengetahuan tentang kemaslahatan umat Islam yang besar. Kemaslahatan yang berlaku bagi terciptanya persatuan umat Islam. Bagaimana menyatukan persepsi dan mengadakan perdamaian. Serat keharusan menahan diri berbicara apabila dengannya api fitnah akan berkobar. Dan menjauh dari pertikaian yang tengah terjadi antara dua kelompok muslim di tengah-tengah situasi fitnah, mencegah kerusakan dan tindakan-tindakan lainnya.
Sungguh banyak sekali orang yang tidak memiliki bashirah dan ilmu pengetahuan mencampuri persoalan ini. Mereka tidak mengambil petunjuk dari ucapan ahli ilmu dan tidak meminta pengarahan dari para syaikh yang ada di tengah-tengah mereka. Mereka justru berambisi agar para ulama menerima pendapat-pendapat mereka. Akan tetapi mereka sendiri tidak mau mendengar arahan para ulama

7.      Sikap Ekstrim Dalam Agama

Ekstrim dan berlebih-lebihan dalam melaksanakan agama adalah faktor terbesar mencuatnya perpecahan. Yang dimaksud berlebih-lebihan di sini adalah mempersulit diri sendiri dan orang lain dalam melaksanakan hukum-hukum syari'at, atau dalam bersikap terhadap orang lain atau bermua'amalah tanpa mengindahkan etika-etika syariat dan kaidah-kaidah agama. Karena sesunguhnya Islam tegak di atas pelaksanaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh dengan memperhatikan sisi kemudahan dan menolak kesulitan, memberikan keluasaan, mengambil dispensasi secara proposional, berbaik sangka kepada orang lain, ramah, pema'af dan halus dalam memberi peringatan. inilah dia prinsip-prinsip dasar. Keluar dari prinsip-prinsip tersebut tanpa maslahat yang pasti dan dibenarkan oleh ahli ilmu termasuk sikap ekstrim yang dilarang.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya agama ini mudah, tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam menjalankan agama kecuali ia akan keberatan sendiri. Tepatillah kebenaran atau yang mendekatinya, berilah kabar gembira, dan pergunakanlah waktu pagi, waktu sore dan malam hari untuk memudahkan perjalananmu" [Hadits Riwayat Al-Bukhari kitab Al-Iman hadits no. 39, Lihat Fathul Bari I/93]

Apabila ada yang bertanya : "Bagaimana kita membedakan antara sikap berlebih-lebihan yang tercela dengan sikap berpegang pada ajaran agama yang disyariatkan ?"

Jawabnya : "Yang menjadi standard adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan contoh terbaik. Di atas petunjuk itulah para sahabat, tabi'in, para imam dalam agama berjalan. Dan itulah karakter ulama yang patut diteladani."

Pada hari ini, hal tersebut dapat kita ukur dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a.      Ulama yang mengamalkan ilmunya merupakan teladan dan panutan teragung. Siapa melangkahi petunjuk dan arahan mereka dalam menetapkan hukum dan bersikap, dalam berbuat dan ber-etika, maka terhitung sebagai sikap ekstrim jika ia tergolong orang yang berlebih-lebihan. Dan terhitung apatis bila ia termasuk orang yang suka meremehkan.

b.      Keluar dari batas-batas kemudahan dan menjerumuskan kaum muslimin ke dalam kesulitan dan kesempitan untuk melaksanakan Islam. Yang dimaksud kaum muslimin di sini adalah kaum muslimin yang berada di atas sunnah, sebab orang fasik dan fajir tidak masuk dalam konteks pembicaraan. Siapa saja yang menjerumuskan kaum mukminin ke dalam kesulitan dalam melaksanakan agama atau menyempitkan mereka serta tidak memberi kemudahan dalam hal-hal di mana mengambil dispensasi syari'at menjadi sebuah keharusan, maka ia tergolong ekstrim.

c.      Di antara tanda-tanda ekstrim adalah tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis hukum. Yaitu hanya dengan mendengar suatu masalah, peristiwa, berita atau suatu pendapat tertentu, dia langsung menghukumi yang bersangkutan dengan masalah tersebut tanpa dasar. Atau menghukumi sebelum perkara tersebut jelas baginya. Atau menghukumi seseorang di belakangnya atau menghukumi hanya dengan sekedar indikasi-indikasi belaka. Seperti mengatakan : "Bila si Fulan telah mengatakan begini berarti ia kafir! Tanpa ada dialog terlebih dahulu dengan yang bersangkutan. dan seperti ucapan : "Siapa tidak mengkafirkan si Fulan berarti ia kafir!" Padahal belum jelas baginya kekafiran si Fulan tersebut. Sebagaimana ucapan mereka juga: "Fulan melihat bid'ah tetapi ia tidak mencegahnya, atau bid'ah tersebar di tengah-tengah kaumnya namun ia tidak merubahnya, dengan demikian berarti si Fulan termasuk ahli bid'ah!". Begitulah, sikap tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis hukum, menghukumi sepihak ucapan orang lain, royal mengobral takfir (vonis kafir) tanpa arahan dan bimbingan ulama merupakan salah satu fenomena sikap ekstrim dalam agama.

d.      Di antara sikap ekstrim yang tidak disukai adalah menghukumi batin orang, berburuk sangka, tidak memberikan kesaksian baik terhadap saudara muslim yang tidak dikenalnya dan menancapkan bara' (berlepas diri) terhadap masalah-masalah khilafiyah. Begitulah, sikap ekstrim dalam melaksanakan agama merupakan faktor utama terjadinya perpecahan. Faktor ini pulalah yang menyebabkan kaum Khawarij memisahkan diri dari kaum muslimin. Lalu diikuti oleh golongan-golongan dan pengikut hawa nafsu lainnya.

1   2   3   4


Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©atelim.com 2016
rəhbərliyinə müraciət